Hold Me Tight ( boyslove)

Membekas



Membekas

0Gurat wajahnya seketika saja menekuk, bibirnya mencebik dengan bersamaan pula lelehan air matanya yang membendung. Menarik kembali pelukan erat, menggigit permukaan bibir bawahnya saat isak tangis memaksanya untuk keluar saat Nathan kembali menambahi.     
0

"Aku memutus hubungan ku begitu saja dengannya, pria yang menemani masa-masa tersulit dalam hidup ku, Lis.... Lihatlah betapa bajingannya aku, dia yang masih rela menunggu ku, hanya ku balas dengan cara yang paling keji."     

Ya, sudah pasti pria licik itu meninggalkan kalimat memelas hanya untuk meninggalkan bekas memperdaya untuk Nathan. Tujuannya sudah jelas, untuk pemberontakannya pada tindakan Nathan kali ini.     

Nathan yang kemudian menceritakan detail kejadian antara dirinya dan juga pria mungil yang masih untung di sebut sebagai mantan kekasih kawannya itu. Bukan dalam konflik yang berarti, hanya saja Lisa merasa memang sejak awal Nathan setengah hati. Merasa kebahagian hanya di temukan pada keterikatannya dengan  pria mungil itu. Tak ada sedikit pun usaha untuk melihat sisi dunia yang lain.     

Menyalahkan dirinya yang sejak awal memang abai, bagian paling mengesalkan untuk Lisa adalah saat pria mungil itu menutup habis celah kebusukannya yang berkhianat.     

Menakup rahang milik Nathan, menatap balas pandang dengan begitu tajam. "Dengarkan aku. Kau sama sekali tak berhak menyalahkan diri mu sendiri sepenuhnya. Kau hanya tak tahu saja tentang segala permainan di belakang mu yang mungkin saja terjadi. Yang ku harapkan dari mu hanya satu, kau hanya perlu menatap masa depan yang sudah kau pilih. Sekali pun, jangan mengandalkan siapa pun, termasuk diri ku. Berusahalah berdiri di pijakan mu, buat diri mu bahagia dengan cara mu memilih nantinya."     

Sedangkan di sisi lain, seorang pria mungil yang di kalahkan sia-sia setelah penantian panjangnya. Hanya mampu merasakan denyut menyakitkan di dalam dadanya, terlebih saat sikap Ilham yang abai saat pamit kepergiannya. Menambah luka makin dalam yang di torehkan dari sang kekasih.     

Hanya sanggup membungkam, tubuh lemas miliknya di sandarkan pada punggung kursi penumpang belakang. Netranya menatap peralihan dari jajaran pemandangan yang di lalui cepat.     

"Semua sudah berubah, tak ada lagi yang mempedulikan kehadiran diri ku sedikit pun. Baik cinta yang terus ku harapkan, atau malah persahabatan baik yang perlahan makin berbalik arah untuk membenci ku,"     

..... Nu... Aku ingin pergi saja, meninggalkan semua kehancuran yang melempar ku begitu kejam. Tak ada yang mempedulikan peran ku sedikit pun," lirih Rian dengan kepalanya yang serentak memijat pelipisnya yang berdenyut menyakitkan. Bagian yang membuat bibirnya menarik sudutnya miris adalah cara penyerahannya pada sosok yang sejak dulu di anggap musuh.     

Pria yang duduk dengan menyilangkan kakinya itu malah menertawai. Menarik lepas kacamata hitamnya, yang kemudian membalas pandang intens dari pria mungil yang menarik kerutan dalam pada rautnya itu.     

"Hanya begitu saja? Heh! Ku kira kau sudah berubah penuh dengan cara peran baru antagonis mu. Nyatanya tetap saja sama, kau masih saja lemah, tak sedikit pun ingin berusaha untuk membuat seluruh musuh mu beralih bertekuk lutut."     

"Maksud mu?"     

"Setidaknya biarkan pekerjaan ku sedikit ekstrem dari sekedar hanya membuntuti mu saja. Setidaknya hargai diri ku dengan tampilan menyeramkan yang melekat erat menjadi identik ku ini. Kau bisa menggunakan titah mu, kau yang ku akui memiliki kuasa tinggi untuk memberi balasan. Sungguh, kau bisa melakukan apa pun, tuan muda! Kakek pasti merestuinya, asalkan kau kembali pada pangkuannya dengan suka rela. Tinggal katakan saja siapa sosok yang paling kau benci, dengan mudah, aku akan menyingkirkannya."     

