Hold Me Tight ( boyslove)

Milik mu juga milik ku



Milik mu juga milik ku

0"Ibu pengganti. Ah, entah apa sebutannya, yang pasti seorang wanita yang bisa di sewa untuk menyusui?"     
0

Seketika saja Nathan berjingkrak dari duduknya dengan raut penuh semangat. Tak salah ia membukakan pintu untuk ketiga kawannya yang mulanya datang hanya untuk merampok persediaan camilannya di dalam lemari pendingin. Menyerakkan bungkus kosong begitu saja di lantai kamarnya, kemudian mainan yang terlalu besar untuk bayi yang tak lebih dari usia satu bulan?     

"Bagus, kenapa aku tak kepikiran solusi itu sejak awal, ya?"     

"Jangankan diri mu, Nath. Aki yang dokter saja melupakan hal itu," timpal Tommy dengan membanggakan dirinya sendiri dengan dagu terangkat. Segera saja mendapatkan pukulan di belakang kepala dari Aki dan Galang yang kompak.     

Hingga Tommy yang kesakitan pun mengaduh kesakitan kemudian mengumpat, "Brengsek kalian."     

Kriet     

Bertepatan dengan suara derit pintu terbuka perlahan menyita perhatian keempat pria di dalamnya. "Hei, beraninya kau mengumpat di depan seorang bayi. Ingat, dia bisa saja mendengar ucapan buruk mu itu dan menirunya ketika ia sudah beranjak dewasa. Sungguh, aku tak mau jika bayi mungil ku itu terkontaminasi buruk."     

Cherlin di sana, dengan penuh penekanan langsung menindak tegas perilaku buruk Tommy.     

Keempat pria itu pun kemudian meloncat dari atas ranjang yang melingkari bayi mungil yang masih di belit kain di sekujur tubuhnya. Membuka jalan pada Cherlin yang memberikan kecupan di pipi mungil  bayi itu dan juga milik Nathan?     

"Ekhem!"     

Kompak berdehem dengan liputan kecanggungan. Sementara Nathan yang malu setengah mati, lain halnya dengan Cherlin yang masih asik bergelayut manja di leher prianya itu.     

"Jadi, bagaimana kelanjutan dari hubungan kalian berdua? Setelah hadir seorang bayi mungil, akankah kalian akan segera melangkah ke jenjang pernikahan?" pertanyaan Aki membuat semua orang menanti kabar, begitu pula dengan Cherlin yang mengangkat satu alisnya untuk mempertanyakan. Ya, bagian membingungkannya ada pada Nathan yang merasa di desak.     

Untuk saja semua itu teralihkan pada kedatangan seorang lain dari balik pintu yang masih terjerembap. Secara ajaibnya mampu mendorong Cherlin untuk menjauh.     

"Permisi, saya datang membawa hadiah dari Nyonya Nina dan juga tuan Jonathan."     

******     

"Akhirnya semua orang pergi. Sungguh, sulit sekali untuk bisa berada dalam jangkauan dekat mu seperti ini."     

"Eh, tunggu dulu. Aku? Bukankah yang kau katakan saat izin masuk tadi karena begitu candu dengan bayi itu?"     

"Hehehe... Aku tak bohong untuk itu ya, Nath."     

"Sial kau!"     

"Hei, apa kau melupakan peringatan dari Cherlin tadi?"     

"Bahkan kau mendengarkannya dari balik pintu kamar mu?"     

"Tak sengaja, habisnya kalian semua berisik."     

"Sekarang aku baru memahami tujuan mu. Kau yang mencari kesempatan dalam ruang sepi untuk mendekat pada ku?"     

"Tepat sekali."     

"Jangan bilang kau masih menaruh perasaan pada ku?!"     

"Memang salah? Ingat kenyataannya, Nath... Kita bahkan bukan saudara satu ayah."     

Nathan menghela napas gusar, tubuhnya kemudian jatuh berguling-guling di atas ranjang yang kemudian segera di tangkap oleh Jevin yang menunggu di sisi lain.     

Memberikan pelukan yang begitu erat, bahkan Nathan hampir saja tak bisa bernapas karena remaja itu melilitkan lengan sekaligus kakinya begitu ketat.     

Entah Nathan merasa senang atau sedih karena hadiah boks bayi dari keluarga Nandara, namun yang pasti Jevin bertambah leluasa untuk melecehkannya.     

Cuppp     

Puncak kepala yang di sasar kecupan, kemudian mendongakkan wajah milik Nathan dan hampir saja menempelkan bibir mereka jika saja Nathan tak tanggap dengan membekap mulutnya sendiri.     

"Jangan macam-macam! Atau kau ku adu kan pada papa atas tindakan tak sopan mu ini!" peringat Nathan dengan suara tenggelam akibat telapak tangannya yang terlipat menutup di sana.     

