Hold Me Tight ( boyslove)

Sebuah alasan



Sebuah alasan

0"Kau ingin tahu kabar terbarunya dari calon tunangan mu itu?"     
0

"Maksud mu apa mengatakan hal itu pada ku? Jangan bilang jika kau melakukan hal jahat padanya juga? Sebenarnya siapa diri mu, eh?" balas Cherlin dengan menekankan kata di setiap kalimatnya. Lengan kecil miliknya yang tertawan, disentaknya kasar tanpa peduli rasa sakit yang akan di dapat. Tubuhnya bahkan sudah tak bisa lagi tenang seperti sebelumnya, kali ini Cherlin benar-benar ingin kembali pulang.     

"Manfaatkan lah sedikit pertemuan mu dengan orang baik seperti diri ku. Meski tak penting untuk mengetahui identitas orang suruhan seperti ku ini. Justru aku di sini ingin mengabarkan pada mu yang menyedihkan ini. Setidaknya supaya kau tak terlihat lebih bodoh dari pada sebelumnya."     

******     

Sementara di tempat lain. Seorang pria mungil yang memutar kursi yang di dudukinya. Membuatnya seolah menjadi mainan, bahkan netranya yang terpejam erat dengan bibir mengulas senyum mengaplikasikan kebahagian kecil yang di dapatkannya kali.     

"Apa ada berita baik?"     

Pria mungil bernama Rian itu pun berjengkit dari tempatnya. Memposisikan tubuhnya tegap, lantas mengambil datangnya seorang pria paruh baya yang berjalan sedikit sulit dengan bantuan tongkat.     

Sampai Rian yang merangkul lengan sang kakek pun mengerucutkan bibir, langkah kakinya pun menghentak-hentak dengan dua kali ritme di tempat untuk menyimbangi sang kakek. "Harusnya kalau sulit berjalan seperti ini, kakek tak usah berpura-pura masih kuat. Duduk di kursi roda, tak akan membuat wibawa mu hilang, kok!" gerutu Rian yang kemudian di balaskan tawa ringan dari pria senja yang rupanya masih begitu tampan itu.     

"Bilang saja kalau kau keberatan untuk membantu kakek mu ini."     

"Ishh... Kenapa malah menuduh ku yang tidak-tidak? Kalau aku sejahat itu, aku tak akan kembali ke rumah ini kan, kek?"     

"Tapi, hampir. Jika kau menemukan kebahagian mu di luaran sana, bukankan kau tak akan lagi kembali pada pelukan ku?"     

"Sayangnya dengan jujur ku katakan. Ya, mungkin saja aku akan melakukan itu."     

Tawa sang kakek yang sarat akan kesedihan. Sekedar menunjukkan kasih sayang, mereka yang sudah mendudukkan diri di bagian sofa panjang pun langsung di cegat dengan lengan keriputnya yang terangkat. Kemudian menjewer telinga milik Rian, masih merasa jika pria hampir dua puluh lima tahun itu masih tetap cucunya yang masih bocah dan mudah merengek. "Dasar cucu ku yang nakal!" hardik sang kakek.     

Benar saja, tak lama setelahnya pria mungil itu merengek. Melepaskan rasa sakit yang tak seberapa di daun telingannya, lantas kemudian menenggelamkan tubuh kecilnya pada keluarga yang dimilikinya satu-satunya itu.     

"Hiksss.... Kakek... Hati ku rasanya sakit sekali karena ini." Layaknya menjelma menjadi sosok yang rapuh. Rian pun mengungkapkan isi hatinya yang sejujurnya. Percintaan membuatnya menjadi tak berdaya, terlebih dengan upaya terakhir untuk mendapatkan seorang pria yang menjadi pemilik cintanya.     

"Sudahlah... Kau bisa menemukan penggantinya dengan cepat," bujuk sang kakek dengan telapak tangan keriputnya yang mengusap lembut surai milik Rian.     

Namun bukannya malah mereda, Rian yang mulanya menyandarkan kepala pada dada sang kakek malah menghindar dengan wajah basahnya yang nampak kembali berkerut. "Tidak dengan wanita-wanita yang selalu kau sodorkan! Kakek tau, aku tak akan pernah bisa untuk menyukai mereka."     

