Hold Me Tight ( boyslove)

Nathan orangnya?



Nathan orangnya?

0"Brengsek! Aku tak percaya kalau kau akan sesantai ini." Nathan makin muntlak. Mendorong dada Max kasar untuk menjauh darinya.     
0

"Mereka sudah melakukan pencarian. Alurnya bahkan sudah bisa ku tebak. Cherlin yang menemukan geng barunya, memutuskan bersenang-senang tanpa memikirkan hukuman yang dari orang tua ku. Sebentar lagi, bahkan aku bisa menyakinkan mu bila Cherlin akan menghubungi ku dan meminta perlindungan dari jerat hukuman pasti orang tua ku."     

"Bersenang-senang? Maksud- mu yang seperti apa?"     

"Bar dua puluh empat jam?"     

"Gawat!"     

Nathan kemudian menabrak tubuh Max, sekujurnya sudah lemas saat mengetahui tempat pastinya membahayakan untuk wanita hamil.     

Namun langkah tertatihnya untuk segera pergi tertahan, dengan menyebalkannya Max menggenggam pergelangannya terlalu erat. "Kenapa pergi terburu-buru? Kau bahkan melupakan aku yang mengemudi untuk mu."     

"Jangan banyak bicara! Ku bilang kita harus segera pergi atau kau akan menyesal seumur hidup mu!"     

******     

Sementara di sisi lain. Riki memasuki sebuah gedung besar yang terlihat sepi dari depan. Berbanding terbalik dengan parkiran kendaraan yang begitu padat saat ini memarkirkan sedan tuannya memenuhi salah satu.     

Tak menunggu waktu lama untuk bisa menemukan perkiraan terakhirnya setelah tempat serupa yang biasa di datangi tak menunjukkan sosok nonanya.     

Ruangan besar dengan musik yang di nyalakan lirih menyambutnya datang. Orang-orang yang tak seramai perkiraan awalnya, membuat netranya lebih mudah untuk meliar sekaligus ke setiap sudut.     

Entah bagian baik atau fakta terburuk saat akhirnya Cherlin tertangkap oleh netranya. Namun satu hal yang pasti, ia harus bergerak cepat dan menyingkirkan gelas tinggi yang terayun di lengan ringkih wanita itu.     

"Lepaskan aku! Aku tak sudi tangan kotor mu itu menyentuh ku!"     

Seolah mengetahui dengan pasti jika Riki yang menarik pergelangan tangan Cherlin dengan usaha lainnya yang merebut gelas yang sudah akan menempel pada celah bibir wanita itu.     

Cherlin yang jelas saja memberontak, menampar wajahnya beberapa kali dengan satu lengannya yang bebas. Riki masih tak peduli, bahkan saat orang lain yang berusaha ikut campur hanya di berikan delikan tajam.     

"Tidak akan ku lepaskan jika kau tak memberikan gelas mu pada ku."     

"Heh! Memangnya siapa diri mu, eh?! Kau hanya pria rendahan yang bermimpi setinggi langit untuk bisa mendapatkan ku, kan?" geram Cherlin yang benar-benar membenci jalan hidupnya yang seperti tak ada harapan. Kebanggaannya telah di rusak, meski seberapa keras ia berusaha menipu semua orang dengan keadaannya yang masih sama.     

Ia tak sepercaya diri seperti yang di janjikan pada Nathan, nyatanya setelah beragam ketakutan akan terbongkarnya rahasia miliknya, teror besar juga seperti makin menjadi saat pikirannya sedikit saja tenang dan menerka masa depan.     

Netranya bahkan sudah seperti makin perih saat pasokan air matanya tak lagi tersisa. Malamnya selalu saja di liputi sepi dengan kesedihan yang mendalam.     

"Sungguh, ku mohon pada mu. Jika aku memang sama sekali tak berhak untuk mengkhawatirkan mu, bisakah aku memohon untuk jangan pernah menyakiti anak ku yang ada dalam kandungan mu? Ku mohon..."     

"Bagian itu yang ku benci, kenapa pula aku harus mempertahankan sesuatu yang sama sekali tak bisa ku kehendaki? Ini hidup ku, kan?"     

******     

Nathan di liputi ketakutan, saat dalam perjalanan ponsel Max berbunyi dan mengabarkan berita yang sanggup membuatnya berhenti bernapas untuk menit selanjutnya.     

