Hold Me Tight ( boyslove)

Bantuan



Bantuan

0Max benar-benar mengabaikan Nathan pagi itu. Setelah netra keduanya terbuka menyambut hari, bertepatan pula dengan posisi baringan mereka yang saling berhadapan.     
0

Tak ada satu kata pun yang terlontar dari bibir keduanya, hanya terkatup rapat. Nathan yang kemudian merasa tak nyaman dengan keterdiaman mereka pun hendak membuka mulut, namun sayangnya langsung tertutup saat Max lebih dulu bangkit dan lekas beranjak dari atas ranjang. Di hantarkan oleh tatapan intens Nathan yang terus mengikuti sampai bilah pintu kamar mandi itu tertutup.     

Menghela napas panjang, lantas frustasi membuatnya otomatis menarik helai rambutnya dan mencengkram begitu erat.     

Namun rupanya hal itu sama sekali tak bisa meredakan perasaan Nathan. Bahkan upaya baiknya lagi untuk mencairkan suasana dengan menyiapkan sarapan dengan bahan seadanya di dapur. Hanya ada telur dan sosis, yang menjadi kendala ada tentu kebodohannya yang nol besar jika perkara memasak.     

Akibatnya Nathan yang masih muka bantal itu kembali menutup pintu lemari pendingin itu. Kemudian hanya berdiri mematung di depan meja. Lengannya yang mengacungkan pisau yang di anggapnya sebagai alat memasak utama malah tak sedikit pun berfungsi. Jelas saja, Nathan memang tak mengetahui apa pun. Sampai akhirnya sebuah tepukan di bahu membuatnya berjingkrak dari tempatnya. Mengalih posisi sekejap, dengan wajah berkerut dengan mulut terbuka lebar berteriak.     

"Hua!"     

"Aduh-aduh! Santai saja, Nath... Ini aku, masih saudara mu kalau-kalau kau anggap!" Rupanya Jevin. Nathan yang terkejut pun lantas menarik dalam gurat wajahnya kembali dengan cepat. Netranya yang tertutup begitu rapat pun memandang kesal pada Jevin yang terkikik geli atas aksinya.     

Tak lama setelahnya, malah Jevin membentuk bulat bibirnya dengan pandangan yang menjelajah semakin turun. "Shit! Kau seksi sekali!"     

Nathan langsung saja membelalakkan mata dengan sontak memberikan ancaman berupa pisau yang semakin bergerak mendekat.     

"Kenapa tangan ku tak meleset saja, tadi? Setidaknya ujung runcingnya mengenai tepat bagian dada mu. Hanya alasan kecelakaan, ku rasa aku melewatkan kesempatan yang baik."     

"Ishhh... Tajam sekali bicara mu, ya?" balas Jevin yang bergidik ngeri. Untuk mencegah kalau-kalau saja Nathan di rasuki oleh arwah kejam, tubuhnya lantas melinting untuk memberi jarak, lengannya kemudian bergerak penuh kehati-hatian untuk menurunkan ancaman yang di sasarkan kepadanya.     

Nathan hanya menggidikkan bahu untuk membalas. Bergerak memberi jarak, kemudian menyingkirkan Jevin yang menghalangi tempatnya. Pisau begitu saja di lemparkan ke atas meja kembali.     

"Abaikan. Ngomong-ngomong, kau bisa memasak? Maksud ku sebagai pendamping roti. Telur mata sapi, sosis goreng. Pasti bisa, kan?"     

Jevin lantas menyipitkan mata dengan kepala yang sedikit di telengkan. Nathan yang mengambil beberapa bahan utama yang di sebutkan. Lantas tanpa basa-basi langsung mendorongnya pada dekapan Jevin.     

"Kau tak bisa memasak?" tanya Jevin yang mengalihkan pandang mengikuti pergerakan Nathan yang mulai menjauh.     

Nathan yang mendengar pertanyaan yang seolah adalah persetujuan paling rendah karena ketidakmampuannya untuk melakukan hal semudah itu. Memberikan lirikan mata tajam, Nathan kemudian melindungi dirinya untuk sekedar menghindar dari olokan remaja bau kencur itu. "Ada kau yang lebih muda di sini, harus ku manfaatkan tenaga mu yang masih prima itu, kan?"     

Nathan kemudian bergegas pergi, meninggalkan Jevin yang memandang bokong naik turun milik sang saudara ketika berjalan. Pandanganya berubah cabul, bibirnya bahkan di gigit kuat sembari mendesis.     