Menjadi senjata ampuh yang akan di ingat oleh Nathan selanjutnya. Kali ini Jevin yang melepaskan dekapannya, kemudian bangkit bersandar di kepala ranjang sembari mendesah protes. "Bukannya aku takut di marahi oleh papa mu, hanya saja aku merasa khawatir saja jika sewaktu-waktu dia akan mendepak ku dari rumah ini."     

Nathan yang kemudian di buat mengernyitkan dahi atas ucapan Jevin yang seperti begitu memelas dan yakin akan ketidakberuntungannya.     

Mengambil posisi yang sama, kemudian Jevin mengambil kesempatan dengan jatuh pada sandaran bahu milik Nathan.     

"Jika bicara kenyataannya, papa adalah ayah kandung mu, kan? Kenapa ku perhatikan sejak awal kau nampak tak bisa dekat dengannya, bahkan menerima?"     

"Karena masih terbayangkan kejadian  lalu? Aku yang masih bayi bahkan harus dirawat bergantian oleh saudara-saudara bunda ku ketika dia meninggalkan ku begitu saja? Demi apa pun, bunda bahkan terbaring koma selama bertahun-tahun. Hampir saja semua orang menyerah untuk mempertahankan."     

"Pantas saja papa dulu sibuk ke luar negeri, rupanya memang menemani bunda."     

"Apa?"     

Jevin nampak terkejut dengan balasan Nathan. Bahkan bangkit dari tumpuannya dan memandang Nathan dengan begitu intens.     

Nathan kemudian menggidikkan bahunya ringan, bersamaan dengan menarik kedua kakinya untuk meringkuk. "Kau yang mungkin saja suka menghilang sejak awal karena sibuk dengan kesenangan mu di luar? Melewatkan banyak yang terjadi di keluarga mu, bahkan kenyataan pertemuan kita yang harusnya datang lebih awal hingga kau tak perlu menggila dengan anggapan perasaan suka mu sekarang ini?"     

Jevin memberenggut setelah permasalahannya dengan hati di singgung. Sementara Nathan hanya terkekeh, bahkan tanpa di sadari mencubit puncak hidung lancip milik Jevin yang baru di sadari memiliki tahi lalat kecil di sana.     

"Sebenarnya aku tak akan terlalu heran jika kau akan salah paham seperti sekarang ini. Kau tahu, meski pun papa adalah salah satu orang yang keras dalam mendidik, tapi di satu waktu aku dapat menemukan perhatiannya sekaligus. Mungkin kau hanya belum terbiasa dengannya."     

Jevin yang menelengkan kepala dengan dahinya yang makin berkerut dalam, agaknya masih terlihat kurang yakin dengan ucapan Nathan kali ini. "Lantas jika ia sehebat yang kau katakan, kenapa pula ia tega menelantarkan aku dan bunda di saat-saat sulit?"     

"Apakah kau masih tak memahaminya? Mama ku yang mungkin saja menipu sejak awal, menjadikan kehadiran ku sebagai alasan?"     

"Jadi, kau membenci tante Rara, seperti yang katakan saat di mana ia menolak niatan mu untuk mengadopsi anak Lisa?"     

"Ehm... Aku yakin kau akan menyamakan diri mu dengan ku yang kekanakan jika ku katakan dengan jujur," balas Nathan dengan suaranya yang makin pelan. Segera di balas Jevin dengan tawa cekikikan.     

"Sialan, kau rupanya sama saja dengan ku. Mudah menyimpan dendam, eh?"     

Nathan menepis lengan Jevin yang menakup rahangnya dengan wajah semakin di dekatkan seolah menyela kesempatan lengah.     

"Tapi, ucapan ku belum selesai. Setelah ku pikir-pikir lagi, agaknya aku sudah terlalu keterlaluan padanya."     

"Maksud mu?" heran Jevin yang merasa ucapan Nathan membuatnya pusing.     

"Sama halnya dengan Lisa, mungkin saja waktu itu mama ku punya alasan untuk mendapat memerankan antagonis?"     

"Dia yang terlalu mencintai papa ku? Maksudnya begitu?"     

"Ya, ku rasa memang seperti itu."     

"Lalu kau anggap tak masalah?" tekan Jevin memastikan.     

Lagi-lagi Nathan hanya mengangkat bahu, penuh keraguan menimpal. "Mungkin saja aku bisa mentolerirnya? Namun untuk kembali dekat padanya, mungkin saja aku masih tak bisa."     

Tak     

Tiba-tiba saja Jevin yang menjentikkan jari tepat di depan wajah Nathan, membuat pria itu berjengkit kaget terlebih dengan senyum sumringah remaja itu. Terlebih saat dengan mudahnya Jevin berkata, "Jadi jika aku menjadikan alasan untuk dekat dengan mu karena cinta, tak jadi masalah, kan?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.