Hold Me Tight ( boyslove)

Secepat itu menerima status baru?



Secepat itu menerima status baru?

0Jevin melepaskan belitan tangannya, namun tidak dengan jarak tubuh yang hampir menempel pada Nathan. Menarik intens pandang dengan raut penuh keseriusan di matanya. Menangkup rahang milik pria dewasa yang masih terdiam dengan pikiran melayang, masih tak habis pikir dengan keterlibatan resminya bersama dengan remaja jangkun yang hanya di rasa mengganggu.     
0

"Dari setiap pertemuan, bukankah aku selalu meninggalkan jejak langkah ku makin dekat pada mu?"     

Nathan hanya mengangkat satu alisnya dengan bibir terkatup rapat. Sungguh, ia tahu jika remaja yang ada di hadapannya itu tipe berandal yang sama sekali tak tahu malu, namun bukankah kali ini sudah terlalu terlewat batas?     

Dengan cepat pria jangkun itu mengikis jarak, dengan gerakan yang begitu cepat, hingga baru di sadari oleh Nathan saat sebuah benda lembut menempel di atas bibirnya.     

Jevin mencium Nathan tepat di atas bibir untuk ke dua kalinya.     

Deg     

Nathan meninju tepat pada debar jantung milik Jevin. Secara bersamaan melangkahkan kaki bergerak menjauh dari remaja itu, semakin keintiman tak semestinya dari mereka makin di pacu untuk berlanjut ke detik selajutnya.     

"Sungguh, aku banyak pikiran saat ini. Ku harap kau tak menjadi salah satu masalah ku." Nathan memberi peringatan dengan nada suaranya yang di buat tak terlalu menggebu setelah menghela napas panjang. Mengulas senyum di bibirnya yang terlihat mengkilap, kemudian memutar badan dengan meneliti ruangan pribadi miliknya yang sudah di tinggalkan begitu lama.     

"Kau tak marah saat aku tiba-tiba saja mencium mu?" tanya Jevin dengan yang lebih merasa tersinggung saat Nathan tak merespon tindakannya dengan berlebihan.     

Nathan yang malah sibuk bernostalgia dengan kenangan yang tertinggal di ruangannya, membawa potret kebersamaan dengan kawan-kawannya yang di balut rapi dengan figuran berlapis kaca.     

"Dulu saat kau masih asing, memangnya aku menghajar mu sampai babak belur karena kelancangan mu? Oh ayolah, kau lebih terlindung dengan gelar mu saat ini, adik ku."     

Jevin yang hanya bisa terdiam, menatap Nathan menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Gurat wajahnya yang berkerut dalam, tiba-tiba saja mengikis hilang ego remaja pria itu. Nathan jelas tak baik-baik saja, ringisan yang begitu lirih dengan pelipisnya yang di pijat. Ya, pasti karena pemberitaan yang turut membuatnya tercekat.     

"Hei, awalnya kau terlanjur menaruh perasaan terhadap ku, ya?"     

Jevin terkekeh saat pertanyaan frontal dari Nathan terdengar amat percaya diri. Kepalanya sampai menggeleng ringan, lantas menempati pinggir ranjang tepat di samping pria dewasa itu. "Sayangnya, ku pikir kau memang benar."     

"Hahah... Ada-ada saja."     

Jevin mengerutkan wajah seketika, lontaran balasnya dari hati terdalam malah di tanggapi humor oleh pria dewasa itu. Tepukan ironi di rasakannya beberapa kali di belakang punggungnya, jelas membuatnya lebih sakit hati. "Jadi kau menganggap rasa sakit yang ku alami kali sebagai lelucon?"     

Nathan menghela napas panjang, kemudian bangkit dengan kepalanya yang di sandarkan pada bahu milik Jevin. "Apa gunanya memperdebatkannya saat ini? Sudah ku ingatkan sejak tadi, kau tak di izinkan lagi untuk memiliki harapan konyol semacam itu pada ku lebih jauh."     

"Demi apa pun, bahkan aku belum sempat mencium mu lebih brutal dari yang bisa ku bayangkan sejak awal."     

Nathan sontak menyemburkan tawa saat Jevin nampak frustasi dengan satu lengannya yang menarik helai surainya dengan begitu kasar.     

