Hold Me Tight ( boyslove)

Bagaimana kelanjutannya?



Bagaimana kelanjutannya?

0Demi apa pun, Nathan mengharapkan Max datang dan memeluknya segera. Namun setelah roda kendaraan miliknya berdecit di gedung apartemen kecil, pria jangkun ia dengan cepat mematikan mesin mobilnya dengan lengan beranjak cepat dari setir kemudi.     
0

Di lihat Nathan bahkan lengan Max sudah bersiap untuk membuka pintu. Sungguh, apakah memang pria jangkun itu sudah tak bisa bersabar untuk melangkah pergi darinya?     

"Hanya sekedar saran, ku pikir kau tak perlu memberitahukan hal ini pada paman Bagas. Dia yang harusnya tahu, mungkin saja lebih memilih untuk menjaga perasaan mu? Kau yang memang di anggap anak olehnya tanpa peduli. Ku harap kau tak memikirkan hal tadi, atau lebih parah lagi membuat paman Bagas kecewa karena mu yang mengungkit topik."     

Max menjeda ucapannya, kemudian mengalihkan pandang ke arah Nathan. Bukan untuk memandang raut sendu pria itu, melainkan melongok pada bangunan beberapa lantai yang lumayan tinggi.     

Nathan yang menenggelamkan tubuhnya pada sandaran kursi, terlebih dengan kedipan cepat seolah khawatir Max akan melakukan sesuatu padanya. Semisal ciuman singkat di bibir?     

Max terkekeh, seolah menertawai tingkah Nathan yang berlebihan.     

"Kau tenang saja, aku tak akan pernah mendatangi mu lagi. Terlebih dengan kau yang sudah makin dekat dengan adik ku?"     

"Kau masih tetap mengawasi ku?" Nathan menuduh penuh kecurigaan. Nada suaranya bahkan meninggi, bukan hal sopan pula saat jarinya menunjuk tepat pada wajah Max.     

Namun bukan lagi balasan ucap yang membuat keterlibatan mereka malam itu lebih lama. Sekali lagi, Max hanya menarik tipis ke dua sudut bibirnya, kemudian dengan cepat berpaling pergi darinya.     

Ya, yang di harapkan Nathan memang seperti ini, kan? Tak lagi ada keterlibatan tak penting antara dirinya dan pria jangkun itu. Apa lagi? Kenapa pula ia merasa kecewa saat Max meninggalkannya begitu saja?     

*******     

"Bagus, nak.... Kau belajar dengan cepat untuk permasalahan ini. Papa sangat bangga kepada mu."     

Nathan mengulas senyum saat merasakan pelukan hangat dari sang papa. Proposal pengajuannya di setujui untuk rencana proyek kedepannya. Gemuruh tepuk tangan di dapatkan. Kemudian satu per satu orang yang terlibat dalam rapat jajaran tertinggi meninggalkan tempat.     

Merasa nyaman untuk setelah berdamai dengan keadaan seperti yang di katakan Max malam itu. Nathan belajar untuk menjadi dewasa dengan caranya, salah satunya dengan membuat sang papa bangga padanya seperti ini.     

"Terimakasih, pa. Semua ini juga berkat kesabaran papa untuk mengajari ku tentang bisnis."     

"Dasar, semakin dewasa, kau rupanya sudah terlalu malu untuk mendapatkan pujian kecil, ya? Ah, sekarang bahkan aku teringat rengekan mu saat masa kecil mu dulu. Kau yang menumpangi berkas penting milik papa, kemudian berdiri hampir satu jam untuk bisa membuat ku menyadarinya sendiri?"     

"Hahah... Itu indah, bahkan sampai saat ini aku juga masih mengingat reaksi papa yang kebingungan setelahnya saat mendapati ku merajuk."     

"Makan es krim sepuasnya." serempak ucapan Nathan dengan Bagas, yang kemudian di sambut gelak tawa oleh keduanya.     

Bahkan sampai terpingkal-pingkal, bagaikan kedekatan idaman antara ayah dan anak lelakinya.     

Tanpa sadar interaksi keduanya di amati oleh netra basah yang lekas di usap. Bangkit dari posisi duduknya, kemudian mengetukkan sepatu tingginya. Sontak saja menyita perhatian Bagas dan Nathan yang seketika menarik gurat bersahabatnya.     

"Hei, Ra, tidakkah kau ingin mengucapkan pujian pada anak kita?" ucap Bagas yang penuh dengan semangat. Namun setelah suara detik jam yang melanjutkan dominasi, membuat pria paruh baya itu mempersilahkan tempat untuk mantan istrinya mendekat pada Nathan.     

"Aku bangga pada mu, meski aku tak bisa membandingkan perubahan diri mu sekarang dengan dulu seperti papa mu," timpa Rara dengan suara memelas pada sang putra semata wayang.     

