Hold Me Tight ( boyslove)

Jevin yang keras kepala



Jevin yang keras kepala

0"Sebenarnya jika kau sibuk, aku bisa meminta bantuan papa ku saja."     
0

"Tak masalah, itu urusan mudah untuk ku. Kau hanya perlu menunggu saja dengan tenang."     

"Ehmmm... Baiklah kalau begitu, terimakasih, ya."     

"Ucapkan itu nanti setelah orang ku berhasil mendapatkannya."     

Nathan menghela napas lega, meski semula dahinya kembali berkerut dalam saat tanpa kalimat penutupan Max lebih dulu mematikan panggilan mereka.     

Tentang seorang wanita yang akan di sewa untuk bisa memberikan bantuan berharga untuk anaknya itu. Ya, sebutan itu rasanya begitu membahagiakan untuknya.     

Menyimpan ponsel miliknya di dalam saku kemeja, beranjak dari dekat kaca yang menampilkan pemandangan sejuk di pagi hari dengan pepohonan hijau samping rumahnya. Membungkukkan posturnya, kemudian secara otomatis mimik wajahnya membentuk senyum lebar dengan lengannya yang mengusap bagian pipi menggembung milik Zeno- bayi menggemaskannya.     

"Tumbuhlah dengan sehat ya, sayang... Aku akan terus menjaga mu, tapi jangan pernah membuat ku bersedih lagi seperti waktu itu, ya?" lirih Nathan dengan penuh harapan. Seolah senyum terulas yang terukir di wajah bayi itu sebagai balasan menyanggupi, membuat pria dewasa itu berubah amat sensitif di tengah kebahagiaannya. Ya, setelah menghilangnya Lisa, seperti meninggalkan trauma untuk Nathan. Terlebih saat Zeno pernah dalam kondisi yang memburuk seakan penantian kedua kalinya untuk Nathan menunggu keputusan hidup dan mati seseorang yang menjadi bagian dalam hidupnya.     

"Hei, tak ingin sarapan?"     

Nathan berjengkit dari tempatnya, merasakan pelukan erat di belakang tubuhnya yang amat menempel walau dengan posisi setelah membungkuk. Suara rendah yang ditepatkan membisik, membuat Nathan yang kemudian bergidik geli. Bukan sesuatu yang sulit untuk dapat menebak suara atau bahkan tingkah jahil itu, bahkan Nathan yang seperti sudah merasa terbiasa hanya menghela napas sembari perlahan tubuhnya melepaskan diri.     

Sebuah cengiran tanpa rasa bersalah menyambut Nathan saat dirinya memutar badan. Melipat lengannya di depan tubuh, kemudian mengangkat satu alisnya seperti tengah memperingati.     

Namun agaknya remaja yang sudah siap dengan seragamnya itu masih tak kunjung memahami. Tubuhnya malah di majukan, meletakkan kedua lengannya pada bahu milik Nathan, kemudian berucap, "Bagaimana kabar Zeno pagi ini? sepertinya tak rewel, ya? Anak baiknya papa..."     

"Apa?"     

Jevin yang masih melongokkan kepalanya melalui celah leher Nathan yang terus kode melepaskan diri dengan menaik-turunkan bahunya. Belum sampai Nathan menyeletukkan balasan untuk memperingati, yang ada Jevin malah kembali membuatnya tak habis pikir. Papa, siapa yang di sebut demikian?     

"Apa, apanya? Ada yang salah dengan ucapan ku?"     

"Tidak, meski segala kronologi sapaan mu merepotkan aku yang terhimpit di antara diri mu dan boks bayi ini. Hanya saja, papa?" ucap Nathan dengan nada suaranya yang sedikit terbata.     

Jevin yang lagi-lagi belagak bodoh, bahkan dengan lancangnya kembali merapatkan tubuh sembari membalas, "Kenapa papa mu bingung saat aku memanggilnya seperti itu untuk mu, Zen?" seolah-olah bicara dengan bayi mungil yang hanya terdiam dengan rautnya yang bertanya-tanya?     

Ah, pastinya tidak demikian. Jevin hanya ingin menyampaikan kalimat itu pada Nathan melalui Zeno? Seperti orang yang tengah menyindir terang-terangan.     

"Ku rasa aku masih tak bisa menyebutkan diri ku seperti itu," sahut Nathan sembari mendorong jauh tubuh berat milik Jevin yang bertumpu padanya. Seperti tengah menerka keinginannya sendiri, kemudian melanjutkan, "Dia memang anak ku, tapi kau tahu menurut ku panggilan itu sangat penting dan tak bisa sembarangan. Aku masih belum bisa memberikan apa pun pada Zeno, ku pikir akan ada waktunya aku bisa mendeklalisir diri ku dengan panggilan itu."     