Bersamaan dengan matahari yang mulai meninggi, menyisakan pula emosi yang kian memanas pada sosok mungil yang sedikit berpengaruh. Masih menjadi semacam pertimbangan untuk penawaran Danu yang terdengar menggiurkan, di balik hati putihnya yang masih dengan sehat menasehati.     

Melesat kencang hingga kendaraan mewah yang di kawal beberapa mobil di depan dan belakang itu hilang di sudut terjauh. Menghilangkan serta Rian di dalamnya.     

Waktu berjalan dengan begitu cepatnya, mengikis langit cerah berganti kelam. Secepat itu pula hari berganti, perlahan-lahan mulai menghilangkan ingatan tak penting yang hanya menghambat datangnya pencapaian bahagia.     

Namun agaknya hal itu tak berlaku sedikit pun oleh Ilham yang tak berhenti memutar memori yang sayangnya amat begitu singkat mengenai Lisa. Yang diketahuinya hanyalah perjuangan hidup wanita itu, tak ayal pula dengan sugesti buruk yang menganggap wanita itu murahan. Ya, meski selalu di tepis tentang bagaimana nikmatnya bayangan percintaan yang di rasanya lalu.     

Sungguh, seperti mencandu setiap saat, bahkan tak lagi bisa membuat fokus pada perkara lain, misalnya Rian yang memutuskan pergi dengan jemputan khas anak konglomerat yang mengiringinya?     

"Hei, jangan hanya melamun. Setidaknya dentingkan kembali gelas milik mu atau edarkan saja pandangan mu pada sekeliling. Banyak wanita seksi yang menunggu, kawan!"     

Ya, hanya dengan pelampiasan semacam ini yang bisa membuatnya sesaat lupa. Mendatangi keramaian dengan layaknya pesta pora penuh kebahagian walau menipu. Bersama dengan Tommy, Galang, dan juga Aki yang selalu siap untuk menemani. Menghabiskan malam larut dengan rutin memasok tubuh dengan cairan memabukkan.     

Meliuk di lantai dansa, yang bisa di tebak ritme godaan selanjutnya. Seorang wanita random yang di pilih untuk memanaskan akhir hari, mereplika percintaan panas dengan kasar dan begitu berambisi.     

"Lis-Lis.... Cengkram milik mu dengan lebih erat, aku akan datang..."     

Plakkk     

"Apa kau bisa dengan mudahnya melupakan nama ku? Sungguh, kita baru saja berjabat tangan. Kau pikir aku seperti wanita jalang, ya? Seenaknya saja mengganti peran ku dengan bayangan sesuka mu. Dasar bajingan!"     

Dan berakhir dengan kesengsaraan saat pencapaiannya selalu terhenti tiba-tiba. Tubuh telanjang Ilham kemudian berbaring seorang diri untuk menguasai ranjang miliknya yang sudah begitu berantakan.     

Miliknya yang masih berdiri tegak, membuat kesakitan sekujur tubuhnya makin menjadi. Wajahnya selalu saja memerah dengan cap tangan wanita yang memprotesnya.     

Sungguh, ia begitu muak dengan semua ini. Lisa yang semakin belagak jual mahal tak bisa sedikit pun bisa menarik bujukan walau dengan baik-baik sekali pun. Masih di rasa bukan perasaan mendalam. Ya, hanya sekedar tertarik untuk membuat wanita itu berkeringat di atas kungkungannya dengan jerit kenikmatan yang terus menderu.     

"Ku pastikan, cepat atau lambat kau akan kembali pada kungkungan ku. Tidak hanya sekali, aku akan memenjara mu selamanya, Lis. Camkan itu!" janji Ilham mengikat rencana buruknya.     

Ingatan yang sulit terhapus pula itu pada seorang sosok remaja, yang selalu menitip penantian di tempat yang sama. Masih terus datang, tak mempedulikan waktu siang atau bahkan larut sekali pun.     

Harapannya yang masih percaya dengan takdir sampai dengan saat ini, namun tak bisa di pungkiri pula jika ia selalu saja tertampar dengan kenyataan yang di hadapinya kali ini. Bagian pintu depan apartemen itu tak pernah lagi menampakkan sosok pria dengan tampilan menawannya hanya karena sapuan angin yang mampu menghias dengan pose sensual.     

Hanya bisa menghela napas panjang, lagi-lagi melewatkan kesempatan baik beberapa hari lalu saat pertemuan secara tak sengajanya dengan Nathan. Harusnya ia membuntuti kepergian mobil hitam gagah yang di pacu gila-gilaan itu, kan?     