"Mana ada kaki pria semulus, Nathan? Terlebih dengan kemeja kebesaran itu. Ishhh... Tapi tunggu! Bukankah Nathan masuk ke dalam kamar yang sama dengan pria berwajah kaku itu? Jelas satu ranjang, mereka tak melakukan apa pun, kan?"     

Jevin seketika saja merasa panik. Bayangannya bahkan sudah menyasar terlalu jauh. Pergelangan kecil milik Nathan yang sempat terlihat merah sebelum di sentuhnya, membuat Jevin seketika mencemburui. Kedua pria itu pasti menyisihkan waktu untuk bercinta, kan? Sesama pria yang jelas seperti adu kuat. Nathan yang di ketahui sifatnya yang tak sudi untuk mengalah, membuat Max yang dominan lantas menjerat kasar? Apakah memang Nathan dan calon kakak iparnya itu memang telah menjalin hubungan sampai sejauh itu?     

Di dalam mobil, ketiga pria itu hanya bungkam. Lagi-lagi hanya Jevin yang menjadi pengamat, mendetail gelagat Nathan dan Max yang terlihat menyimpan sesuatu.     

Setelah menghabiskan sarapan yang begitu sederhana, kali ini kembali berdiskusi untuk melakukan pencarian. Jevin mendapat tolerir dari bundanya, selagi niatan membolosnya baik, kan?     

"Sampai sebelum aku tahu kalau kita berdua adalah saudara. Aku selalu menunggu mu di sana, Nath! Membolos beberapa mata pelajaran, atau bahkan mengorbankan waktu bermain malam ku. Yah... Salahkan diri mu yang terlalu misterius hingga seperti menuntut ku untuk terus mengejar mu, Nath!"     

Suasana sunyi tadi seketika saja bercampur aduk menjadi semakin dingin. Jevin yang menunjuk area pejalan kaki tepat di depan area apartemen, lantas dalam satu waktu menjelaskan maksudnya yang malah memancing masalah tanpa disadarinya.     

Tinnnn Tinn Tinn Tinnnnnnn     

"Bangsat! Berkendara pelan di jalur tengah."     

Jevin dan Nathan yang kompak terperanjat. Kemudian menyusut pada tempat duduknya masing-masing saat sepenglihatan keduanya sama sekali tak menangkap ada kendala sedikit pun. Tentu saja, hari masih begitu pagi, bahkan jalanan masih tergolong lenggang. Bahkan lengan terkepal erat milik Nathan sudah menyatakan jika Max kembali membuat pria itu ketakutan karena pacuan mobilnya yang tak kira-kira.     

Ya, jelas saja Max yang begitu posesif merasa jika ucapan Jevin benar-benar mengacaukan harinya menjadi bertambah buruk. Dengan rahang mengetat sampai otot wajahnya yang terlihat berdenyut, kemudian menghantam tinjuan bertubi-tubi pada klakson lagi dan lagi.     

Yang di tuduhkan Max memang benar sedari awal. Nathan memang terlalu murahan untuk tak mengabaikan gangguan dari orang lain selagi dirinya tak ada. Mengetahui tempat persinggahan mereka berdua, bukan tak mungkin jika Nathan dengan lancangnya mengundang masuk remaja itu, kan? Sempat di rasa berlebihan jika sampai membuat remaja itu seperti menggilai dengan perjuangan yang di katakan. Apa memang Nathan pernah memberikan dirinya pula untuk di tawarkan? Lantas remaja itu ketagihan dan mengharapkan lebih?     

"Max, yang di katakan Jevin, tadi..."     

Nathan yang mendapat imbas dari pemberitahuan Jevin. Setelah mereka turun dari mobil, dan niatannya untuk memutus pemikiran buruk Max terhadapnya. Namun lebih dahulu pria berparas oriental itu mengabaikannya, memutus ucapan Nathan, dengan pergerakan cepatnya untuk menjauh.     

Kepalanya sontak menunduk, lagi-lagi dengan dirinya yang begitu lemah untuk sekedar menghadapi masalah. Pandangannya bahkan memburam, mendesak air mata untuk segera turun.     

Sungguh, ia benar-benar membenci saat Max mengabaikannya seperti ini. Apakah memang pria itu juga merasakan hal yang sama saat ia terus gencar memaksa mundur?     

