Hold Me Tight ( boyslove)

Cherlin yang tak lagi percaya?



Cherlin yang tak lagi percaya?

0"Lin! Aku ingin bicara dengan mu."     
0

Max menghentikan langkah Cherlin tepat di depan pintu mobil yang sudah menunggunya. Riki yang berada di dekat mereka, kemudian menundukkan kepala untuk izin pergi memberikan ruang.     

Wanita yang amat cantik dengan gaun terusan pendek khasnya itu kemudian membalikkan tubuhnya dengan pandangan malas. Bersandar di sisi kendaraan berwarna putihnya, dengan lengan bersendekap seolah tak mempunyai waktu lebih lama lagi untuk menunggu Max yang terlihat merangkai kata untuk memulai pembelaannya.     

"Apakah brother hanya akan terus diam?" sampai akhirnya Cherlin merasa jengah. Langkahnya sudah akan beranjak pergi jika saja Max tak merapat dan memeluknya erat.     

Wanita itu bahkan sampai terpaku di tempat, wajahnya seketika memanas dengan pelupuk matanya yang terasa berat.     

Kemudian Cherlin melemparkan pandangannya untuk menghindar, tak lagi merasa peduli walau Max yang masih terus memaksanya membalas dengan takupan tangan besarnya pada rahang wanita itu.     

"Kau tahu kalau aku sangat menyayangi mu, kan?"     

Cherlin berdecih saat tiba-tiba saja Max menjadi amat sensitif dengan mengutarakan perasaan. Lengan kecilnya kemudian menepis, menajamkan netranya untuk pertama kali pada sang kakak.     

Rahangnya bahkan sampai mengetat, lanjut dengan suara sinis yang kemudian terlontar. "Ku pikir orang seperti mu tak akan pernah mengungkapkan hal basa-basi seperti itu, brother. Apakah kali ini semacam pengecualian, untuk melindungi diri mu, eh?"     

Max yang untuk pertama kalinya merasa tak bisa mendominasi sang adik, sedikit pun usahanya untuk membicarakan kejadian lalu, pasti saja Cherlin menepis ketidak percayaan dengan cara seperti ini.     

"Sudah selesai, apakah aku boleh pergi?" sentak Cherlin yang seperti sudah tak betah untuk berlama-lama lagi di hadapan sang kakak yang tak pernah di sangkanya akan menjadi alasan dirinya terluka.     

"Ku mohon dengarkan aku. Sebelum wacana untuk menjodohkan mu dengan Nathan, aku sudah lebih dulu dekat dengannya_"     

"Jadi brother yang kali ini menyalahkan posisi ku yang tiba-tiba saja hadir dan mengacau? Memporak porandakan niatan kalian yang ingin bersama? Kau ingin mengatakan jika aku yang menjadi sebab putusnya hubungan kalian? Serta dengan penculikan ku waktu itu, salah ku yang hadir di muka umum dan membuat mantan pacar pria incaran mu itu kepanasan?" Cherlin menyela ucapan Max. Dengan nada suaranya yang berapi-api. Lengannya yang terkepal erat, bahkan sampai memberi pukulan bertubi-tubi di dada Max.     

Pria itu pun menangkap lengan Cherlin, dengan raut wajahnya yang berubah serius, Max pun berkata, "Jika ingin marah, marah saja pada ku. Nathan tak pantas mendapatkannya. Aku yang terus mengejarnya, walau sebenarnya ia sudah berulang kali keukeh untuk bisa bersama dengan mu. Dia menolak ku, jadi ku rasa tepat untuk mengatakan hal itu di depan semua orang," Max menjeda ucapannya. Nampak amat berat untuk kalimat terakhir yang akan di utarakan. Jangkunnya bahkan sampai bergerak naik turun, bahkan Cherlin merasakan lengan sang kakak yang menggenggamnya berubah menjadi beku.     

Cherlin nampak menunggu, meski yang di dapatkannya terasa tak sesuai di hati. "Kau bisa melakukan apa pun ke depannya. Jika ingin mu, Nathan. Silahkan saja."     

Sampai akhirnya air mata tak mampu lagi untuk di bendung. Menyentak sang kakak yang kembali ingin membela diri tanpa sedikit pun peduli pada perasaannya.     

Maksud Max ingin memberi sosok pria yang jelas tak mempunyai sedikit pun hati untuknya?     

Tinnn Tinnn     

Memasuki mobil pada kursi penumpang depan, dengan penuh frustasi menghantamkan kepalan tangannya untuk membunyikan klakson.     

Max masih tetap berada di sana, mengetuk kaca pada bagian sisi yang di tempati sang adik yang terkunci rapat.     

Riki kemudian masuk setelah Cherlin membukakan kunci pengaman. Dengan isak tangis yang tak bisa di tahan lagi, wanita itu kemudian berteriak untuk memerintah. "Cepat, jalankan mobilnya!"     

