Hold Me Tight ( boyslove)

Di paksa menyerah?



Di paksa menyerah?

0"Jadi, dia adalah adik mu? Kenapa kita baru tahu sekarang ini? Lagipula alih-alih terlihat mirip, kenapa tak sedikit pun kegagahan remaja ini menular pada mu, Nath?"     
0

"Sialan kau, Tom!"     

Nathan mengumpat pada kawannya yang terlalu jujur dalam mengomentari. Memberi pelajaran dengan pukulan telapak tangannya tepat di belakang kepala milik Tommy.     

Aki dan Galang hanya terkekeh ringan, sedangkan Jevin yang di perkenalkan sebagai bagian yang memiliki peran merasa di atas awan karena di sanjung demikian.     

Ya, seperti janjinya pada remaja pria yang menuntut posisi keluarga, Nathan pun memulainya dengan bagian terdekatnya terlebih dahulu. Mengenalkan Jevin pada kawan-kawannya sebagai sang adik.     

Lisa yang pertama mendapatkan informasi, masih di ingat responnya tak begitu jauh dari Tommy yang selalu membuka lebar mulutnya dengan lontaran kata frontal.     

Namun setelah mengulang ingat pertemuan wanita itu untuk pertama kalinya dengan Jevin, sontak saja di hadiahi tawa menyembur dari wanita itu tanpa henti. "Ini benar-benar takdir yang begitu konyol, Nath!" pekik wanita itu beberapa hari yang lalu.     

Ya, rupanya Lisa memang menebak ketertarikan Jevin pada Nathan. Remaja yang begitu terang-terangan mengikis jarak dengan sekalian tanpa ragu memberikan bekas peninggalan pada bibir Nathan, walau sekedar kecupan ringan yang berlangsung beberapa detik saja.     

Remaja pria yang patah hati karena kenyataan yang di dapati, Nathan rupanya sosok keluarga? Lebih menyesakkan karena penantian panjang yang terhenti karena sebuah pancingan berita dadakan yang menghebohkan? Bahkan Lisa yang amat cepat berubah emosi seketika saja terenyuh dengan ketidakberuntungan dari pria yang hanya di temuinya satu kali itu.     

"Aku paling suka saat kawan yang konglomerat ini mengundang ku dalam pesta megah. Namun sayangnya hanya berlangsung sesekali, bagaimana kalau kau mengizinkan tiga pria kesepian ini mencari keberuntungan di antara wanita-wanita cantik dan berkelas di ruangan besar ini?"     

Nathan hanya bisa menggeleng dengan kekehan pelan saat Tommy yang lagi-lagi bersuara dan merangkul pengaruh paksaan pada Galang dan Aki yang hanya bisa menurut. Membalik badan, dengan baris berjajar yang begitu menempel dari ketiga pria yang makin menjauhi posisinya itu.     

"Kau tak masalah, Nath?" tanya Jevin yang sejak tadi tak sedikit pun mengalihkan pandang pada Nathan. Bibir yang sempat tertarik dua sudutnya dengan gurat wajah bahagia, seketika saja redup saat tak lagi ada pihak yang di rasa bisa di tipu.     

Menggidikkan bahu dengan ringisan pelan yang masih memaksa kembali mengulas senyum. Hadapnya yang tertarik penuh pada Jevin pun membuat pria itu menundukkan pandang saat merasakan sebuah lengan mengisi sela jemarinya.     

"Aku tak membual untuk mengatakan ketulusan ku waktu itu. Ya, meski memang tak terlalu memuaskan dengan peran ku saat ini."     

Nathan merasa benar-benar terharu, remaja yang sempat mati-matian dihindarinya karena di rasa bengal itu malah tak seburuk yang dipikirkannya. Memiliki hati yang begitu lapang dengan ketulusan yang di tunjukkan, seolah tanpa memikirkan perasaannya sendiri yang mungkin saja masih kecewa. Sungguh, kali ini Nathan benar-benar merasa beruntung memiliki satu peran baik lagi yang bisa menguatkan dirinya.     

"Tak apa."     

"Kau jelas berbohong. Untuk sedikit menenangkan mu, ku rasa meminum beberapa teguk wine mampu membuat mu sedikit tenang?"     

Nathan hanya terdiam, tawaran Jevin masih di rasa tak mampu membuatnya terbujuk. Tak ingin membuat kebaikan remaja itu di timpal tanpa tahu rasa berterima kasih, kemudian di setujui dengan anggukan kepala ringan.     

Nathan kemudian sendiri, di tengah keramaian orang-orang yang makin jelas menatapnya dengan intens yang keterlaluan. Pandangan yang sontak terlempar dengan lengan terangkat untuk menyembunyikan gelak tawa kompak dari sebagian besar tamu.     