"Hufhhh... Aku kaya raya, nanti akan ku carikan pria yang tepat untuk mu. Asalkan kau tak akan pernah berpikir untuk melarikan diri dari ku, nak. Sungguh, jika pun kau bosan dan ingin cepat melarikan diri dari lingkungan mu, maka ingatlah aku. Demi apa pun, pria bau tanah seperti ku hanya menunggu waktu untuk sisa  napas terakhir ku, nak. Hanya tinggal sebentar lagi. Ku harap kau bisa bersabar."     

Mendengar ucapan sang kakek yang penuh dengan permohonan, membuat Rian semakin yakin jika kakeknya telah berubah. Bukan lagi sosok tegas yang hanya bisa memaksakan keinginan padanya. Bukan lagi sosok pemarah saat Rian gagal dalam melaksanakan perintah.     

Senyum di bibir Rian pun kemudian merekah, merasakan usapan hangat di wajahnya saat sang kakek mencoba menghapus jejak kesedihannya.     

Kembali melemparkan diri, kali ini Rian memberikan pelukan yang semakin erat untuk sang kakek. Ya, setidaknya bersama dengan orang yang bisa menerima jati dirinya yang sesungguhnya, pikir Rian yang mulai merasakan hawa menyejukkan mengisi rongga dadaa yang sebelumnya terasa menghimpit.     

Namun untuk merelakan semua orang yang telah membuatnya menderita, entahlah. Mungkin saja Rian masih tak bisa menjamin itu.     

******     

Tin Tinnn Tinnnn     

"Brengsek! Buka gerbangnya atau kau mau aku menerobosnya tanpa peduli hancur, eh?!"     

Max keluar dari mobilnya tetap berada di bagian sisi mobilnya yang terbuka, dan terus menghantamkan kepalan tangannya untuk membunyikan klakson sebagai peringatan.     

Beberapa mobil yang mengiringi dari belakang sebagai pasukan, mengikuti gerakan sang alpha yang bersedia.     

Nathan yang cemas akibat Max yang terus naik darah pun berusaha meredam, bergerak dari posisinya untuk semakin mendekat, kemudian merangkul lengan milik pria jangkun itu sembari berbisik. "Ku harap kau bisa sedikit tenang, Max. Jangan sampai karena emosi mu ini, membuat mereka terpancing dan akhirnya sesuatu yang buruk akan terjadi."     

"Persetan dengan mu! Ini adalah urusan ku, ku harap kau bisa menempatkan diri mu sesuai dengan tempat mu berada saat ini, Nath!"     

Max menghempaskan kasar rangkulan lengan Nathan. Memberikan lirikan tajam sebelum pria itu kembali masuk ke dalam mobilnya.     

Tinnn Tinn Tinnnn     

Brummmm Brumm     

"Max! Ku mohon pada mu, jangan mengacau! Kita bisa masuk baik-baik!"     

Pranggg     

Citttttt     

Rupanya Nathan tak bisa lagi menyuarakan suaranya untuk di dengar oleh Max. Pria berwajah oriental itu masih tetap bebal, seolah tak ada tolerir sampai batas waktu yang telah di tetapkannya sendiri.     

Nathan menutup mata, merasakan Jevin memeluknya dengan begitu erat. Gerbang tinggi yang berdiri kokoh itu sampai bergoyang, sampai akhirnya Max yang terus bernafsu itu mengambil ancang-ancang mundur, dan lanjut menghantamkan kembali kendaraannya.     

Kemudian terbuka, untung saja tak ada yang terluka atau bahkan menjadi korban parah atas tindakan kriminal Max itu.     

Seakan denting lonceng peperangan telah di bunyikan, seluruh massa yang mengiringi itu pun bergerak masuk ke dalam kediaman mewah itu sekaligus dengan mobil mereka.     

Memadati pelataran luas dengan jajaran kedatangan mereka, sambutan cepat pun di hadapkan, pasukan lawan yang mengenakan setelan hitam yang terlihat begitu gagah.     

Seorang pria yang menjadi punggawanya, menampakkan dirinya begitu sinis dengan langkah yang semakin maju.     

"Tak berkelas sekali, apakah ini cara tuan muda dari keluarga Nandara bertamu? Menerobos masuk begitu saja, dan membawa pasukan pengaman yang begitu banyak? Apakah anda merasa telah mendatangi tempat yang berbahaya hingga anda tak cukup punya nyali untuk datang seorang diri?"     

"Aku bukan orang yang mudah tersinggung atau pun banyak bicara seperti mu. Namun yang tak bisa kau pahami adalah, aku adalah pria yang mudah terpancing amarah. Sebelum kau membuat ku makin muak, bagaimana kalau kau melepaskan adik ku sekarang juga?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.