Hold Me Tight ( boyslove)

Salah kira



Salah kira

0Waktu semakin siang, namun agaknya pekerjaan yang tertumpuk di mejanya tak kunjung selesai. Sudah beberapa kali terdengar hela napas jengah dari pria yang duduk di balik meja kuasa bertuliskan jabatan menterengnya itu.     
0

Matanya terus terfokus pada baris tulisan, membaginya sesekali pada lembar kertas dan juga layar pc nya yang menyala. Dahinya tanpa sadar berkerut, bibirnya bahkan sampai berkerut, dengan bulpoin hadiah pemberian dari papanya yang di mainkan ke sela-sela jemarinya yang berputar.     

Takk     

Sampai akhirnya rasa berdenyut di kepalanya semakin menjadi menjadi. Kelopak matanya terpejam erat, dengan ringisan yang keluar dari sela bibirnya.     

Jika saja desakan waktu dan obsesinya untuk lebih baik tak memenuhi pikirannya, tak menutup kemungkinan jika bokongnya akan terangkat dan segera melenggang pergi dari ruangan yang menyiksanya ini. Tapi apa boleh buat, akan sangat merugikan untuk mundur dari pertengahan usahanya, kan? Terlebih dengan sang mama yang terus saja tiada ampun menyindirnya di depan semua orang hingga membuatnya terkesan menuruti sanjungan berlebihan itu?     

Sialan! Hidup dengan menjadi sorotan pandang banyak orang baru di ketahui akan semelelahkan ini.     

Merenggangkan sejenak otot-otot kaku di bagian tubuhnya. Menarik satu per satu jemarinya hingga terdengar bunyi patahan tulang yang membuatnya sedikit mendesah lega. Tengkuknya pun di pukul-pukul sejenak untuk membasmi kekakuan, kemudian membungkuk untuk mengambil kembali bulpoinnya yang jatuh rencana paksaan untuk melanjutkan pekerjaan.     

Kriett     

Di saat bersamaan pula terdengar bunyi pintu miliknya yang terbuka. Perlahan dengan ketukan sepatu tenang, yang di terka Nathan hanya tertuju pada satu orang yang menjadi pelaku.     

"Kau datang terlambat, Lin. Membuat ku menyesal karena tak bisa memakan hidangan lezat mu. Aku sudah kenyang-" Nathan menghentikan ucapan terakhirnya, di saat bersamaan tubuh menegak dengan pandangannya yang terfokus pada seorang pria yang berdiri gagah dengan setelan jas rapi. Dominan rautnya yang amat datar, layaknya menguasai segala area sembari kedua lengannya bersembunyi di saku celana ketatnya.     

"Max?" lirih Nathan yang tanpa sadar menjelajah terlalu intens pada pria itu. Sedikit membuatnya memperkirakan maksud kedatangan pria itu menemuinya.     

"Jadi, kau masih tetap memaksakan diri untuk menerima makanan darinya?"     

Nathan kemudian mengalihkan pandangannya, menarik senyum canggung yang kemudian mempersilahkan Max untuk singgah di sofa nyamannya.     

Mematikan lembar pekerjaannya sejenak, kemudian melangkahkan kaki berpindah pada tempat hadap Max. "Ku pikir... Yang datang tadi Cherlin," balas Nathan terbata. Berusaha membelokkan topik yang pastinya akan menggali poros lebih dalam.     

Namun rupanya bukan gaya Max untuk bisa dengan mudah di kelabuhi. Tarikan senyumnya yang terlalu mengerikan, terlebih dengan suara berat saat menekankan maksudnya yang ingin di perjelas. "Kau tak menjawab pertanyaan ku."     

"Apa?"     

"Sebegitu seriusnya kah diri mu pada Cherlin sampai-sampai segalanya kau turuti?"     

Nathan benar-benar tak menyukai topik pembicaraan Max yang selalu ingin tahu segala hal yang di lakukannya. Terlebih dengan sosok yang nampaknya masih ingin terus di ketahui kebenaran dekatnya oleh pria jangkun itu.     

Berniat memperlakukannya tak sopan, bahkan lengan Nathan yang terkepal, ingin sekali meninju keras wajah Max sampai terpental keluar. Lagi-lagi, tak mungkin di lakukannya, kan?     

"Aku hanya berusaha sebaik mungkin untuk memperlakukannya, itu saja," balas bijak Nathan setelah mengutak-atik kosa kata bahasanya dengan akhirnya titik yang di tekan.     

"Termasuk membuat mu kesulitan?"     