Bagas hanya terdiam tak bisa mengomentari, terlebih saat Nathan dengan terang-terangan melangkah jauh saat Rara mendekat dengan kedua lengannya yang terlentang siap untuk memeluk.     

Mencoba mencairkan keadaan, kemudian Bagas menarik Nathan dan wanita yang pernah ada di hidupnya sekaligus. "Santai saja, jangan terlalu tegang. Kau tak perlu malu untuk mendapatkan penghargaan kasih sayang dari mama mu, nak."     

"Bukan dengan ketulusan, untuk apa aku harus di paksa nyaman, pa?"     

Rara merasakan hujaman pisau menyasar pada nadinya. Menggores dalam tanpa memikirkan belas, wanita itu bahkan hampir saja tenggelam pada kubangan darah yang telah menetes semakin deras. Hampir saja di jemput ajal jika saja Bagas tak lekas menariknya untuk keluar dari pemikiran macam-macam.     

Bagas yang masih berusaha untuk membuka ruang untuk Rara bisa mendekat, namun keputusan akhir jelas ada pada Nathan. Ya, sang anak sudah menarik diri untuk menjauh darinya. Bahkan sampai bukan termasuk area tergapai, kenyataan membuat Nathan kembali merasa kecewa padanya.     

******     

"... Nath... Kak Nath!"     

Yang di panggil otomatis tersentak. Punggung tangannya yang di tepuk keras pun bantu menyadarkan.     

Seolah terlalu lama membeku dalam lamunan, mengulang kerja tubuh dari awal. Napasnya kemudian memburu, bersamaan dengan kepala tertunduk, menarik intens terang yang menyakiti netranya.     

Cherlin yang jelas saja merasa khawatir, bangkit tergesa dari posisi hadapnya, kemudian membungkuk untuk memeluk Nathan dari belakang.     

Telapak tangannya yang ringkih memberikan usapan, wajahnya yang memberenggut di tumpukan pada bahu milik Nathan.     

"Apa yang kau lakukan? Kita ada di tengah keramaian, Lin...."     

"Biar saja. Biar semua orang tahu jika hubungan ku dengan mu tak seperti spekulasi buruk yang gencar di beritakan."     

"Lantas, kau ingin mereka menganggap apa dengan kita yang pamer kemesraan seperti ini?"     

Nathan menggidikkan bahu yang di tumpangi oleh Cherlin, membuat wanita yang di goda itu makin cemberut.     

Menghentakkan kakinya, kemudian memutar arah untuk kembali pada pada posisi seharusnya.     

"Lupakan saja. Jangan pedulikan apa yang ku katakan. Karena aku lebih tertarik dengan topik lamunan kakak tadi."     

Nathan tak lagi bisa tersenyum, Cherlin sudah mendesaknya untuk kembali menceritakan. Ya, rupanya memang wanita itu tak beda jauh dari sifat Lisa. Atau memang dirinya yang tak bisa untuk menyimpan rahasia dari orang-orang yang dipercayainya?     

"Pastinya kau sudah mengetahui rencana pertemuan besok malam, kan?"     

Cherlin sontak melepaskan sedotan yang menyumpal sela bibirnya. Hampir saja muatan minuman manis itu menyembur pada Nathan yang membuatnya terkejut. "Huh? Kapan, kenapa mama tak memberitahu ku?" heran Cherlin dengan menggebu. Kemudian seperti tersentak dari kenyataan, tubuh wanita itu otomatis meringkuk dari duduknya. Ingatannya kemudian melayang saat pagi tadi sang mama yang hendak berbicara padanya dan dengan kejamnya malah di abaikan. "Ah ya, aku lupa jika keadaan ku dengan orang rumah belum membaik." lirih Cherlin sembari memberi pukulan pada tempurung kepalanya.     

"Sebenarnya aku masih belum memahami, kenapa aku bisa lepas dari sasaran kemarahan mu sedangkan keluarga mu malah tidak?"     

"Karena aku tahu kalau kau juga korban dalam hal ini. Sama dengan kekecewaan mu yang tak terbendung pada tante Rara? Aku pun demikian, sulit untuk ku menjadi baik dan seolah-olah melupakan segalanya yang berlaku sesuka hati pada ku."     

Nathan pun kemudian memahami satu fakta kemiripannya dengan Cherlin, keduanya terlalu sensitif dan memendam memori atas segala detail kejadian yang membawamnya.     

Kemudian keduanya terdiam, melanjutkan menu makan siang pada salah satu rumah makan yang ada di pusat perbelanjaan.     

Namun sama-sama masih berpikir keras, dengan kunyahan penuh masih berada di mulut. Pandangan mereka menyipit, kemudian saling bertemu dan akhirnya menyerukan pertanyaan serupa.     

"Apa menyangkut tentang lanjutan dari pertunangan kita?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.