Cherlin di temukan, namun yang lebih menakutkan saat tempat selanjutnya yang harus di datangi untuk bisa bertemu dengan wanita itu.     

Sebuah gedung berdiri kokoh dengan warna dominan putih. Banyak orang lalu lalang dengan satu sosok sakit yang mereka kunjungi. Sebuah rumah sakit.     

Nathan berlari sekencang mungkin, mengikuti Max yang pastinya berpikiran terburuk sama.     

Lantai dua dengan bagian sayap kiri yang di susuri lorongnya, hingga bertemu dengan seorang pria yang menyandarkan tubuhnya di lengan yang menopang kepala.     

"Bagaimana bisa terjadi?"     

"Rik, katakan pada ku, ba-bagaimana keadaannya?" timpa Nathan setelah Max mencengkram kerah seragam khas milik Riki dan menyentaknya kasar.     

"Masih dalam pemeriksaan, tuan."     

"Kenapa begitu? Ku rasa hanya pengaruh minuman keras tak akan berakibat fatal," heran Max saat mendapati kenyataan bahkan pintu ruangan yang menyembunyikan Cherlin masih tertutup rapat.     

Riki dan Nathan kompak melemparkan pandangan untuk menghindari tekanan Max yang menuntut kejelasan. Mereka sama sekali tak berhak untuk membuka rahasia yang di simpan rapat oleh Cherlin pada keluarganya.     

Namun tidak lagi setelah seseorang yang datang dan dengan ringannya berkata, "Karena dia sedang hamil, sayang..."     

Riki dan Nathan kompak tercekat. Lea di sana, tanpa perkiraan akan menjadi bagian salah satu yang menyimpan rahasia Cherlin.     

"Apa maksud mu?"     

"Kenapa tak kau tanyakan saja pada pria di samping mu itu?"     

"Nathan?"     

*******     

Cherlin hamil, agaknya kabar berita itu membuat Max merasa paling buruk sebagai seorangnya. Ia merasa bahkan segala yang dapat di raihnya tak lagi berharga saat mendapati satu fakta akan keteledorannya menjaga satu-satunya adik yang di bebankan padanya.     

Bagaimana ia bisa lepas pengawasan, layaknya tak ada gunanya memerintah orang untuk menjadi tameng penjagaan.     

Tubuhnya bahkan membatu, lengan terlipat di dada, sembari pandangannya yang lurus ke arah ranjang dengan Cherlin yang berbaring lemah di sana.     

Nathan di sisi lain, duduk di bangku samping tempat pesakitan Cherlin dengan lengannya yang menggenggam erat milik wanita itu.     

"Apa yang kau lakukan? Apakah kau memang begitu tak mempercayai ku saat ku katakan aku akan selalu ada di sisi mu?" Nathan mempertanyakan, dengan rautnya yang sendu menatap Cherlin yang begitu pucat dalam tidur lelapnya.     

Sesekali memberikan kecupan di punggung tangan wanita itu, tak mempedulikan Lea yang terus menyasarnya tajam atau bahkan pergerakan seseorang yang makin mendekat ke arahnya.     

"Bisakah kau ikut dengan ku? Aku ingin bicara." Max di sana. Tepat berhadapan dengan posisi Nathan. Suaranya begitu dingin, memberikan tuntutan dengan gurat otot wajah pria itu yang di tampilkan.     

Nathan menatap balas Max hanya sekejap, karena setelahnya Cherlin yang mendapatkan sepenuhnya. "Bukan saatnya untuk basa-basi, aku hanya ingin menjaga Cherlin sampai ia terbangun."     

"Brengsek! Apakah kau sebegitunya?" protes Max dengan suara menggeram marahnya. Menutup habis bekas senyuman satu jam lewat pada Nathan tadi.     

"Maksud mu apa? Seolah yang ku lakukan terlalu berlebihan untuk mengkhawatirkannya." Nathan yang rupanya tak gentar.     

"Atau kau malah membuat tuduhan itu semakin mudah di benarkan."     

"Katakan pada ku, bukan kau yang melakukannya, kan? Ku mohon bantahlah, kau tak bisa melakukannya."     

Lea yang muak dengan kebodohan Max lagi dan lagi. Melangkahkan kakinya mendekat untuk masuk dalam pembicaraan dan menyadarkan Max. "Kenapa tak bisa? Mereka berdua akhir-akhir begitu mesra, kan? Dari gerak-gerik mereka berdua bahkan menunjukkan saling menaruh ketertarikan."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.