Max malah menadakan ucapannya seperti mempertanyakan kebenaran. Nathan yang sudah mulai muak dengan tanpa pemahaman yang di dapat pun hanya memutuskan untuk bungkam.     

"Jangan mengelak, bahkan aku sudah melihat mu kesakitan waktu itu," lanjut Max dengan memperjelas maksudnya.     

Nathan yang menarik mundur memori perhatian Max saat perutnya sakit. Sedikit membuatnya sendiri heran saat respon tubuhnya yang masih saja berlebihan terhadap pria itu. Bahkan seperti tak bisa di kendalikan, pemikirannya terlalu melayang jauh, memutar pertunjukan layaknya film dengan pemeran Max yang di pilihnya.     

Terjadi pertarungan sejenak dalam dirinya, hingga keberpihakannya yang masih berusaha mengalahkan keinginan tak penting membuatnya seketika rapuh. Menjatuhkan penuh, bersandar pada punggung sofa yang kemudian menelan ludahnya kasar saat terasa tenggorokannya kering.     

"Tak terlalu parah, hanya hal biasa menurut ku."     

"Tahukan kau? Kali ini, aku seperti memandang sosok yang berbeda dari yang ku kenal."     

Nathan menarik satu sudut bibirnya. Gurat wajahnya bahkan sampai tertarik lepas saat di satu waktu menangkap jenaka akan ucapan Max. Belagak seolah mengenalnya dengan pasti, bahkan menampakkan protes lewat mimik wajahnya yang begitu jelas di sana.     

"Jadi, sebagai apa kau datang kemari? Pria yang tergila-gila pada ku, atau pria yang berusaha menyeleksi calon masa depan adiknya?"     

Bolehkan Nathan sedikit merasa senang? Pertanyaan yang terpikirkan instan di dalam benaknya membuat ia sedikit merasa berbangga diri. Max hanya awalnya datang dengan membawa identik feromonnya untuk menguasai, kali ini bahkan seperti patung yang tak sanggup membalas pertanyaannya.     

Bahkan Max yang beraut datar, menjadi semakin menyeramkan dengan tatapan tajamnya lewat warna poinex nya yang begitu mengagumkan.     

Namun rupanya dapat terkendali dengan begitu baik, saat secepat kilat Max malah mengikuti senyumnya terlampau lebar. "Jadi, hanya dengan bentuk pertanyaan singkat ku tadi, sudah bisa membuat mu memikirkan sejauh itu? Oh ayolah, bagaimana aku sanggup kau anggap seperti itu lagi setelah semua ini? Jelas untuk adik ku, aku mengkhawatirkan mu."     

"Benarkah?" tanya Nathan dengan suaranya yang tiba-tiba saja mengecil.  Nampaknya ia memang terlalu percaya diri sejak awal, sampai-sampai jawaban lebih tidak pedulinya Max, membuatnya seperti tak siap. Jantungnya bahkan seakan lemah untuk berdenyut kembali, parahnya di satu sisi rasanya begitu perih? Rasa itu, apakah memang masih di tempatnya?     

"Apakah kau tak apa?"     

"Tidak, aku hanya sedang berpikir, tentang kesalahan ku pada Cherlin sampai-sampai kau sendiri yang turun tangan," jawab Nathan dengan suaranya yang seperti tercekat.     

Di lain sisi Max mendengar suara bunyi perut yang merintih kelaparan, hingga mengabaikan Nathan yang mencerung saat dirinya berdiri tepat di depan tempat Nathan.     

"Ku rasa akan lebih baik berbincang sembari mengisi perut?" tawar Max yang segera di jawab gelengan kepala tak sudi oleh Nathan.     

"Aku sudah kenyang, bukankah aku sudah mengatakannya sejak awal?" Nathan berubah sewot, anehnya malah membuat Max mengulas senyum bahagia saat sepintas yang terpikirkan dalam benaknya adalah sosok sama yang berada dalam kungkungan manjanya.     

Membalikkan badan, Max yang nampak terlalu bahagia berusaha menutup habis prasangka Nathan yang bisa saja membuat keduanya kembali canggung seperti sejak awal.     

"Aku mengundang mu makan terlewat siang hampir sore ini. Tak bermaksud menyindir bunyi kelaparan dari perut mu itu."     

"Tapi aku sedang banyak pekerjaan."     

"Ku pikir kau akan menjadi pendengar yang baik hingga bisa ku simpulkan menjadi pria yang cocok dengan Cherlin. Kau tak melupakan topik inti aku datang kemari, kan?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.