Hold Me Tight ( boyslove)

Bukan yang di harapkan



Bukan yang di harapkan

0Seorang wanita paruh baya menangis, sang kawan baik yang datang tanpa pikir panjang langsung menyediakan bahunya untuk di buat sandaran.     
0

Nina yang paling merasa terbeban, saat putri kesayangannya sudah seperti tak lagi menganggap kehadirannya. Tak ada satu kata pun terbalaskan, bahkan bentuk perhatian wanita itu sudah di tunjukkan berlebih. Ia hanya menyesalkan, harusnya sejak awal ia bisa memperkirakan efek buruk terhadapnya semacam ini.     

"Sudahlah, ku rasa Cherlin hanya butuh waktu sebentar untuk menyendiri. Tak mungkin tega untuknya bisa menyakiti mu lebih lama lagi."     

"Tapi itu tak sesederhana menurut mu, Ra! Aku tahu bagaimana sifat anak ku itu. Sama halnya dengan Jonathan, putri ku adalah orang yang tak suka di atur dan terkesan bebas. Dia bukan tipe yang mudah melupakan, aku hanya takut jika Cherlin menempatkan ku pada golongan yang di bencinya."     

Rara menghela napas, saat Nina menepisnya dengan nada tinggi dan melepaskan pelukan persahabatan mereka.     

Dengan wajah basah dan amat memerah, bahkan Nina yang nampak amat frustasi memukul tempurung kepalanya yang berdenyut menyakitkan.     

Rara masih mencoba untuk mengikis jarak, lengannya terangkat untuk menggenggam telapak tangan milik Nina yang bergetar hebat.     

"Percayalah pada ku, ketakutan mu hanya berlebihan saja. Cherlin tak mungkin tega untuk membenci mu hanya karena ini."     

Sontak saja Nina tersentak, pandangannya terangkat dengan bola mata memerahnya yang membola. Rahangnya bahkan sampai mengetat, menepis kepedulian Rara yang di rasanya tak benar-benar tulus.     

"Dari dulu, kau selalu saja menyepelekan segala hal. Menempatkan segalanya dengan terburu-buru tanpa memikirkan orang lain. Bahkan sampai saat ini aku tak bisa menghilangkan ingatan ku tentang kisah masa lalu mu. Tentang bagaimana kau memanfaatkan keadaan dan menyusup pada keluarga bahagia Bagas. Entahlah bagaimana kelanjutan kisah mu, saat ku amati kau berpaling begitu cepat dan semakin dekat saja dengan adik dari mantan suami mu. Bagaimana kabar Hardi? Atau perlu ku sebutkan jika dia adalah ayah Nathan?"     

"Diam kau!" Rara otomatis membentak. Bahkan lengannya yang terkepal erat, hampir saja terarah pada wajah sang kawan. Untung saja cepat tersadar, tatkala Nina menyilangkan lengan untuk menyembunyikan wajahnya. "Nathan adalah anak kandung ku bersama dengan Bagas!" tekan Rara dengan suaranya yang bergetar.     

Menyesal karena telah menampakkan kembali monster pada dirinya. Terlebih Nina menarik dirinya untuk menjaga jarak dan terus saja mengujinya dengan kembali memancing berlaku seolah menjadi musuh. "Ku rasa pertunangan antara Cherlin dan Nathan kita batalkan saja. Anggap semuanya tak pernah terjadi."     

"Apa yang kau katakan?"     

Deg     

Keduanya membeku, saat sebuah suara lain terdengar menyahuti pembicaraan keduanya.     

Bagian pintu depan yang terbuka, membuat Rara menegang saat pandangannya bertemu tatap dengan sang anak.     

Nathan di sana. Dengan raut berang dominan merah yang sarat akan kebencian. Benar-benar masih berusaha meyakinkan pendengarannya, meski di satu sisi ia sudah amat rapuh untuk sekedar menopang tubuhnya. Cherlin yang dengan sigap merangkul lengan milik Nathan, netranya meliar saat di ujung tangga tempat menghadap mereka ada Max yang demikian terkejut.     

Seketika suara berubah makin menegang, terlebih saat Rara yang tergesa-gesa memburu datang pada sang anak yang membatu di ambang pintu.     

"Kau tidak benar-benar memikirkan hal itu, kan? Yang di katakan Nina salah benar, sayang... Kau adalah anak ku dan juga Bagas."     

Nathan melangkah mundur, menepis lengan milik Rara yang hendak mencekalnya. Memberikan tatapan tajam, kemudian bersuara dingin menepis bentuk pembelaan. "Apakah papa ku mengetahuinya?"     

