Hold Me Tight ( boyslove)

Memendam rasa



Memendam rasa

0"Aku sedang sibuk, tak ada waktu untuk sekedar beranjak dari meja kerja ku dan meninggalkan semua berkas yang menggunung."     
0

"Kejam sekali. Sungguh, aku bahkan mengambil sela waktu istirahat mu, aku sangat baik dengan menyediakan makan siang mu, Max."     

"Aku tak ingin membuat mu repot."     

"Tentu saja, karena kau telah berusaha untuk menghindari ku, kan?"     

Max di sana, dengan lengan yang tersembunyi di saku celana sedangkan yang lain masih mendekatkan sambungan telpon terhubung pada pendengaran.     

Pandangannya menatap pemandangan luar terbatas bilah kaca dari gedung pencakar langitnya. Menerka jauh, bahkan seperti menulikan protesan Lea setelahnya.     

Ya, Max berbohong jika tak mempunyai waktu sedikit pun, nyatanya ia adalah pimpinan yang berhak mengambil ritme pekerjaannya sesuka hati. Hanya saja akhir-akhir ini ia memang tak ingin di pusingkan dengan permasalahan konyol yang makin membuatnya pusing tujuh keliling. Terlebih Lea yang terus mendesak untuk lebih dari sekedar pertemanan mereka sejak dahulu.     

Sungguh, Max makin tak bisa mengerti tentang pola pikir Lea. Sebelumnya bahkan sudah di wanti-wanti jika tak akan ada kelanjutan lagi selain status pertunangan untuk sekedar membuat ibunya bahagia.     

Namun setelah semakin lama, nyatanya Lea semakin di luar batas. Seolah memerintahkannya untuk tunduk dengan prasangka dirinya turut mengambil kendali. Terus mengancam untuk membongkar perjanjian mereka di depan semua orang.     

Sungguh, Max malah makin berubah jengah saat Lea yang tak berhasil mengancamnya malah mengambil jalan lain untuk terus mencari perhatian. Pola yang sama untuk menarik simpatinya dengan anggapan seluruh isi rumahnya yang tak lagi aman karena di kelilingi oleh pendukung kakak tirinya yang menyakiti.     

Sungguh, bahkan Max sudah tak bisa sedikit pun mempercayai wanita yang menemani kisah hidupnya bertahun-tahun. Seperti yang di duga oleh Lea, memang benar dirinya sengaja membentengi sulit untuk wanita itu bisa mendekat padanya.     

"Sungguh, apakah ini semua karena Nathan yang kembali mencuri perhatian mu?"     

"Apa menurut mu aku begitu?"     

"Kenapa, bahkan aku tak akan merasa heran jika kau yang akan dengan teganya menyakiti adik mu sendiri karenanya. Ingat, bahkan Cherlin saat ini berada pada masa-masa paling bahagianya memerankan peran kepura-puraannya menjadi seorang ibu. Apakah kau masih berniat ingin merenggut senyumnya lagi?"     

"Ku rasa itu bukan urusan mu untuk ikut campur, Le!" Menutup panggilannya. Kemudian menarik surai kecoklatannya, dengan raut berang yang mendominasi. "Bangsat!"     

Prangg     

Bahkan tanpa peduli melempar ponsel miliknya hingga terpental ke lantai dan hancur berkeping-keping. Memang bohong jika dirinya bisa sepenuhnya melupakan perasaannya pada Nathan. Terlebih dengan segala kegilaannya yang seperti tergantung sepenuhnya pada pria menggemaskan itu.     

Jangan anggap Max tak pernah berusaha untuk melupakan, bahkan selayaknya menjelma menjadi pria haus kepuasan gairah, ia sudah terlalu sering menyewa jasa pada pelacur baik wanita atau pun pria, dan semua tak sedikit pun membuahkan hasil. Lantas, apa yang harus ia lakukan? Membiarkan hatinya terus terluka melihat senyum Nathan karena orang lain? Membiarkan hatinya perlahan beku sampai akhirnya terkikis lebur?     

"Maaf, Max. Ku pikir aku terlalu lancang untuk masuk ruangan mu tanpa permisi. Ku rasa aku mengganggu waktu mu, aku akan pergi jika begitu."     

Terlebih dengan kedatangan tiba-tiba dari sosok pria yang begitu di cintainya?     

Secepat kilat, Max pun segera beranjak dari tempatnya dan mengikuti jejak langkah kepergian Nathan. Lengannya kemudian berhasil menggenggam, membalik posisi Nathan untuk menghadap padanya.     

