Hold Me Tight ( boyslove)

Ujung penyerahan?



Ujung penyerahan?

"Dengan pasukan yang kita bawa masing-masing, apakah memang anda tak berniat untuk mempekerjakan mereka kali ini? Setidaknya saling berduel satu lawan satu, sembari saya menunggu titah selanjutnya dari tuan saya. Bagaimana, apakah anda setuju?"     

Nathan makin mencengkram lengan milik Max, merasakan dirinya saja ikut tersulut oleh seorang pria yang mengepalai perkiraan jumlah dua belas orang itu. Membawa dirinya paksa untuk memblokade balas pandang pria mengerikan itu dengan Max, Nathan menempati posisi depan pria jangkun itu amat menempel.     

"Tidak boleh, kita bisa membicarakannya dengan baik-baik dulu."     

"Jangan terus menghalangi ku, Nath!"     

Max yang geram, lantas begitu saja mendorong jauh Nathan untuk menyingkir dari jalannya. Jevin yang menangkap, tak di pedulikan lagi kecemburuan yang sudah seperti membakar habis jiwanya.     

Bughhh     

Bahkan sekalipun larangan Nathan untuk tak melakukan kekerasan. Max yang mengikis jaraknya dengan langkah tak sabaran, kemudian menghantamkan kepalan tangannya tanpa kendali pada sisi rahang milik sang tuan pengawal rumah.     

Menjadi dorongan yang lainnya untuk mengikuti hal yang sama. Situasi pun makin tak terkendali. Saling mencari musuh, bahkan Nathan yang di lindungi Jevin masih saja lolos dari dekapan. Seorang musuh datang menyusup, tanpa basa-basi langsung saja menarik duel pada pria itu.     

Bunyi hantaman keras yang di ikuti oleh teriakan kesakitan, mendominasi pelataran luas itu dengan pertunjukan kekerasan. Saling adu kuat, bahkan tak jarang dari mereka yang begitu keras membanting tubuh lawannya ke atas kerasnya tanah. Masih tak puas jika sampai belum membuat menyerah, dengan permohonan yang jelas menjadi syarat yang amat sulit untuk mempertahankan ego masing-masing dari keduanya.     

Nathan yang hanya mengingat pertahanan dirinya saat masa sekolah dulu, menggerakkan tubuhnya untuk melawan tanpa sedikit pun teknik mengelabuhi. Membuatnya mudah terbaca lawan, kalah telak, bahkan Nathan sudah benar-benar merasa kesakitan di sekujur tubuh, wajahnya pun perih, terlebih di rasa noda basah yang sampai keluar dari sudut bibirnya.     

"Akhhh... Ouch!" Nathan bahkan sampai menggeram kesakitan, tubuhnya benar-benar di jatuhkan tanpa ampun, tempurung kepalanya sampai membentur tanah kavling yang keras itu.     

Matanya yang membelalak, bayangan garang menutup posisinya dengan intens pada kepalan tangan yang berniat penuh ingin menghabisinya. Nathan bahkan sampai bergetar ketakutan. Otomatis kedua lengannya menyilang untuk menutupi wajahnya.     

Bughhh     

"Bangsat kau!"     

Namun belum sempat sebuah kesakitan di rasakannya kembali. Terlebih dahulu umpatan kasar terdengar di telinga, merasakan hentakan kasar yang terasa di tempat baringannya. "Akhhh!" Sampai akhirnya suara ringis kesakitan tak jauh darinya.     

Lawan Nathan kali ini terjatuh, Jevin yang memberikannya senyuman di saat bersamaan lengan di julurkan untuk membantu Nathan bangkit. "Jangan takut, kau tak pernah terluka jika dekat dengan ku."     

"Tapi aku sudah terluka, wajah ku lebam-lebam, sekujur tubuh ku kesakitan."     

Bugghhh     

"Jadi, aku yang nanti akan mengobati mu." Jevin menghantam musuh yang kembali mendekat. Meski pun begitu, fokus remaja itu tak teralih dari Nathan yang masih berada di tengah pertarungan.     

Di sana, Nathan kemudian diam dan hanya mengamati kerusuhan yang tak pernah terpikirkan lagi sejak dewasa ini.     

Hembusan angin kencang yang harusnya bisa menyejukkan, yang ada malah debu bertebaran yang ikut terbawa melambung, menyesakkan pernapasan. Di tengah terik matahari yang mulai menguasai, menjadi semacam dorongan emosi untuk terpancing lebih.     

