Hold Me Tight ( boyslove)

Mengkhawatirkan Cherlin



Mengkhawatirkan Cherlin

0Nathan berbohong, ia memang kelaparan hingga tanpa ambil waktu memikirkan jaim. Menarik pesanannya, kemudian menggidikkan dagu untuk mengkode tanya Max yang masih terdiam dengan pandangannya yang begitu terlihat berbinar.     
0

Mendahului, Nathan pun menguap besar makanan favoritnya yang berupa ayam, membuat kedua pipinya menggembung dengan kunyahan yang begitu bersemangat untuk lekas mengisi perut sekaligus memanjakan lidahnya.     

Pekerjaan menumpuk memang membuat fokusnya tak teralih sedikit pun pada waktu yang berjalan. Cherlin yang memang secara tak langsung menjadi patokan pengingatnya, tak salah pula jika anggapannya seseorang datang memasuki ruangannya tanpa permisi adalah wanita itu.     

Tubuh lunglai dengan kepala berdenyut menyakitkan, di pikirkan bermaksud menjaga kondisinya makin parah saat secara bersamaan memikirkan makanan milik Cherlin yang harus dinikmatinya.     

Entahlah, menyebut kenyataan Max yang datang patut menjadi sebuah keberuntungan atau malah lebih tak mengenakkan dari pada siksaan makan rutinnya. Namun yang pasti hal baiknya tak bisa di elak, beransur kondisi tubuhnya kembali segar dengan belitan ketat yang di rasakannya pada kepalanya yang seperti seketika terlepas bebas.     

Bahkan tanpa sadarnya Nathan makan terlalu lahap, tinggal beberapa suapan lagi yang pastinya memenuhi lambungnya yang kering kerontang sampai beberapa menit lalu.     

Segar... Menegak air putih segelas rasanya melengkapi akhir yang indah. Memadatkan asupannya, hingga kerongkongannya kembali lega setelah di lalui.     

"Ku pikir kau bisa mengambil makanan milik ku jika masih lapar."     

Oh, apa yang di katakan, Max? Nathan yang sedari seakan tak mengamati sekitar, baru disadarinya jika pria jangkun di hadapannya itu masih tetap dengan posisi semula. Kedua lengannya yang memegang sendok garpu, bahkan terlihat masih bersih tak tersentuh. Makanan pesanan Max yang tak tersentuh bahkan perlahan di dorong mendekat pada hadapan Nathan.     

Berarti Max bohong, kan? Alasan untuk menemani makan siang yang terlewat, rupanya hanya sekedar kedok untuk bisa berbincang dengannya. Atau malah karena pria jangkun itu merasa khawatir saat mengetahui dirinya belum sempat makan siang? pikir Nathan sebelum mengibas jauh pemikiran konyolnya.     

"Tidak, aku bahkan sudah terlalu kenyang karena paksaan mu makan siang untuk kedua kalinya untuk ku ini," jawab Nathan dengan nada yakin.     

"Haha... Masih saja berusaha berbohong. Sungguh, aku tak mempermasalahkan diri mu yang mencoba membohongi Cherlin jika saja adik ku itu datang. Justru malah bagus, kau berusaha melindungi diri, kan?"     

"Perlukan aku mengatakan jika dekat dengan Cherlin bukan sebagai sebuah paksaan atau bahkan merubah diri ku menjadi orang lain?"     

Max mengangkat kedua tangan menyerah saat Nathan yang masih tetap memberikan alasan keukeh mempertahankan niatan awalnya. "Baiklah, aku tak akan mencoba lagi."     

"Baguslah. Bagaimana kalau kau segera katakan maksud kedatangan mu untuk menemui ku? Sungguh, pekerjaan ku sudah menanti." Nathan sembari mengetuk jam tangannya.     

"Aku akan cepat. Bukan sebagai sebuah introgasi, aku hanya ingin menanyakan sesuatu yang bisa saja kau ketahui tentang Cherlin."     

"Baiklah, ku rasa tak ada satu hal pun yang tak ku ketahui tentangnya. Ingat, kami banyak berbagi cerita. Lalu?" ucap Nathan yang masih berpikir jika Max hanya ingin mengujinya saja.     

"Jadi, kau mengetahui tentang perubahan drastisnya dalam seminggu terakhir?"     

Namun tidak setelah pertanyaan Max makin menjelas. Nathan kemudian di landa kebingungan, saat tak satu pun momen menemukannya pada ciri-ciri yang di katakan oleh Max. Dahinya bahkan sampai berkerut dalam.     

"Ku rasa... Cherlin baik-baik saja saat dengan ku."     

