Hold Me Tight ( boyslove)

Pergi?



Pergi?

0Nathan masih mengingat dengan jelas saat di mana dirinya sempat ingin menyerah pada hidup. Tekanan yang di rasa, bahkan konflik yang berputar-putar di satu tempat yang membuatnya sempat jengah dan tak ingin lagi membujuk hatinya yang kadung kecewa.     
0

Pada waktu itu, ia merasa hidupnya yang paling sulit. Tak adanya kasih sayang penuh dari ibu, atau bahkan tentang dirinya yang tak bisa menunjukkan secara gamblang jati dirinya.     

Rasanya pada waktu itu ia tak bisa bercerita pada siapa pun. Bahkan kawan-kawannya yang sudah mencantumkan diri sebagai orang terdekatnya. Banyak ketakutan dalam dirinya yang memang berlebihan, serta di lain sisi ia yang ingin segalanya berjalan dengan baik secara instan.     

Seperti memang sudah tak bisa mempercayai siapa pun untuk segala curahan hatinya. Hingga satu masa di mana pertemuannya dengan Lisa. Seorang wanita yang melalui fase sama persis seperti dirinya. Juga ingin mengakhiri hidup, bahkan di ketahui lebih lanjut membawa nyawa lain di dalam perutnya.     

Seketika saja Nathan seperti terbuka. Cerita hidupnya tak seberapa di bandingkan dengan Lisa yang sebatang kara dengan ketakutan masa depan akan hidup anak yang di kandungnya.     

Sampai saat di mana Nathan merasa nyaman. Mampu secara tak sadar menempatkan Lisa dalam bagian hidupnya paling penting. Mereka saling berjuang dan menguatkan masing-masing. Wanita itu pemilik tempat sampahnya, bahkan menjadi semacam pengingat untuk Nathan dapat menjalani hidup lebih baik.     

Namun bagaimana jika sosok wanita yang menjadi tumpuan hidupnya itu terenggut? Bagaimana jika takdir mengambil alih jalan lain? Memaksa Nathan untuk bisa berjalan dengan kedua kakinya, saat di rasa memisahkan mereka adalah jalan satu-satunya?     

Demi apa pun, Nathan tak siap. Bahkan hanya dengan mengilas balik memori tentang ucapan Lisa yang selayaknya pertanda perpisahan, segera disesalinya karena tak lekas membalas permohonan lebih supaya wanita itu ada di sisinya lebih lama.     

Bahkan masih diingat detail jelasnya, saat dimana pandangnya yang tak sengaja terarah pada jalanan ramai di jalur lawan arah.     

Ramai. Membentuk lingkaran pada satu titik, dengan seketika arus jalan menjadi terhenti. Semua orang seperti tak masalah untuk menunda kepentingan mereka. Kasak-kusuk terdengar, layaknya berdiskusi dadakan tentang sebuah kematian seseorang?     

Tidak. Seketika saja Nathan memejamkan matanya rapat, air mata kemudian berlinang tanpa bisa lagi untuk di cegah. Buku jemarinya kemudian terkepal erat, jejak sentuhannya pada Lisa masih terasa sampai sekarang.     

Darah, Wanita itu merintih kesakitan di sepanjang perjalanan dengan bunyi sirine membelah jalan. Saat itu Nathan terus merapalkan diri jika tak akan ada sesuatu buruk yang akan terjadi pada wanita itu. Segalanya akan kembali seperti semula, dan Nathan yang akan memaksa Lisa untuk membalas genggaman tangannya nanti lebih erat. Ya, bahkan jika perlu Nathan akan menagih kado ulang tahunnya.     

******     

Sedangkan di sisi lain, Max yang mendengar suara cemas sang adik lekas mengernyitkan dahi makin dalam. Cherlin bersuara melalui sambungan ponsel dengan nada terputus-putus. Sampai akhirnya hanya satu pesan yang di tangkap. Nathan dan juga alamat rumah sakit yang di kirim pesan oleh adiknya itu.     

Tak menunggu waktu lebih lama lagi untuk beranjak dari tempatnya. Bahkan membiarkan pekerjaannya terbengkalai dan buruknya tenggat waktu.     

Memasang jas miliknya dengan tergesa, menarik tas miliknya serta ponsel yang di genggam erat.     

Brakk     

"Sial!"     