Suara geraman lantas terdengar, di balaskan Nathan dengan kedekatan yang menjelaskan hubungan keduanya saat ini. "Tapi setidaknya kau menemukan takdir yang memudahkan mu untuk selalu bersama dengan ku. Rasanya aku sudah tak mempermasalahkan kau yang nyatanya menjadi anggota baru dari keluarga ini. Dari pada yang lain dan harus membuat ku repot-repot menyesuaikan diri, aku yang setidaknya mengenal kepribadian mu jauh lebih baik, kan?"     

"Meski aku masih tak berharap ini adalah kenyataannya. Tapi lupakan saja bagian itu, dari pada meminta belas kasihan mu yang sama sekali tak peka, bagaimana kalau kau menceritakan masalah mu, tentang wanita dari keluarga Nandara?"     

Hanya dalam waktu singkat, baik Nathan dan Jevin telah memutuskan untuk melakoni peran awal mereka dengan begitu baik layaknya saudara. Meredam kemarahan dengan situasi yang jelas tak menguntungkan untuk remaja itu, Jevin hanya berusaha menunjukkan kedewasaannya untuk bisa berdiri sejajar dengan Nathan.     

Menyusup pada bagian paling penting, peran yang di butuhkan oleh Nathan saat ini di penuhi oleh Jevin sebagai pendengar. Menjelaskan secara singkat tentang masalah yang tengah menerpa, sampai pada detail Nathan yang telah muak untuk dengan jati dirinya sendiri.     

Ya, bercerita tentang semua, meski Nathan langsung bungkam saat Jevin mempertanyakan tentang peran Max di hidupnya.     

"Hanya dalam waktu singkat, sungguh... Aku amat senang sekali melihat kalian berdua sudah begitu dekat. Dengan ego yang bisa saja memberontak, ku pikir awalnya buruk untuk mempertemukan kalian lebih cepat."     

Berkumpul di meja makan, Nathan dan Jevin yang berhadapan dengan sepasang paruh baya itu. Dengan pakaian rapi dan wajah yang sudah segar, tidur sejenak membuat kedua pria itu memiliki bengkak mata sama yang hampir tak terlihat.     

Nathan yang melihat kebahagian jelas di wajah sang ayah, membuatnya tanpa sadar menarik lebar bibirnya membentuk senyum.     

Jevin yang masih tak sekali pun melepas pandang dari Nathan, agaknya masih tak bisa mengontrol kalimat pujian yang secara otomatis memenuhi pikirannya.     

"Mengetahui saudara ku adalah Nathan, ku rasa tak terlalu buruk," balas Jevin menimpal ucapan dari sang bunda. Bahunya terangkat acuh, yang di balas Nathan dengan bibir mencebik serta satu alis yang terangkat pura-pura tak menyakini.     

Rasa kekeluargaan pun langsung terlingkup, menjadi hangat dengan masih berbalas tatap dengan gurat bahagia. Mereka pun menikmati hidangan makan malam dengan sesekali menyela pembicaraan ringan. Hingga harus terputus saat anak tertua memilih undur diri.     

"Yakin kau tak tinggal di rumah ini lagi?"     

"Kau masih bertanya lagi? Terlebih alasan yang ku lontarkan basa-basi karena ingin mandiri, tidakkah kau ingat bahwa seorang wanita hamil tinggal bersama ku saat ini?"     

"Ah ya, aku melupakannya. Lisa, kalau tidak salah itu namanya, kan?"     

Nathan hanya mengangguk, langkahnya kemudian berhenti setelah sampai pada pelataran rumah. Tubuhnya menyandar pada badan mobil merah kesayangannya, lengannya bersendekap, dan masih menanti gelagat Jevin yang nampak kebingungan dengan jemarinya yang menggaruk belakang kepalanya.     

"Yakin, tak ingin ku antar?"     

Nathan terkekeh, lantas menggelengkan kepala menanggapi tawaran Jevin. "Aku membawa mobil, apakah maksud mu ingin mengawal ku dengan motor?"     

Jevin memutar bola mata, lantas mendengus kesal saat lagi-lagi Nathan menertawainya. "Aku jelas ingin tahu dimana kau bersembunyi saat ini. Jangan katakan di apartemen yang lama, karena aku yakin kau sudah meninggalkan tempat itu."     

Jevin menjeda ucapannya, untuk sekedar menarik napas guna meredakan hatinya yang masih terguncang. "Setidaknya kau memberi ku keuntungan dari posisi ku saat ini. Alih-alih membuat ku seolah tak berguna dan pengganggu seperti sebelumnya, ku rasa akan lebih baik jika aku bisa berdiri di samping mu untuk segala masalah yang tengah mempersulit mu saat ini. Bisa, kan?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.