Pastinya hanya bisa menurut, menancap gas kemudinya dengan anggukan kepala pada sang tuan muda yang masih berdiri pada posisinya.     

Perlahan mulai meninggalkan kediaman besar itu, Cherlin yang tanpa menggunakan sabuk pengaman itu langsung terlungkup dari posisi duduknya. Menyembunyikan wajahnya pada lengannya yang di tekuk.     

Riki yang otomatis merasa cemas, kemudian menarik beberapa lembar tisu untuk menghapus air mata nona mudanya. "Air mata anda merusak riasan wajah anda, nona."     

Cherlin yang mendengarnya, otomatis mengangkat pandang dan tepat menunjukkan perkiraan pria itu.     

Namun bukan untuk mengucapkan terimakasih karena telah peduli, yang ada Cherlin malah menampilkan raut sinis dengan tepisan jatuh para pemberian pria itu. Lembar tisu bersih itu pun melayang jatuh tak ada gunanya.     

"Apa peduli mu, eh?! Aku sama sekali tak membutuhkan belas kasihan dari orang semacam diri mu!" sentak Cherlin dengan suara meningginya.     

Riki yang ada di balik kemudi pun hanya bisa menarik sudut bibirnya miris, terlebih saat sang nona yang masih belum puas untuk menerjunkannnya ke dasar jurang.     

"Perhatikan pula posisi mu. Jangan kira karena kejadian malam itu, kau mengira jika kita ada kesempatan. Sungguh, bahkan aku tak sudi mengingatnya sebagai pertama kalinya untuk ku. Tak akan lagi sudi lagi untuk melakukan kebodohan yang sama. Alih-alih menganggapnya sebagai sebuah kesalahan, bahkan aku lebih memilih untuk mengatakan hal itu sebagai mimpi buruk untuk ku."     

Kemudian Cherlin begitu saja pergi setelah meluapkan kekesalannya pada Riki yang menjadi kambing hitam. Bahkan untuk sekedar mengambil waktu semenit lebih lama untuk membenahi tampilannya, nampaknya wanita itu lebih memilih untuk di tertawai oleh mahasiswa di seluruh kampus.     

Jelas tak ada yang mau berteman dengannya lagi. Upayanya selama ini untuk bisa bergaul dengan mengikuti arus pada setaranya sama sekali tak membuahkan hasil.     

Cherlin hanya sendiri, bahkan saat waktu pembelajaran berlangsung tak ada yang mau menempati sisinya yang masih kosong. Tak ada yang benar-benar serius mendengarkan materi, bahkan sekumpulan wanita yang mengkandidatkan diri sebagai ratu kampus itu tak segan untuk terus bergosip tentangnya kemudian terkekeh geli.     

Sialan! Ini semua karena rencana perjodohan itu! Jika saja Cherlin sedikit lebih peka untuk menerka keadaan sekitar. Jika saja ia tak buru-buru ingin bebas dan menjadikan alasan pengikatannya dengan Nathan sebagai jalan pintas satu-satunya yang paling ampuh.     

Menjatuhkan kepalanya di atas meja, surai sebahunya yang lembut itu kemudian di tarik erat. Demi apa pun, kepalanya sudah berdenyut amat menyakitkan, terlebih tak tahu lagi jalan kedepannya yang harus di pilih.     

Kasak-kusuk terdengar jelas saat beberapa orang melewati jalannya. Bahkan tak segan untuk membicarakan betapa memelasnya posisi Cherlin saat ini.     

Drttt     

Tak lama setelahnya, dering ponsel miliknya berbunyi. Masih tak di pedulikan oleh Cherlin yang menjadi penghuni satu-satunya ruangan besar itu.     

"Isshh... Mengganggu saja!"     

Sampai akhirnya wanita itu menyerah. Mengambil ponsel yang diletakkannya di atas meja. Netranya kemudian menyipit, saat sebuah nama masih terus diyakinkannya.     

Sedikit berdebar untuk mengangkat panggilan itu, meski akhirnya ibu jari milik wanita itu menggeser tombol pada warna hijau.     

"Halo?"     

Cherlin hanya diam saja saat suara sapaan terdengar parau di telinganya. Tanpa sadar membuat Cherlin yang sensitif kembali menangis. Pada bagian yang di bencinya adalah saat suara merdu yang masih berusaha untuk menenangkannya.     

"Lin, ku mohon jangan menangis seperti ini. Meski pun kita hanya dekat akhir-akhir ini, aku merasa jika telah mengambil bagian untuk hidup mu. Ku mohon izinkan aku untuk menemui mu. Bukan sebagai pria brengsek yang menipu. Jujur saja, aku mulai merindukan makan siang bersama kita yang penuh dengan canda tawa. Bisakah aku menemui mu?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.