"Lalu mengapa ia menjadi sedikit pemurung, bisakah kau membocorkan sedikit saja tentang masalah adik ku?" tekan Max sampai seperti tak sabaran mendekatkan tubuhnya pada Nathan yang duduk di seberangnya.     

"Bagaimana aku bisa begitu? Ini menyangkut masalah pribadi, kenapa tak kau tanyakan saja padanya secara langsung?"     

"Dia selalu berkelit dan dengan ahlinya membelot topik."     

"Berarti dia memang tak ingin menceritakan apa pun pada mu." Nathan menjawab ringan dengan kedua bahunya yang terangkat acuh. Setelahnya menjaga jarak, menyandarkan tubuhnya penuh ke punggung kursi dengan netranya yang meliar di tengah pengunjung restoran yang begitu ramai kali ini.     

"Dengan mu bersedia, apa predikat ku sebagai kakak satu-satunya yang di cintai bergeser tempat lebih rendah?" terka Max dengan satu alisnya yang terangkat.     

Nathan yang merasa jika situasi beralih makin tak bisa di kendalikan membuatnya sedikit merasa panik. "Ku rasa bukan terhadap ku kau bisa memprotes."     

"Baiklah, Cherlin diam dan kau tetap berusaha untuk bungkam. Namun bisakah aku mendapatkan sedikit saja titik terang? Apakah Cherlin mendatangi mu terlalu lama? Maksud ku, apa setelah memberikan mu racun miliknya, ia masih duduk tenang untuk berbincang dengan mu?"     

"Y-ya?" balas Nathan yang kali ini seperti di terka arah tujuan Max. "Tapi ku rasa tak terlalu memakan waktu lama selayaknya yang kau tuduhkan dengan pandangan tajam mu itu," lanjutnya dengan berkata sejujurnya.     

Namun setelahnya malah membuat Nathan di serang kecurigaan, terlebih saat Max menghela napas gusar dengan lengannya yang memijat pelipis. "Tapi, tunggu. Apa masalahnya?" tanya Nathan yang merasa penasaran jika saja Max berpikiran macam-macam tentang Cherlin.     

"Cherlin terlalu memberontak. Banyak mata kuliahnya yang tak di hadiri. Setahu ku dia tak punya teman untuk bermain, alih-alih kenalan wanita yang selalu menganggapnya musuh atas kelebihannya."     

"Tidak. Maksud ku... Bahkan ia tak pernah lebih lama dari lepas jam istirahat ku." Nathan benar-benar mulai cemas kali ini. Tubuhnya bahkan sampai menegak, dengan bola matanya yang sedikit terbelalak serta permukaan bibirnya yang sesekali terlipat ke dalam untuk di basahi. Lengannya yang ada di pangkuan, berubah makin menggenggam kuat merasa was-was jika saja Max bisa menerka gelagatnya.     

"Bahkan hari ini, ia tak masuk kelas."     

"Benarkah?!" Nathan terkesiap, seketika saja melompat dari tempatnya dengan gerakan tubuh yang tak berarah, amat panik. Demi apa pun, Cherlin tengah hamil. Terlebih dengan permasalahannya yang bisa saja membuat wanita itu menduplikasi penyerahan Lisa pada hidup.     

Memori kelamnya bahkan masih belum bisa terkubur. Sungguh, Nathan tak akan membiarkan suatu hal terjadi pada Cherlin. Terlebih membuat luka kehilangannya makin menganga untuk kedua kalinya setelah kepergian Lisa.     

"Bi-bisakah kau mengizinkan aku untuk cepat pergi? Maksud ku, pekerjaan ku sudah tenggat waktu," ucap Nathan yang mencoba beralasan supaya Max tak terlalu mencurigai berlebihan.     

"Ku pikir kau khawatir dan akan bantu mencarinya."     

"Y-ya... Aku mengkhawatirkannya. Namun sudahkah kau menghubungi pengawalnya? Mereka selalu bersama, kan?"     

"Itu masalahnya. Mas Riki berkata jika Cherlin kabur dari pantauan, saat ini dia sedang sibuk mencari."     

"Lalu kau malah mengintrogasi ku di sini?!" Nathan naik pitam. Suaranya yang menyentak keras bahkan tak lagi di pedulikan orang-orang sekitar yang sontak menaruh intens berlebihan padanya.     

Max lantas bangkit dari tempatnya, mendatangi posisi Nathan dan mengusap bahunya pelan. "Aku sudah mengerahkan seluruh orang ku untuk mencarinya. Sejujurnya aku tak terlalu khawatir melihat sejarahnya yang tak hanya sekali dua kali membuat kehebohan semacam ini."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.