Praktis Max mengumpat. Geraknya yang di buru waktu terhenti saat sebuah lengan bergelayut manja pada lehernya.     

"Hai, aku baru saja akan mengajak mu makan siang. Jadi, dimana?"     

Max kemudian menggeram, menarik lepas Lea yang semakin hari bagai lintah mengganggu di tubuhnya.     

Membuat wanita itu terpelanting terlebih bagian paling memalukannya adalah saat banyak pasang mata menjadi penonton.     

"Max! Tunggu aku, sayang!"     

Max yang bahkan menulikan panggilan yang sarat akan nada memprotes itu. Makin melebarkan langkah kakinya dengan pergerakan ganti terburu-buru. Bahkan raut wajahnya yang panik di salah pahami oleh mereka yang sontak bergidik ngeri dengan praktis mengambil jarak sejauh mungkin.     

Nathan, hanya nama itu yang terus di ucapkan. Memacu kendaraannya seperti kesetanan, seakan tak mempermasalahkan hidupnya saat berkali-kali pria itu hampir bertabrakan dengan lawan sisi yang juga tak ingin mengalah.     

Sampai akhirnya jantungnya dapat berdebar dengan ritme normal. Pandangannya menemukan Nathan yang baik-baik saja di depan sebuah ruang operasi? Siapa yang terluka?     

Kenapa pula masih ada Rian di sekitar Nathan? Juga Ilham? Sampai akhirnya Cherlin yang meringkuk di atas bangku melompat ke dalam pelukannya. Begitu erat, bahkan Max mendengar dengan jelas isak tangis wanita itu. Sungguh, ia semakin tak mengerti apa yang telah terjadi. Kernyitan di dahinya tak lekas menghilang.     

"Brother... Hikss... Aku tak mengerti apa yang telah terjadi. Tap-tapi, Nathan sedang sedih... Hikss... Seorang wanita kecelakaan, brother..."     

Bagai tersambar petir, Max yang semula mengusahakan dirinya tenang  langsung membatu di tempat. Sama sekali tak bisa terbayangkan sampai detik ini. Nathan begitu menyayangi Lisa, bagaimana jika terjadi sesuatu yang buruk pada wanita itu?     

Kemudian Max menenangkan sang adik dengan memberikannya kecupan di puncak kepala. Mengusap surai lembut wanita itu, kemudian menggiringnya tenang kembali pada posisi duduknya.     

"Brother, siapa wanita itu? Kenapa Nathan terlihat begitu bersedih, terlebih kandungan yang sudah membesar? Apakah milik Nathan?"     

Max menakup rahang kecil milik Cherlin yang bersuara terbata-bata. Kemudian menyakinkan adiknya yang seperti amat kecewa di sela tangisnya. "Jangan menyangka macam-macam. Nathan bukan orang seperti itu."     

Max membalik tubuhnya, kemudian menatap tajam pada Rian yang mendapatkan tuduhan antagonis. Jika sebelumnya ia tak bisa membalas tingkah terlalu terlewat batas mantan kekasih Nathan, kali ini tak akan ia izinkan lepas begitu saja jika terbukti Rian kembali menjadi dalang.     

Namun yang menjadi terpenting saat ini adalah Nathan. Pria yang mematung dengan sama sekali tak ada ekspresi di wajahnya.     

Seketika menghimpit pernapasan Max, melihat yang di cintainya terlihat begitu terluka seperti saat ini.     

Tak bisa lagi mencegah diri untuk tak menunjukkan perhatiannya. Seketika saja mengikis jarak, memeluk erat tubuh Nathan dari belakang. Lengannya menjelajah menarik bekas darah milik Lisa yang membasahi telapak tangan dan sebagian sisi wajah milik Nathan.     

"Percayalah pada ku, semua akan baik-baik saja," bisik Max yang sama sekali tak mendapatkan balasan. Nathan hanya tetap pada posisinya, sekali pun tak memberontak saat Max membalik posisi pria itu.     

Untuk pertama kalinya Max menatap nanar, tak bisa menerima kenyataan saat netra milik Nathan sama sekali tak lagi berwarna. Tak ada respon, bahkan Max yang mengusap noda basah pada wajah pria itu hanya di balaskan air mata yang kembali tumpah melunturkan darah yang mulai mengering di sana.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.