Hold Me Tight ( boyslove)

Di kira maksud lain?



Di kira maksud lain?

0Nina yang jelas merasa paling sedih sebagai sang ibu. Jonathan yang masih terus menenangkan tangis wanitanya tak sekali pun di gubris. Sebagai seorang sahabat, Rara pun tak absen untuk bantu menenangkan, sembari di lain pihak, bersama dengan Bagas, perusahan Adikusuma yang masih mencantum keduanya pun turut mengirimkan bantuan untuk melakukan pencarian.     
0

Sudah terlewat tiga hari dari masa menghilangnya wanita itu di pesta acara pertunangannya. Walau pun begitu, masih tak ada satu pun panggilan masuk dari nomor asing yang meminta tebusan sebagai pengganti nona muda dari keluarga kaya. Ya, memang sudah di perkirakan jika para penjahat suruhan itu berada pada kaki tangan orang berpengaruh. Jelas tak menarget harga hanya sekedar nominal dengan beberapa digit di belakangnya.     

Sama sekali tak terpikirkan satu sosok pun yang bisa di duga sebagai pelaku. Jika hanya sebatas permasalahan bisnis, di pastikan seluruh saingan atau bahkan koleganya di pastikan masuk dalam seleksi.     

Bisa saja Max mencari informasi dari mereka satu per satu, bahkan dalam cepatnya bisa menembak pertanyaan langsung pada mereka yang golongan elite. Namun di pikir belakangan, resikonya akan jauh lebih besar jika ternyata pertanyaan yang di lontarkan berupa tuduhan oleh Max membuat mereka merasa tersinggung lantas sakit hati. Terlebih hanya minim di rasa jika mereka punya waktu untuk sekedar mengurusi hal konyol semacam drama penculikan setelah aksi sang aktris di tersiar ke seluruh penjuru kota.     

Ia masih tak bisa berbangga diri atas posisinya yang sejak awal memang merajai segalanya. Namun jelas untuk kasus ini sudah berbeda, image perusahaan tercoreng akibat permasalahan pribadi para pewarisnya yang sampai tersebar ke publik. Posisinya begitu rawan, seakan memang tak bisa berkutik. Bisa di ibaratkan terburuknya, mungkin saja satu nyala api pada sumbu lilin dapat melalap habis perjuangannya dalam waktu sekejap. Max tak sebodoh itu untuk menghancurkan kebanggaan papanya yang di rintis mulai dari bawah.     

Tak ada motif yang bisa mengerucut, kebencian pada Cherlin bahkan di ketahui terlalu banyak oleh Max. Ya, apa lagi jika bukan persaingannya pada para wanita di kampus untuk menjadi nomor satu?     

Pencarian hanya terpaku pada sekitaran titik yang sama, dan seperti yang bisa di tebak, tak satu pun dari mereka menemukan satu petunjuk.     

Hari sudah beransur petang sejak pertama kalinya mobil mereka beruntun keluar dari mansion mewah keluarga Nandara. Waktu di habiskan pada pelarian pandang ke sekitar jalanan, letih pun mulai di rasakan. Kecemasan sudah seperti tak terbendung lagi.     

Pria jangkun itu menutup ponsel miliknya yang semula terhubung, lantas mengumpat lirih, "Sial!" sembari membanting layar gelapnya di atas meja yang di sediakan di depan minimarket tempatnya singgah.     

Tubuh besarnya sampai meringkuk, sikunya yang menumpu pun menyangga kepala dengan mencengkram helai rambut kecoklatan miliknya. Terlalu penuh, bahkan otaknya yang terus di paksa bekerja bisa saja meledak karena musibah kali ini.     

"Ekhem!" Suara deheman menyita perhatian Max. Dengan netra nya yang nampak begitu lelah, perlahan mengangkat pandang pada seseorang yang duduk di sampingnya.     

"Bagaimana, apakah ada informasi lanjutan dari orang-orang mu?" tambah pria itu dengan tak sekali pun nampak berkenan untuk bersikap sopan. Gelagat tubuhnya nampak tak nyaman, terlebih dengan bola mata yang meliar terlalu jauh dari Max yang di datangi.     

