Hold Me Tight ( boyslove)

Sensitif



Sensitif

Max hanya dalam suasana hati yang begitu sensitif. Luapan emosinya yang butuh tersalurkan, awalnya yang sedikit pun tak berencana untuk menyasar Nathan, malah tanpa terkendali melemparkan segala keganjalan hatinya pada pria yang untuk pertama kalinya memberinya bekas menyakitkan.     
0

Keduanya lantas bungkam, berpaling jauh dan sekali pun seperti tak ingin menebak sekedar ekspresi masing-masing. Keadaan malam yang rasanya makin menambah keras asing, layaknya memberikan batasan tembok besar yang begitu kokoh di antara keduanya.     

Seakan terus di balaskan impas dengan tindakan Max yang menolak mentah-mentah barang pemberian Nathan. Pria yang di berikan jaket pelindung ganda oleh sang adik itu pun lantas mematik api pada batang rokok yang di japit oleh bilah bibir merahnya. Menghisap dalam untuk mengisi rongga dalamnya yang begitu kosong, menyemayamkannya sejenak untuk memberi bekas peninggalan, lantas di baru setelah itu di hembuskannya perlahan melalui mulut.     

Rahang Max pun seketika saja mengetat, asap putih yang beraroma khas nikotin yang dihempaskan jauh dari penciumannya itu masih saja menyusup masuk saat hembusan arah angin bantu menerpanya.     

Selain karena kebenciannya akan asap yang mengganggu itu, Max rupanya jauh lebih murka saat Nathan yang seperti menyetujui kejelasannya untuk saling menjauh. Tak lagi ada sedikit pun tolerir, bahkan memori akan larangan berkali-kali sang dominan sudah jelas di abaikan. Tak menunggu waktu lama, atau bahkan selisih jam yang membuat keduanya bisa beranjak pergi.     

Bahkan sampai pada kehadiran sosok lain yang menduduki bangku yang mulanya kosong. Seperti menghilangkan makna kehadiran pria jangkun yang sontak terperanjat dari tempatnya, baik memilih pergi, kan?     

"Ada apa dengannya?" sayup terdengar oleh Max masih berjalan tak jauh dari posisi awalnya.     

Jevin yang seakan ketingggalan berita setelah baru saja memarkirkan mobil mewah milik Max yang di pinjam, lantas mengerutkan dahi, dengan netra menyipit perhatian pada Nathan dan Max yang makin menjauh.     

Nathan yang mengikuti pergerakan pria jangkun yang nampak bergerak dalam menyusuri minimarket yang tampilan depannya menggunakan penuh bahan kaca, kemudian tersentak karena rangkulan erat tiba-tiba yang menggelayut di lehernya.     

"Apa yang kau lakukan, Jev! Lepaskan aku!" perintah Nathan dengan lengan dekatnya yang berusaha menyaduk dada milik Jevin yang berdiri menunduk di sampingnya. Sampai tubuhnya yang menggeliat dengan geraman kesal atas kegigihan remaja itu dalam mencengkramnya.     

"Siapa yang menyuruh mu untuk merokok? Bukankah aku tadi menitip pesan pada mu supaya kau tak lupa untuk mengisi perut?" desak Jevin yang menjadi alasan. Dagunya bahkan mengkode tatapan tajam Nathan ke arah kantung plastik yang jelas terlihat masih utuh di dalamnya.     

Nathan pun berdecak, lantas memutar bola matanya sembari membalas cuek. "Sedang tak nafsu, lagi pula perut ku sudah kenyang, kok!"     

"Kau sudah dewasa, tapi rupanya masih begitu bodoh?" Nathan sontak bergegas hendak menjauh saat satu lengan milik Jevin beransur meraba bagian dekan tubuhnya, semakin turun.     

Pung Pungg     

Nathan yang membeliakkan matanya seketika saja menurunkan kapasitas pandanganya untuk mengintimidasi. Jevin membuatnya tak menyangka, rupanya remaja pria yang hanya di balut kaos lengan pendek itu memukul pelan bagian perutnya yang memang seperti lebih besar.     

"Kau begah, isi di dalamnya hanya angin. Makin parahnya malah kau paksa untuk merokok? Ingin menambah penyakit?"     

"Ekhem!"     

