Hold Me Tight ( boyslove)

Cherlin di culik



Cherlin di culik

0Bagas yang memberikan dekapan makin erat pada sang istri, menambah raut kebencian pada Rara yang masih saja bersikap kekanakan bahkan di saat yang genting.     
0

Jevin yang jelas hendak membuka mulut untuk membalas sentakan kasar yang di tujukan pada bundanya, di hentikan seketika oleh Nathan yang menghadang lengannya di tubuh remaja itu.     

Seketika saja menyusup kecemburuan pada Max yang menatap kedekatan yang tak semestinya dari kedua bersaudara itu. Nathan yang bergeser makin berjarak pada posisinya, malah menerima dekapan dari Jevin yang menatapnya seolah penuh ledekan dengan bibir yang membentuk seringai.     

Tommy, Aki, dan Galang yang ada di posisi paling belakang hanya menjadi pengamat suasana yang terasa makin gaduh dengan permasalahan yang seperti kebetulan di sangkut pautkan. Hanya bisa membungkam, keterlibatan mereka masih bertahan saat kawan mereka dalam kesulitan.     

"Aku sudah mengerahkan semua anak buah ku dalam pencarian, meski begitu aku tak akan berdiam diri. Percayakan seluruhnya pada ku, bu... Aku akan membawa adik ku pulang."     

"Ya, tante seharusnya istirahat saja di rumah, ya..."     

"Kau juga harus kembali, Le!"     

Max menimpal balas ucapan Lea dengan begitu datar. Layaknya sekedar posisi kenal saja tak di anggap, pria berparas oriental itu bahkan tak sedetik pun menyempatkan waktu untuk menatap balas. Kemudian Lea pun berdecih, saat kehadirannya tertutup seketika oleh lawan yang sialnya adalah seorang pria gay.     

Kemudian mereka pun sepakat, pada orang tua di haruskan kembali pulang untuk beristirahat. Lea yang merupakan wanita satu-satunya, rupanya masih keukeh untuk ikut serta dalam pencarian, dalih memiliki kecemasan yang begitu emosional dengan Cherlin yang sudah begitu dekat dengannya itu.     

Tiga mobil yang kemudian putar balik sesuai dengan aturan. Menyisakan yang mobil lainnya yang lekas di masuki oleh ketiga kawan Nathan dan sisanya di kendaraan lain.     

Riki di perintahkan kembali oleh Max karena lukanya yang sudah begitu parah dengan darah yang telah mengering. Tak mempedulikan bantahan, titah mutlak dari tuannya itu di balas kepala membungkuk patuh dari pria berseragam itu pada akhirnya.     

Terisa dua tim pencarian, melaju pada titik akhir yang sempat kualahan di kejar oleh Riki. Banyak komplotan yang di perkirakan ikut serta untuk mengecoh, membuat semakin sulit saat tak ada sedikit pun kepastian yang di dapat lebih lanjutnya. Ponsel Cherlin rupanya tertinggal di mobil, beserta dengan tas kecilnya.     

"Amati kamera pengintai di setiap sudut kota. Pergerakan sekecil apa pun, kau harus bisa menemukannya."     

Max kemudian melemparkan begitu saja ponselnya setelah selesai memberikan perintah. Pikirannya begitu kalut, bahkan fokus bercabangnya saat ini terus di kecoh dengan kedekatan ke dua pria di kursi penumpang belang itu.     

Rahang tegasnya sampai berubah makin mengetat. Hatinya begitu bergemuruh dengan sulutan panas layaknya kobaran api yang menyerang. Netra hijau keabuannya yang terus di desak fokus pada jalanan depannya yang temaram, namun peralihan cepat tanpa bisa di kontrol menggiringnya pada kaca depan sebagai pengintai.     

"Bisakah kau tak mencari kesempatan di saat sulit seperti ini, bocah!" sentak Max dengan penuh penekanan. Sunyi yang mulanya melingkup, seketika saja berubah menegang dengan tatapan tajam yang saling balas di tujukan.     

Nathan yang sempat bertemu tatap di bias kaca pun lantas melempar pandangan menjauh dengan bola mata yang memutar malas. Lengannya bersendekap, serta mulut yang membungkam, tak tertarik untuk memulai keributan dengan Max yang jelas mencemburui.     

Jevin yang mulanya tak bermaksud, layaknya di dorong seketika oleh sindiran sinis dari Max yang begitu di rasa memenangkannya saat ini.     