Sekali lagi pandangan intens keduanya bertemu, masih dengan debar jantung menggila yang saling bersahutan. Hingga seperti tertarik pada kenyataan, menarik mundur mereka dengan renggang berjarak yang begitu terlihat.     

Max melepaskan genggamannya, kemudian melangkah kembali ke arah ruangannya sembari berucap datar, "Ada perlu apa kau datang menemui ku?"     

Dalam situasi yang berubah menjadi amat tegang. Bahkan Nathan dan Max yang duduk berhadapan dalam jarak meja melintang di tengah mereka juga tak ambil pusing untuk saling bertatap. Seolah kembali mengasing saat waktu pertama pertemuan keduanya.     

Hingga Max yang dalam posisi menjaga diri menyentak sunyi. "Apakah kau akan terus terdiam seperti ini?"     

"Ah ya, sebelumnya maaf karena telah mengejutkan mu dengan kehadiran ku."     

"Tak masalah, bukankah kita sudah berteman akhir-akhir ini?"     

"Ah ya, kau benar sekali, Max. Kita berteman."     

Senyum Nathan berubah menjadi sangat canggung. Bukan seperti yang di harapkannya saat Max membantunya bangkit dari kesedihan paska kepergian Lisa. Ada apa dengan Max? Nathan pikir mereka memang sudah kembali dekat dengan kepentingan yang tak macam-macam seperti sebelumnya. Apakah pria jangkun itu masih menaruh perasaan padanya?     

"Bagaimana kabar bayi itu?"     

"Zeno, Zeno Alzafran, itu namanya."     

"Jadi kau sudah memutuskan?"     

"Ya, baru kemarin malam. Sejujurnya bukan aku yang menamai, aku bukan orang yang pandai berpikir tentang nama. Jevin yang mengusulkan."     

Max mengangkat satu alisnya, melihat Nathan yang berubah bersemangat saat membicarakan tentang sosok mungil yang di asuhnya itu. Bagian baiknya adalah pria itu terlihat bisa berdamai dengan keadaan setelah sekian lama. Namun mengapa Max masih saja tak menyukai nama lain yang keluar dari bibir pria itu? Jevin, kenapa Max mengira jika remaja itu tengah berada pada puncak kejayaannya setelah semakin dekatnya lingkup mereka?     

Terlebih saat Nathan yang mendekat dan hendak menunjukkan ponsel yang memotret kelucuan bayi itu. "Tidakkah menurut mu ia begitu menggemaskan? Aku tetap mengambil momen saat ia tengah menguap dan mengulas senyum tipis terlihat mengantuk seperti ini. Bagaimana menurut mu, Max?"     

"Bisakah kau menjaga perasaan adik ku?"     

Balasan Max yang bersuara datar membuat Nathan yang setengah membungkuk kembali pada posisi menegaknya tepat di samping tempat Max. Satu alisnya terangkat, masih tak memahami ucapan tiba-tiba Max saat ini. "Maksud mu? Apa Cherlin mengatakan sesuatu atas tindakan ku yang tak disukainya?"     

"Tidak, hanya saja memperingatkan mu untuk tak membuatnya sakit hati. Dengan bekas merah di leher mu, bisa saja ia berpikir berlebihan jika tahu, kan?"     

Seketika Nathan menganga, mengangkat lengannya dan menutup bagian sama persis yang di tatap begitu tajam oleh Max. Kemudian menepuk dahi, sedikit meringis atas keteledorannya kemarin. "Karena Jevin, dia yang kekanakan seperti mengajak ku bergulat. Sampai akhirnya aku yang kalah kekuatan menjadi seperti ini."     

Max menarik satu sudut bibirnya membentuk seringai, sampai di saat bersamaan lengannya terkepal erat membayangkan berlebih. Sungguh, Max cemburu. Dan harus di paksa menekan perasaannya yang sudah seperti tak terkontrol ingin berteriak tepat di hadapan wajah Nathan bahwa dirinya masih mencintai.     

Namun semua kembali tak semudah itu, Max pantang untuk menarik kata-katanya meski hatinya masih berkhianat. "Lain kali berhati-hatilah, jangan mudah untuk menarik kedekatan berlebih pada orang lain jika tak berminat untuk menanggapi lebih."     

"Baiklah," sahut Nathan dengan nada tersendat. Max benar-benar sangat menyeramkan, perlukah ia membatalkan tujuan utamanya mendatangi Max?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.