"Hei, apa kau tak apa?" Nathan langsung mengangkat pandangnya. Kemudian mengulas senyum yang lebih mirip seringai pada Jevin.     

Menggelengkan kepala, lantas Nathan membalas, "Aku tak apa, hanya lain kali perhatikan topik bahasan mu itu. Sungguh, kali ini amat tak tepat, Jev. Dan kau membuat ku dalam masalah."     

******     

Berkumpul di cafe milik Ilham, meski kali ini sudah dalam personil yang tak lengkap. Aki, Galang, dan Tommy harus kembali pada rutinitas pekerjaan mereka, setelah mengambil cuti libur dua hari.     

Namun yang membuat diskusi mereka malah ramai, adalah saat pengganti beberapa peran yang masih mengenakan kostum kebanggan mereka, seragam sekolah ala anak sekolah menengah atas yang berandal dengan atribut yang sama sekali tak terpasang sebagai identitas sekolah.     

Yang di janjikan Jevin, itu lah kawan-kawannya yang bisa di ajak kerja sama untuk membantu. Salah satunya adalah yang merajai di sekolah, begitu juga dengan daerah elit tempat tinggalnya.     

"Butuh berapa untuk bisa melihat isi dalam map kertas mu itu?"     

Semua yang ada di sana lantas tercekat akibat suara dingin dari Max. Lagaknya yang seperti paling menguasai, tubuh menyandar pada punggung kuris kayu nya dengan lengan yang bersendekap. Pandangannya yang menyasar begitu tajam, lantas mengidikkan dagu tertuju pada barang yang di bawa oleh kawan Jevin itu.     

Remaja itu kemudian menarik satu sudutnya membentuk seringai, merasa tersinggung karena niatannya untuk membantu malah seperti di anggap rendah.     

"Sungguh, paman... Aku adalah anak orang kaya juga, tak butuh untuk ku mengemis uang dari orang lain."     

Yang lain pun angkat tangan kalau permasalahan keras kepala dari kedua pria selisih usia jauh itu sudah beradu. Sedangkan Jevin dan Nathan yang merasa ambil bagian, lantas menenangkan masing-masing terdekat mereka untuk bisa sedikit menenangkan ego.     

"Katakan pada ku berapa nomor rekening mu, aku bukan tipe orang yang suka hutang budi."     

"Heh! Bahkan kau masih belum melihat hasil bantuan ku, bagaimana jika aku salah informasi?"     

"Setidaknya sebagai upah untuk mu karena telah berusaha."     

Namun agaknya memang Max yang sudah sangat bebal. Pria itu terus mendesak kawan Jevin, membuat situasi tak nyaman terlebih dengan cara kasar Max yang menghempaskan jauh lengan Nathan yang coba menggenggam.     

Rupanya tindakan Max yang kasar memancing Jevin untuk memberontak. Untung saja Nathan yang tersadar, langsung memberikan kode.     

"Ku mohon pada mu, maafkan Max yang memang banyak pikiran buruk karena kejadian ini. Ku harap kau tak lagi tersinggung, dan masih ingin membantu?" ucap Nathan dengan suara lembutnya.     

Diskusi pun di mulai, dengan media lembaran sama berupa gambar cetak. Sang pengawal nona muda Nandara yang di culik pun hadir di waktu yang tepat. Lantas menempati lingkaran fokus mereka.     

"Iya, benar! Mobil seperti ini yang membawa, nona Cherlin," tanggapan Riki yang nampak begitu bersemangat. Semua orang pun demikian, akhirnya mendapatkan titik temu yang beberapa hari ini mereka cari. Ya, keterbatasan privasi yang memang menyulitkan.     

"Titik sama pada tempat yang ku tujukan, kan?" tambah Riki yang kemudian di balaskan oleh kawan Jevin dengan menunjukkan lembaran pergerakan mobil itu lebih jauh.     

"Ya, benar. Di perumahan tempat ku. Bagian terbaiknya adalah, aku mengenai sampai tujuan pelaku membawa adik mu itu."     

Dari semua orang hanya Ilham yang kemudian tercekat setelah memandang rumah megah yang di masuki oleh mobil boks berwarna hitam itu.     

"Sungguh, ku harap bayangan ku tak seburuk itu."     

"Ada apa dengan mu, Ham? Apakah kau mengetahui sesuatu?" tanya Nathan yang mewakili keterkejutan yang lain.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.