"Demi apa pun, apa yang sudah kau percayai, nak...." Rara terkekeh, seolah menertawai bentuk keberpihakan Nathan. Meski pun begitu tipuannya sudah terlihat jelas. Rara berubah pucat, di saat bersamaan air matanya jatuh berlinang.     

Nathan pun menarik sudut bibirnya miris. Belum cukup satu masalah baru teratasi, datang kenyataan yang membuatnya lebih hancur.     

Demi apa pun, hanya kedudukan bahkan ia adalah anak dari Bagas sudah membuatnya bangga. Namun ternyata jika itu palsu, bagaimana ia sanggup memperkenalkan lagi identitasnya? Siapa dirinya?     

Ya, pantas saja sejak awal Rara terlalu menekankan keberadaannya, supaya hidup anaknya yang malang ini terjamin?     

Sial!     

"Nath," panggil Cherlin dengan suaranya yang begitu lirih.     

Nathan yang beraut datar, kemudian beralih mengukir senyum pada Cherlin. Mengusap lembut surai pendek wanita itu, sembari berkata,     

"Terimakasih sudah mau mendengarkan ku seharian ini. Setidaknya aku masih mempunyai memori indah yang di simpan untuk hari ini. Selamat malam."     

"Nathan... Nathan, sayang!"     

Nathan hanya membalikkan badan, melangkah pergi tanpa menghiraukan Rara yang seolah-olah mendramatisir keadaan dengan suara jerit tangisnya.     

Bukan cemas karenanya, pasti wanita paruh baya itu tengah menangisi pemberontakannya yang tak bisa lagi di atur, kan?     

Siapa tadi ayah biologisnya? Hardi? Serius, orang yang di mengabdi di kediamannya dan di anggapnya sebagai pamannya sendiri? kegilaan macam apa, itu?     

Nathan pun hendak membuka pintu mobil miliknya, rencana menancap kendaraan ugal-ugalan setidaknya untuk memancing jantungnya yang sudah tak berniat lagi untuk berdetak.     

Namun rupanya rencananya itu tak akan berhasil, tubuhnya berputar tiba-tiba, sedikit membuatnya limbung meski di rasakannya cengkraman makin erat pada lengan atasnya yang menyangga. Membuatnya tersentak saat aroma maskulin yang di rindukannya tercium amat pekat.     

Mengangkat pandang, seolah hembusan angin ringan mengiringi romantis kedekatan keduanya. Saling menyelam, tanpa sadar mampu menyentak Nathan dalam pikiran kalutnya.     

"Biar aku yang mengantarkan mu kembali."     

"Lalu, kau akan tahu tempat persembunyian ku dan terus datang untuk mengganggu?"     

"Setidaknya pikirkan hal ini sebagai kebaikan ku saja, lagi pula apa kau melupakan ucapan ku waktu itu? Sungguh, aku bukan orang yang suka ingkar."     

Nathan terdiam, tak ada satu pun kata yang keluar dari mulutnya yang setengah terbuka.     

Kembali di atur posisi, kali ini Nathan merasakan tubuhnya tertarik dan kemudian terdorong dengan tiba-tiba saja sudah berada di bangku penumpang mobilnya.     

Max datang setelah itu. Mengendalikan kemudi, dan tanpa menunggu waktu lantas tancap gas untuk segera beranjak dari kediaman mewah keluarga Nandara itu.     

Kali ini bahkan Nathan tak sanggup untuk menjadi sosok yang cengeng. Entah karena gengsi terhadap Max atau pria itu masih menjadi pengaruh terbesarnya untuk sedikit lebih bisa mengendalikan diri?     

"Ku harap kau tak sedih hanya dengan kenyataan seperti ini. Percayalah, kau sudah dewasa, hidup kau tentukan sendiri sesuai dengan keinginan dan harapan mu. Tak penting untuk siapa pun tahu dari mana kau berasal."     

"Entahlah, aku juga tak mengetahui dengan pasti bagaimana perasaan ku saat ini. Sungguh, aku sudah menebaknya sejak awal, namun tetap saja aku masih tetap terkejut secara berlebihan semacam itu." Nathan terkekeh. Kemudian kepalanya menunduk dalam dengan konsentrasi penuhnya pada pilinan jemarinya.     

Max tahu jika Nathan membohonginya. Tarikan napas yang terdengar sedikit tersendat, serta hembusannya yang terlalu panjang, di duga jika pria itu menahan diri mati-matian untuk tak menangis.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.