Hold Me Tight ( boyslove)

Di paksa mundur



Di paksa mundur

0"Apakah aku meminta mu untuk bicara, eh?"     
0

"Kenapa tidak? Ini menyangkut Cherlin, adik dari tunangan ku yang ternodai sebelum waktunya. Sebenarnya bukan hal yang mengejutkan di zaman sekarang, terlebih dengan status dekatnya bersama dengan Nathan. Namun di sini yang menjadi masalahnya adalah aturan kuno dari keluarga mu yang mengekang Cherlin, kan?" timpal Lea sembari menggelengkan kepala layaknya prihatin.     

Namun Max tak terlalu mengambil intens penuh pada wanita itu, Nathan yang masih menjadi pusatnya. "Katakan pada ku ku, apakah kau yang menghamilinya?"     

Nathan hanya bungkam, menenggelamkan kepalanya dengan sekali lagi punggung tangan hangat milik Cherlin yang di arahkan ke wajahnya.     

Sementara Max yang masih di landa kabar mengejutkan yang bahkan tak sampai dalam pemikirannya. Terlebih dengan sikap Nathan yang lebih membuatnya murka karena tak berusaha mengelak.     

Brak     

Max menggeram marah, tak lagi bisa mengendalikan diri untuk menarik perhatian Nathan yang seperti mengabaikannya. Memutar tubuh, kemudian menarik kasar lengan pria itu, setelahnya dengan paksaan menarik Nathan untuk mengikuti jalannya.     

"Hei, perlukah kau membahas hal yang terlanjur terjadi?" tanya Lea yang mengikuti sampai batas ambang pintu.     

Sementara Max yang mendengarnya, membalikkan wajah dengan netra tajamnya pada Lea yang lebih membuatnya murka. "Ku harap kau tak menjadi makin ku benci dengan sikap ingin tahu mu yang berlebih saat ini, Le!"     

"Lepaskan aku!" lirih Nathan yang seolah masih tak bertenaga. Bahkan untuk sekedar memberontak, atau melepaskan cengkraman lengan Max yang terlalu kasar tak sanggup untuk di lakukan.     

Max menariknya terlalu jauh, hingga akhirnya menyentak lengan Nathan yang terasa seperti nyaris putus. Ringisan kesakitan pun terdengar setelahnya, ia bahkan mengusap bekas memerah jelas dari cap tangan besar pria yang menatapnya begitu tajam.     

Nathan hampir saja terguncang, air matanya nyaris berlinang saat ketakutannya seperti menarik memori pada kehilangan Lisa. Mengetatkan rahangnya untuk sekuat tenaga tak menunjukkan kerapuhannya, mengalih pandang pada pemandangan sekitar yang rasanya seperti tak mampu untuk merasakan sedikit pun nyeri di dalam dada. Tubuhnya bahkan nyaris saja limbung, angin kencang menjadi terlalu kuat hanya untuk sekedar melawannya yang sedikit pun tak bertenaga untuk menumpu bobot tubuhnya.     

Tak lama setelahnya sesuatu yang keras menabraknya, menumpukan penuh tubuhnya dengan lengan yang melilit begitu ketat. Sejenak, di rasakan sekujurnya menghangat, hampir saja melimpahkan segala kesedihannya, jika saja tak tersentak dengan kenyataan yang di hadapkan.     

Terlebih bagian yang paling berat, kala kepalanya yang menyandar di dada bidang milik Max yang begitu nyaman, serta debar jantung berirama kencang yang selayaknya menjadi melodi untuknya merelaksasi.     

Amat sulit untuk membiasakan dirinya sampai dengan beberapa detik lalu. Menjauh dari pria jangkun itu, dan berusaha mengalihkan keinginan dirinya yang ingin kembali rendah seperti saat keduanya bersama tanpa ikatan status.     

"Katakan pada ku, kau tak akan mungkin lebih menyakiti ku dengan cara yang di tuduhkan untuk mu, kan?" lirih Max dengan suaranya yang bahkan terdengar bergetar di pendengaran Nathan. Sesekali di rasakan usikan kepala Max di ceruk leher milik Nathan, seolah memberikan bujukan penuh permohonan.     

Benar saja terasa sampai ke dalam hati Nathan, lengannya bahkan mencengkram dada milik Max dengan pertahanannya yang seketika saja runtuh.     