Posisi duduknya pun makin di geser merapat pada Nathan, lengannya yang memang merangkul pria itu, lantas mendorong Nathan untuk jatuh dalam dekapannya makin dalam.     

"Untuk menenangkan, kau tahu jika kakak ku ini juga cemas memikirkan calon tunangannya itu, kan?"     

Alasan yang rupanya begitu tepat untuk membungkam mulut Max. Membuat Jevin merasa menang telak saat pria yang berada di balik kemudi itu lagi-lagi nampak begitu murka. Nathan yang tak pula peka untuk menjaga jarak, rupanya memang memanfaatkan peluang untuk memperlihatkan pada Max jika pria itu tak lagi ada pengaruh di hidupnya.     

Lea yang masih tak di libatkan untuk beberapa saat, jelas saja membuatnya muak dengan pertunjukkan mengerikan yang masih sempatnya untuk di permainkan oleh ketiga pria itu.     

"Apakah kita hanya menyusuri jalan ini tanpa tujuan?"     

"Harapan mu bagaimana? Mengetok seluruh deretan bangunan ini dan mencurigai mereka tanpa alasan?"     

Ucapan Lea langsung di balas dingin oleh Max. Jelas membuat wanita itu melirikkan mata tajam pada pria yang ada di sampingnya. Sungguh, Max benar-benar sudah berubah     

padanya, dan bagian yang paling di benci adalah saat kecemasan pria itu pada sang saudara hampir menyamai kecemburuannya pada Nathan yang nampak bangga dengan keterdiamannya.     

Sudah sangat larut, bahkan baik dari kelompok Max atau pun kawan-kawan Nathan yang membantu tak sekali pun menemukan tempat mencurigakan di sekitar titik yang di informasikan.     

Gang-gang kecil yang tak luput dari sasaran, sekali pun tak membuahkan hasil. Sudah lewat tengah malam, membuat mereka sepakat untuk menyerah saat itu. Hanya bisa berharap tak ada suatu hal buruk pun yang terjadi pada Cherlin, di mana pun wanita itu berada.     

Setelah lebih dulu mengantarkan Lea, mobil yang pun masih terhenti di sana. Wanita yang melambaikan tangan itu, lantas berdecih saat tak ada balasan sama sekali dari dalam mobil itu.     

"Kau bisa turun di sini, hubungi siapa pun untuk menjemput mu."     

"Baiklah, aku mengerti kalau kau ingin cepat istirahat. Ayo keluar, Jev!"     

"Tidak dengan mu, Nath!"     

Rupanya masih berdebat tentang masalah perasaan. Max yang memberikan perintah pada Jevin untuk segera menyingkir, layaknya mendapat pembelaan tanpa pikir panjang oleh Nathan yang dengan cepat menggapai pintu.     

Sentakan kasar untuk menghentikan pergerakan Nathan, hanya di balaskan ketidakpedulian oleh pria yang masih ada dalam genggaman tangan licik yang mengambil kesempatan.     

Layaknya tak ada lagi celah untuk bisa menunjukkan kepemilikan, Max pun terpaksa mengambil langkah mundur untuk saat ini.     

Menancap kendaraannya gila-gilaan, posisi Max yang mengemudi tanpa pendamping di bangku penumpang depannya, membuat ia layaknya seorang supir yang mengawal kencan antara kedua pria di belakangnya yang sama tak mempedulikannya dengan tak ambil pusing mengambil jarak satu sama lain.     

"Maaf baru sempat mengabari mu se larut ini. Lis, aku agaknya tak bisa pulang," ucap Nathan pada kawan wanitanya melalui sambungan seluler.     

Memilih satu jalur untuk tak lebih lama membekukannya karena tatapan Max yang terus di tujukan dingin. Masih di pikir mencari posisi aman untuk persembunyiannya saat ini, masih di usahakan walau tak jadi hal mustahil saat pria berparas oriental itu ingin sekali menyelidiki.     

Kembali menginap di rumah. Toh, tak ada yang perlu di hindari olehnya.     

"Perlu sebuah guling hidup yang bisa membalas pelukan mu?"     

Nathan terkekeh, saat pintunya terbuka dan mencelingukkan sebuah kepala di ambang pintu. Senyum lebar sembari kedipan mata yang layaknya penggoda, membuat Nathan yang di lingkup kecemasan mati-matian di ranjangnya itu tergoda untuk sedikit mendapatkan peran seorang kawan.     

Mengundang masuk Jevin ke atas ranjangnya, tak ada masalahkan? Toh, mereka terikat saudara meski perasaan remaja itu sempat terucap. pikir Nathan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.