Sementara Nathan nampak amat serius, lain halnya dengan Jevin yang malah memutar bola matanya malas. "Serius sekali. Belum juga aku menyebut diri ku menjadi bagian terpenting untuk Zeno."     

"Jika aku papa, kau ingin menyebut diri mu lelucon seperti apa pada Zeno?"     

"Ehmm... Daddy?"     

"Sial! Aku bisa menebak berlebihan hanya dengan kalimat mu ini, Jev..." kekeh Nathan saat Jevin berubah kekanakan dengan mencebikkan bawah bibirnya.     

Kemudian kembali menjatuhkan kepala, menempelkan wajahnya di ceruk leher milik Nathan yang telat memberikan pencegahan. Telapak tangan besar milik remaja itu sudah mencengkram pinggang rampingnya.     

"Jangan macam-macam. Aku tak galak bukan berarti aku menerima niatan dekat mu, Jev."     

"Biar saja. Anggap saja aku yang bodoh ini masih terus usaha memperjuangkan mu."     

"Bukan hanya pada mu, melainkan kau juga mempersulit ku. Tanda merah yang kau buat kemarin di leher ku, membuat Max memarahi ku, tahu! Untung saja ia masih sedia untuk membantu ku mencarikan wanita yang bisa menyusui Zeno."     

Jevin yang tak mendengar dengan teliti ucapan Nathan karena sudah lebih dulu mabuk kepayang dengan aroma tubuh milik Nathan yang begitu menggoda. Namun selayaknya sensitif pendengaran pada seseorang yang di anggap musuh, membuat remaja itu seketika saja berjengkit dan menjauhkan tubuhnya dari Nathan. Alisnya mulai berkerut, sembari bibirnya yang terkatup rapat setelah berucap singkat,     

"Kenapa malah paman datar itu yang mengomentari perbuatan ku?" Tatapan Jevin seolah memberikan tuduhan saat mendapati Nathan yang kemudian buang muka dengan mendesak gusar. "Jangan bilang kalau kau masih terlibat dengannya?" terka Jevin yang lebih mempunyai arti lebih dalam dari anggapannya.     

Nathan yang tak ingin segalanya bertambah kacau dengan banyak prasangka, kemudian dengan cepat menggelengkan kepala sembari wajah yang di buat amat meyakinkan.     

"Bukankah aku baru saja mengatakan jika aku meminta bantuan Max untuk Zeno? Kebetulan saja ia melihat hasil tingkah usil mu, Max hanya seperti menegur ku untuk Cherlin."     

"Ish... Dan kau percaya begitu saja?"     

"Maksud mu? Tentu saja aku percaya. Dia bisa saja marah jika terjadi sesuatu yang tak semestinya menyangkut Cherlin, adik satu-satunya," yakin Nathan untuk menyatakannya. Malah kembali mendapat respon tak habis pikir dari Jevin.     

"Huh, rupanya kau masih betah untuk terlibat dengan kedua bersaudara itu?"     

"Apa yang kau katakan? Tentu saja aku akan tetap seperti itu. Apakah kau lupa jika keluarga kita dan Nandara sudah begitu dekat sejak dulu?"     

"Benarkah? Kenapa sempat terpikir oleh ku kalau kau ingin mengatakan, Cherlin adalah wanita masa depan mu, ya? Jadi, aku salah?"     

Kemudian Nathan terdiam, tak bisa mengatakan satu kalimat pun untuk membalas ucapan Jevin. Siapa Cherlin kali ini untuknya?     

Kriettt     

Pembicaraan Nathan dan Jevin yang telah berubah makin menegang itu pun di putuskan oleh suara derit pintu terbuka. Seorang wanita dengan gaun pendeknya berhenti di ambang pintu, menampilkan senyum merekah indah yang segera di balas kompak oleh Nathan dan Jevin yang kompak canggung.     

"Apakah aku mengganggu pembicaraan antar pria disini?" ucap Anggun sebelum langkahnya perlahan masuk ke dalam ruangan milik Nathan.     

"Ah tidak, kau bisa masuk," balas Nathan yang amat ramah. Seakan menyambut dengan ikut beranjak dari tempat hadapnya dengan Jevin sampai beberapa saat lalu.     

"Baiklah. Kalian segera ke bawah untuk sarapan, biar aku mengurus sisanya untuk cucu ku."     

Rasanya Nathan telah membuat Jevin merasa tak nyaman dengan topik pembicaraannya sendiri beberapa saat lalu. Remaja itu mendahuluinya, dengan langkah cepat bahkan melupakan permintaannya sendiri yang ingin berangkat bersama?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.