Air matanya sekaligus mengalir dengan begitu derasnya, tenggorokannya seketika saja tercekat dengan tak ada satu kata pun berhasil keluar dari mulutnya yang terbuka. Akibatnya hanya gelengan kepala kuat yang di lakukannya, menjadi kepastian simpang siur untuk Max saat setelahnya Nathan malah melepas dirinya jauh.     

Kedua telapak tangannya yang terbuka, menutup wajahnya yang basah dengan isak tangis kencang yang berusaha di redam. Langkah tertatihnya dengan gemetar terus mundur, sampai Max yang tak sedikit pun ingin menyerah, merangkul pinggang rampingnya dengan kecupan bertubi di puncak kepala Nathan. Terasa begitu hangat sampai sekujur tubuh, masih di rasa ketulusan pria itu yang masih menaruh harap tinggi pada cintanya.     

"Ku mohon pada mu, jangan hanya bungkam seperti ini."     

"Lalu aku harus mengatakan apa? Hikkss... Bahkan tak ada hal lain yang bisa ku pikirkan selain rasa khawatir ku pada Cherlin. Sungguh, bahkan memori kehilangan untuk kedua kalinya pada diri ku seperti mengilas balik luka lama. Hikss... Aku benar-benar tak ingin menatap kembali sosok terdekat ku dalam detik perpisahan seperti halnya apa yang telah Lisa lakukan pada ku. Hikss..."     

Max kemudian melepaskan Nathan, menarik turun telapak tangan yang menutup habis wajah kecil pria itu yang sudah begitu merah dan basah.     

Pandangannya berubah nanar, raut Max bahkan terlalu kaku untuk sekedar mengimbangi gerak jemarinya yang menyapu wajah lembut milik Nathan. "Jadi, kau sudah mengetahui kehamilan Cherlin?"     

Nathan mengalihkan pandang, kemudian menghempaskan jauh lengan Max yang mulai merangkap terlalu jauh ke sekitaran lehernya.     

Max yang tak lagi bisa bersabar untuk mendengar jawaban, lagi-lagi dengan kasar menyentak bahu Nathan dengan memberikan tekanan di sana. Beransur tatapannya yang sempat berapi kembali sendu, seolah tak lagi ada sedikit pun kuasa, menumpukan lekat dahinya untuk menyentuh milik Nathan. "Sungguh, aku hanya ingin mempercayai mu," lirih Max lagi-lagi dengan keputusasaan.     

"Ya, aku yang melakukannya."     

Deg     

Seketika saja seperti sebuah benda tajam menikamnya bertubi di satu titik. Max yang sedikitnya merasa bimbang akan pernyataan Lea detik lalu, menjadi makin memberontak saat sisi dalam hatinya mendapati ketidakterimaan Nathan yang malah memberikan pengakuan.     

"Bohong."     

"Kenapa aku harus membohongi mu?"     

"Lalu katakan kapan kau melakukannya dengan Cherlin, sedangkan aku terus saja menempatkan orang ku di sekitar kalian."     

Nathan berdecih, saat mendapati kenyataan bawasannya Max masih tetap menjadi pengilanya. Seakan menutup habis kesempatan untuk bisa memilih atau bersama dengan orang lain. Jadi, intinya tali kekang yang di rasanya longgar untuk akhir-akhir ini hanya sebagai tipuan kala ia lengah?     

Menatap Max yang kali ini seperti mulai mengintrogasinya. "Tak akan ku tanya tentang sikap terlalu protektif mu tertuju pada siapa. Namun apakah kau harus berubah menjadi makin menjengkelkan untuk bisa mengetahui segala hal?"     

"Menunjukkan jika kau hanya ingin membohongi ku, ingin mengambil kesempatan untuk lepas dari kejaran ku, kan?" balas Max yang masih beradu argumen untuk bisa mengamankan keadaan hatinya.     

Nathan berdecih, kemudian menghapus air matanya kasar dengan punggung tangan. "Ku rasa sudah tak lagi ada masalah dengan kesepakatan kita untuk memilih mundur."     

"Sungguh, dalam hati ku masih tak mempercayai ucapan mu. Kau benar-benar masih ingin menipu, kan?" geram Max.     

"Tak ada gunanya untuk ku, kan? Lagi pula apa masalah mu, eh?!" Nathan yang berubah frustasi pun mengimbangi suara tinggi Max. Bahkan sudah begitu muaknya untuk terus di desak, mendorong kasar tubuh pria itu untuk menjauh darinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.