Tanpa mempedulikan denyut menyakitkan pada wajahnya akibat pria berparas oriental yang berubah makin tak terkendali. Bahkan pukulan bertubinya sampai meninggalkan bebas hingga saat ini. Harusnya tak membuat ia menyerah begitu saja dengan hanya terlewat pengejaran jauhnya, kan? Kalau saja dapat, pasti Jevin akan membalaskan tingkah kasar yang di alami oleh Nathan karena sosok yang sama.     

Terpaksa kembali pulang tanpa sedikit pun membawa hasil. Menyalakan kembali mesin motornya, meliuk kencang di jalanan yang mulai lenggang. Membiarkan angin malam yang menusuk tulang itu merasuk pada sela jaket kulit yang resletingnya di biarkan terbuka. Kain tipis seragam, jelas tak mampu menghadang rasa menggigil.     

"Dari mana saja, ini sudah sangat larut, nak..." sebuah suara menyambut kedatangan pria itu. Langkahnya sontak saja terhenti, menarik perhatian pada seorang wanita paruh baya yang menggenggam sebuah gelas berisi minuman di tangan kanannya itu.     

"Heheh... Biasa, baru main, bunda," alasan Jevin sembari mencium punggung tangan wanita itu. Memberi pelukan, membiarkan tubuh dinginnya sedikit memasok kehangatan dari wanita keibuan itu.     

Masih dengan senyum lebar yang terulas, menjadi semacam pencegahan dini supaya ia tak lagi mendapatkan hukuman dari wanita yang paling di sayanginya itu. Memberikan kecupan bertubi-tubi, sampai permukaan pipi wanita yang di sasar itu basah.     

"Jangan berbohong, jelas aku tahu kawan-kawan mu hanya sebatas itu, sayang..."     

"Baiklah aku salah, Bunda... Tapi ku mohon, jangan menyita motor ku lagi. Sungguh, aku tak berbuat macam-macam, bunda juga tak mencium aroma alkohol dari tubuh ku, kan?" rengek Jevin dengan memberikan permohonan penuh kewanti-wantian. Benar-benar bisa gawat jika fasilitasnya di ambil paksa, bagaimana ia bisa kabur seenaknya dari sekolah dan melakukan pencarian sampai larut malam lagi?     

"Hanya jika kau berjanji untuk memberikan kabar pada bunda terlebih dahulu. Masih dengan batas waktu pula yang harus kau patuhi."     

"Ya, baiklah..." balas Jevin dengan suaranya yang begitu lemas. Ia memang berandal, sering pula melewati batas dengan ingkar janjinya. Hal seperti ini memang rutin terjadi, hanya saja, setidaknya ia harus berhenti untuk sementara waktu untuk membuat bunda nya itu lega terlebih dahulu, kan?     

Sembari menganggukkan kepala sekali lagi, Jevin pun kemudian pamit untuk naik ke ruangannya.     

Meniti anak tangga satu persatu, bagian yang membuat canggung adalah saat pandangannya bertemu tatap dengan seorang pria paruh baya yang baru saja keluar dari ruangan tepat di hadapan miliknya.     

Hanya menggangukkan kepala, tanpa perlu waktu lebih lama lagi untuk untuk memutus kontak pandangnya. Pertanyaan yang tak membutuhkan jawaban lebih, seketika saja membuat arah tubuh remaja itu teralih. Ya, sebelum ucapan lanjutan dari pria paruh baya itu membuat Jevin seketika saja jengah.     

"Selalu tak ada kesempatan untuk mu memiliki waktu lebih, setidaknya luangkan sedikit sisa hari mu bersama dengan keluarga. Sungguh, aku tak pernah membedakan kehadiran mu jika itu yang kau pikirkan, nak."     

"Sial! Ini tentang sosok pria yang telah menjadi kakak ku, kan? Sungguh, sangat merepotkan, dia mengatakan untuk ku menyisakan waktu, dengan sisi lain keadaan yang memancing kesibukan dari anak kebanggaannya yang telah mengurus perusahaannya itu. Jelas pria tua itu berusaha membandingkan aku dengan putra kandung kesayangannya, kan? Sungguh, sampai kapan pun aku tak akan pernah sudi untuk menemui pria itu. Tak ada untungnya juga untuk ku," pikir Jevin yang masih menatap kepergian pria paruh baya yang meninggalkan bekas tepukan di bahunya itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.