Menghela napas panjang, pria jangkun itu pun lantas menyandarkan tubuhnya di punggung kursi yang terbuat dari besi. Kaki panjangnya di luruskan, lengannya lantas terlipat di depan dada. Masih menunggu maksud Nathan selanjutnya setelah ia mengangkat kedua bahu ringan sebagai balasan.     

Namun yang di hadapinya malah kebungkaman, Nathan tak lagi menambah topik perbincangan setelah selang belasan menit berlalu. Memancing tawa sinis dari Max yang sontak mendapat balasan cepat dari Nathan yang mengernyitkan dahi bertanya-tanya.     

"Kenapa kau malah tertawa? Apakah ada yang salah dengan ku?" tanya Nathan yang saat ini terdengar mulai bersungut-sungut. Netranya bahkan sampai membola, dengan otot wajahnya yang sekaligus tertekuk dalam.     

Cepat, Max yang mendekatkan tubuhnya pada posisi Nathan di seberangnya. Raut yang semula nampak begitu menyebalkan, seketika berubah seratus delapan puluh derajat, amat datar.     

Sampai-sampai Nathan yang hendak bersikap baik dengan menyodorkan kantung plastik berisi beberapa makanan pengganjal perut, malah di jadikannya cengkraman kuat untuk menjadi pegangan. Sungguh, Max sangat menakutkan jika sampai seperti ini. Sampai Nathan yang sudah seperti makin membeku di tempatnya kembali meminta penjelasan.     

"Max, apa aku ada salah pada mu?" Bibir Nathan pun lantas terkatup, menjeda ucapannya dengan ringisan kesal karena kebodohannya yang kembali menjadi lelucon untuk Max saat ini. "Maksud ku, untuk hari ini," cicitnya Nathan dengan kepalanya yang otomatis terlempar untuk menghindari pandangan terlalu intens dari pria berparas oriental itu.     

"Coba saja kendalikan diri mu sendiri. Sungguh, tingkah mu yang saat ini begitu mencerminkan jelas tentang segala langkah mu yang dengan cepat membelot," balas Max dengan suaranya yang amat dingin, sampai-sampai Nathan merasakan hujaman es lancip yang menyasar tepat pada hatinya.     

Nathan kemudian berdecih, angin kencang di rasakannya merasuk cepat ke dalam tubuhnya hingga ke seperti ke tulang, otomatis deretan giginya bahkan sampai bergemelutup. Bulu-bulu halus pada indera perabanya seketika siaga, Nathan ketakutan. Namun masih tak ingin di akui tentang pandangannya yang memburam akibat rasa sakit yang menghujamnya akibat balasan sinis milik Max.     

Hampir saja satu kata pun tak berhasil terucap di bibirnya untuk membela diri, Nathan yang seperti mati-matian mendorong sesuatu yang mengganjal pada pangkal tenggorokannya dengan air liur yang di tenggak rakus. Namun nyatanya hal itu tak bisa sepenuhnya berhasil, bahkan kalimat awal yang terucap sampai seterusnya seperti sarat akan kesedihan yang di balaskan.     

"Aku di sini, bahkan usaha ku tunjukkan untuk menenangkan diri mu yang kalut." Nathan menjeda ucapannya, mendorong kantung plastik yang roti di dalamnya mungkin saja sudah hancur karena cengkramannya yang terlalu kuat.     

Berhenti tepat di hadapan dekat Max, dengan penuh tekad sekaligus mengangkat pandangannya yang telah begitu panas untuk menatap pria jangkun itu. "Namun kau sama sekali tak bisa menghargai ku?"     

"Buat apa? Kalau hanya untuk terus mengikuti arus permainan kekanakan mu, eh?!"     

"Maksud mu?"     

"Menghadapkan ku pada kenyataan, yang di sisi bersamaan seperti menampar ku dengan begitu kejam. Bahkan tindakan mu yang seperti ini, kenapa aku sudah seperti menutup habis prasangka baik ku kepada mu?" Max menggelengkan kepala, buku jarinya yang terkepal terlalu erat di atas meja, tak lepas intens oleh Nathan yang hampir saja lepas kendali.     

.... Buat apa sibuk menunjukkan simpati mu, jika kau terus memainkan drama di hadapan ku yang kau tahu dengan pasti akan membuat ku amat terluka? Hanya ingin menambah beban ku saja, kan?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.