Ya, agaknya mereka semua memang menganggap acara yang terselenggara dadakan ini adalah semacam lelucon. Masih dengan berita yang menggemparkan, tak menutup pemikiran buruk dari orang-orang yang menganggap pertunangan dari kedua pewaris dari masing-masing perusahaan raksasa itu hanya untuk menutupi borok yang terlanjur sudah menyeruak tercium busuk ke seluruh penjuru kota besar itu.     

Di ballroom hotel yang di tata dengan begitu megahnya, hanya di masuki pria itu dengan tubuh seolah tak lagi bernyawa. Meski kali ini adalah jalann yang ditujunya, jelas masih tersimpan ketakutan Nathan untuk memandang ke masa depan walau hanya terpaut satu langkah.     

Lisa yang jelas tak bisa hadir untuk menenangkannya, membuat pria itu seketika terlihat begitu rapuh saat perlahan sendiri di situasi semacam ini.     

"Begitu bangga memperkenalkannya sebagai adik mu, apakah aku yang sejak tadi menaruh intens pada mu bukan termasuk yang kau anggap? Dia jelas belum mengenal siapa diri ku, atau perlukah aku menariknya kasar dan memberinya bogem mentah dengan meneriaki nama ku pada pendengarannya?"     

"Perhatikan di mana kita sekarang, bangsat!" umpat Nathan dengan suara lirih penuh geramannya. Seorang pria yang membisik panjang lebar tepat di posisi belakang tubuhnya, membuat Nathan yang muak hendak lari seribu langkah menjauh dari pria berparas oriental itu.     

Namun sayangnya ia lupa telah berhadapan dengan siapa. Max yang selalu bertingkah egois itu bahkan mencekal lengannya dengan begitu erat. Benar-benar tak mempedulikan ratusan pandang yang menatap interaksi keduanya yang terlalu nampak tegang.     

"Mencari tempat lebih sepi, ku rasa usul mu tepat, sayang!"     

"Brengsek! Lepaskan aku!"     

Nathan menahan umpatan kasarnya, Max terlalu nekat untuk menambah pembicaraan yang makin mengada-ngada dengan paksaan menariknya yang begitu kasar di depan semua orang.     

Duar     

Max membanting pintu, sebuah toilet sepi mengunci keduanya di dalam sana.     

Nathan yang mencari jalan hendak melepaskan diri, di dahulu oleh sentakan kasar pria bertubuh besar yang menghatam tubuhnya ke bagian sisi pembatas yang begitu terasa dingin.     

Rasa nyeri jelas di rasakan pada bagian punggungnya, bahkan membuat Nathan mengerang di dalam dekapan Max.     

"Sungguh, aku benar-benar benci menjadi lemah seperti ini."     

"Berhenti bicara omong kosong, sekarang lepaskan aku!" lirih Nathan yang sudah begitu muak mendengarkan ucapan Max yang terus berusaha untuk membujuknya kembali.     

"Haruskah aku menculik mu sebelum sebuah cincin terpasang mengikat diri mu dengan adik ku?"     

"Sudahlah, aku tahu kalau kau tak akan tega untuk mempermalukan keluarga mu lagi di depan umum. Mereka akan kecewa dan terluka hanya karena keegoisan mu. Juga dengan tanggung jawab mu pada ribuan orang yang menggantungkan hidup pada perusahaan mu, tidakkah kau bisa berpikir sampai sejauh itu?"     

"Kekuasaan yang dalam satu waktu membunuh ku?" lirih Max dengan telapak tangan yang menakup wajah kecil milik Nathan. Dengan netra hijau keabuannya yang tak lagi ada gairah, bahkan wajahnya yang menegang tak lagi menunjukkan sisi menyebalkannya, alih-alih begitu sendu dengan senyum miris.     

"Tuhan memang adil, meski terkadang terlalu kejam untuk menjatuhkan ego lewat sesuatu yang terlalu di banggakan."     

Perlahan, Nathan melepaskan takupan lengan milik Max yang mulai mengendur. Mendorong dada pria itu supaya memberinya jarak, lantas menepuk tepat debar jantung milik Max yang mungkin di rasakannya terakhir kali.     

Max yang masih tertohok dengan pembenaran dari ucapan Nathan, ia yang di rasa bisa mengendalikan segalanya, nyatanya hanya tipuan belaka saat pembatas tebal melingkupnya supaya tak bisa terkutik dan hanya berada pada satu titik.     

Yang lebih membuat pria jangkun itu merasa perih dengan ribuan pisau yang layaknya menghujam tubuhnya saat Nathan dengan begitu tulus mengucapkan kata penjelas untuk hubungan mereka.     

"Ku harap debar jantung ini bukan untuk ku lagi."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.