Max yang kali ini menjadi intens pandang Nathan. Wajah yang begitu berang dengan buasnya menyerang lawan yang terlihat seimbang. Berkali-kali berhasil di tangkis, meski lebam di wajah Max yang tak jauh beda darinya menunjukkan jika keduanya memang benar-benar saling bernafsu untuk saling menghabisi.     

Prokk Prokk Prokk     

Hingga sampai pada pendengarannya yang menangkap suara telapak tangan yang di tabrakkan beberapa kali. Menjadi semacam kode untuk menghentikan kegaduhan dengan cara yang paling elegan.     

"Terlalu tak sabaran, aku tak ada niatan lebih untuk menyimpan seorang wanita lebih lama dari di rumah ku."     

"Ri?"     

"Ri!"     

Nathan dan Ilham yang kompak memanggil pria bermasalah itu dengan nada berbeda. Jika Nathan masih dengan tak sangkanya, maka lain halnya dengan Ilham yang menyentak seolah memberikan peringatan atas tindakan seseorang yang di kenalnya dan di rasa begitu terlewat batas.     

Otomatis memberi jalan dengan kubu sang pemilik tuan rumah yang di beri perlindungan. Rian di sana, dengan Cherlin yang masih mengenakan gaun miliknya dengan tampilan yang begitu berantakan, bersisihan di depan ambang pintu besar terbuka, di ujung anak tangga.     

"Rupanya kalian berdua masih jelas mengingat ku? Ku pikir setelah kalian berpaling pada mainan baru yang jauh lebih menarik, membuat kalian hilang ingatan seketika untuk bisa mengenali siapa diri ku," kekeh Rian, dengan menyembunyikan luka menganga di hatinya. Raut antagonis menolongnya dari pandangan Nathan yang menaruh belas.     

"Katakan, sebenarnya apa maksud mu melakukan ini semua, eh?!"     

Ilham mendesak tanya, yang kemudian hanya di respon dengan gidikan bahu ringan dari Rian. "Kenapa masih bertanya? Aku hanya ingin memberikan pelajaran pada mantan kekasih ku yang dengan mudahnya menyepelekan hubungan kita."     

Nathan jelas saja merasa terpojokkan, bukan hanya oleh kata-kata Rian, melainkan Cherlin yang memberikannya tatapan sinis untuk pertama kalinya. Terlebih saat Nathan mengalih pandangannya pada seorang pria yang menoleh padanya tepat. Demi apa pun Max pun juga seolah memberinya penghakiman. Seolah-olah ini semua memang kesalahannya.     

"Persetan dengan masalah percintaan sesama jenis mu." Max meneriaki ketidakpeduliannya. Langkahnya kemudian semakin di pacu mendekat untuk menjemput sang adik. "Brengsek! Apakah kalian ingin ku habisi?!" sentaknya marah kemudian. Masih saja pergerakannya di halangi, membuat pria itu dengan kejam menghempas jatuh orang-orang yang memagari jalannya.     

Rian di sana hanya mengulas senyum seolah permainan sederhananya menjadi semakin menyenangkan untuknya. Mengkode orang-orangnya untuk memberi jalan pada singa buas yang tengah menjadi pahlawan kali ini.     

"Tenang saja, kita akan pulang sayang," ucap Max dengan tubuhnya yang langsung mendekap Cherlin ke dalam pelukannya.     

Seolah tak ingin sedikit pun memberikan ketenangan, Rian yang masih merasa nampak tak puas itu melayangkan ucapan pada Max sebelum pria jangkun itu bergerak semakin jauh.     

"Bukankah itu yang kau inginkan? Sungguh, aku secara tak langsung membantu mu untuk menggagalkan keterikatan adik mu, kan? Tak mungkin membuat ku tega sebagai sesama penyuka pria, terlebih kau yang sebelumnya bersikap pengecut dan mendatangi ku untuk segera menyerah pada Nathan, kan?"     

Seketika gerakan Max untuk berlanjut ke anak tangga selanjutnya terhenti. Lengannya yang merangkul bahu milik Cherlin makin di eratkan saat di rasanya sang adik merasa terusik dan hendak memintanya segera menjelaskan.     

Kali ini pandangan Max melewati belasan orang yang menitik jauh. Seorang pria yang menatapnya dengan raut wajah yang terlihat sendu menjadi intensnya.     

Meneguhkan dalam hati, untuk kali ini memang seperti tak bisa lagi untuknya menjadi lebih egois. Menarik napas panjang, lantas melantangkan keyakinannya untuk langkah selanjutnya.     

"Tidak lagi, seperti halnya diri mu yang masa lalu. Aku sudah tak tertarik lagi untuk mempermainkannya. Mungkin hanya kesalahan sesaat yang terlalu ku nikmati?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.