Sebelum sempat Nathan membalas ucapan Jevin yang penuh kekhawatiran, sebuah deheman rupanya mampu membuat ke dua pria yang menempel dekat itu terperanjat. Pandangan yang kompak teralih pada sumber suara, kemudian saling menjauh dalam satu waktu saat Max yang rupanya tak sudi menjadi penonton satu-satunya, menyeruakkan hawa sekitar menjadi berputar arah. Di rasakannya begitu panas saat netra hijau keabuan milik pria jangkun itu menyasar tepat pada milik Nathan yang otomatis membalas.     

Nathan yang telah bangkit dari posisi duduknya, lantas tanpa sadar menggulirkan sisa batang rokok miliknya yang belum di nikmati sepenuhnya. Pandangan pria itu mengerjap, dengan mulut yang hanya buka tutup tanpa satu kata pun terlontar di sana.     

Tiba-tiba saja Nathan bingung, setelah Max mempengaruhinya dengan tanggapan kasar seperti tadi, kenapa pula sempat terpikir olehnya untuk menjelaskan kedekatannya dengan Jevin sedetik lalu? Walau sekali pun untuk berbasa-basi, memangnya apa yang tepat untuk dikatakannya?     

Apa yang salah dengan dengan ekspresi mu yang nampak marah? Mengapa kau menolak bantuan ku dengan membeli makanan mu sendiri? Atau yang paling tepat, apakah kau masih cemburu karena kedekatan ku pada Jevin yang selalu kau salah artikan? pikir Nathan yang tanpa sadar membuat situasi mematung ketiganya terlalu lama.     

Jika tidak Max yang mengkomandoi, mungkin saja Nathan dan Jevin tak akan beranjak dari titik mereka masing-masing.     

"Apa kau menemukan sesuatu dari ucapan meyakinkan mu tentang misi yang kau ucapkan tadi?" tanya Max sembari memasang sabuk pengaman di bangku kemudinya. Netra pria itu terangkat untuk mengarahkan kaca spionnya pada keadaan di kursi penumpang belakang. Nathan tertangkap basah sedang memandangnya di sana. Pria itu seorang diri, bahkan Max mengetahui interaksi antara Nathan dan Jevin yang sedikit berdebat untuk siapa pun dari mereka bisa menempati sisi samping kemudinya.     

"Apakah kau menaruh kecurigaan pada sesuatu?" tambah Max yang kali ini menatap Jevin yang masih bingung dengan keadaan yang melibatkannya kali ini.     

Alis terangkat seolah paksaan cepat untuk segera menjawab, lantas di turuti oleh remaja itu. "Aku baru ingat jika salah satu berandal yang ada di sekolah ku mempunyai basecamp di sekitar daerah ini."     

Tertarik, Max bahkan sampai menaruh intens penuh pada Jevin. "Meski aku yakin kalau kau masuk dalam komplotan berandal yang kau katakan itu. Lantas?"     

Mengabaikan sindiran tepat pria dewasa itu, Jevin yang dalam posisi miring pun memudahkannya untuk membagi intens pandang dengan Max dan juga Nathan yang sudah memajukan tubuhnya untuk ikut serta berdiskusi.     

"Tak jauh dari yang ku katakan, masuk kawasan elite dengan bangunan mewah yang berjajar."     

"Lantas, inti dari pembicaraan mu?" desak Max yang gemas akan informasi yang di dapatkannya terputus.     

"Awalnya aku hanya berniat meminta bala bantuan saja, karena secara kebetulan titik hilang adik mu tak jauh dari kawasan ini, kan? Hanya menaruh insting kecurigaan saja, ku pikir aku bisa meminta mereka untuk mengumpulkan informasi dari kamera pengintai di masing-masing rumah?"     

"Ku pikir tak ada salahnya untuk mencoba. Kita memang tak ada pandangan sedikit pun, kan?" Nathan menimpali penuh dengan harap.     

Sedangkan Max menghela napas panjang, menghempas tubuh lelahnya untuk bersandar pada punggung kursi penumpang miliknya. Matanya terpejam, lengannya terangkat untuk memijat pelipisnya yang berdenyut menyakitkan.     

"Hanya untuk kali ini aku merendah. Ku mohon pada mu, bocah... Apa pun, lakukanlah untuk membantu. Sungguh, aku sangat khawatir jika terjadi sesuatu pada adik ku satu-satunya itu."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.