Hold Me Tight ( boyslove)

Cinta yang egois



Cinta yang egois

0Nathan benar-benar tak bisa berbuat apa pun, kekuatannya kalah dari sang dominan yang menyembunyikan wajahnya di ceruk leher miliknya. Makian kasar atau malah usahanya untuk melepaskan diri, agaknya masih tak sedikit pun di beri izin oleh Max yang makin mengetatkan pelukannya.     
0

"Aku ingin kembali, jangan pedulikan siapa pun yang berniat mengusik kita."     

Nathan masih saja menangis, merasakan kecupan bertubi-tubi di puncak kepalanya. Max kembali mengatasi segalanya dengan dominasi sesuka hati, melemparkan Nathan ke atas ranjang dan masih memaksakan keinginannya dengan kungkungan yang makin mengetat.     

"Jangan menganggap ku mudah karena awal ketidak berdayaan yang ku kenalkan pada mu. Masih saja, kau tak bisa mengambil jalan baik untuk kita berdua. Kau terlalu egois dengan kepentingan bahagia untuk mu saja. Lagi pula harusnya kau tak perlu mengejar ku yang murahan ini, banyak orang yang dengan mudahnya ku terima untuk menjamah ku, seperti yang kau katakan. Aku memang jalang!"     

Malam itu menjadi semakin kelam dengan hembusan angin kencang yang mampu merasuk ke tulang. Menjadi berkumpulnya kisah menyedihkan, hingga pemberontakan pada dunia yang mengatur takdir menyedihkan.     

Perkara hati yang meminta di anggap dengan perasaan besar yang tertuju, menjadi semacam kesalahan pula saat keinginan lebih tinggi untuk menjadi pemilik satu-satunya dengan cara mengekang.     

Kedewasaan sedang di uji, melalui sekelumit permasalahan yang di hadapkan secara bersamaan. Tentang ego dan juga kenyataan lanjutan yang harus tetap di jalani.     

Langkah yang menjadi titik awal kembali saat semua hal menjadi semakin jelas. Menjadi kelanjutan kisah menentukan di masa depan.     

Baik Lisa atau Nathan sudah memutuskan, segala rentetan kejadian yang membuat kedua sosok dekat itu kembali hancur sehancur hancurnya.     

Mungkin hanya bisa meluapkan semua itu dalam tangis yang menderu, posisi keduanya yang sama-sama tak di anggap berharga menjadi pacuan mereka untuk bisa melompat lebih tinggi dari yang di kira orang lain.     

Ya, baik Nathan atau pun Lisa masih perlu mendapatkan tempat yang bisa dipandangkan? Sekali lagi, karena kekecewaan yang membuat demikian.     

Lisa yang mendapatkan pelecehan kembali dengan sosok iblis yang masih sama, begitu di rasa menyakitkan saat masih dengan anggapan rendahan. Pengakuan untuk janin yang di kandung, agaknya sudah tak di rasa perlu lagi saat Ilham sudah mulai berubah makin jauh dari ketertarikan baik wanita itu.     

Tak pula ingin berharap lebih untuk kisah hidupnya yang akan berakhir seperti yang di harapkan. Lisa benar-benar hanya membutuhkan satu kawannya yang menjadi pendukung.     

Nampaknya langkah ketidak pedulian itu pula yang ambil oleh Nathan, menghempaskan kesedihan dengan cara melepaskan?     

Ya, ia memilih menjadi pemberontak yang di katakan Max sama sekali tak bisa di atur. Menyerang balas ucapan tajam untuk mendesak pria itu supaya sedia untuk melepaskannya.     

Nathan berlari dari lingkup yang memenjaranya, tak sekali pun ingin menatap kebelakang saat teriakan Max di belakangnya yang masih mengaku cinta.     

Bukan menjadi ucapan yang di harapkan, Nathan benar-benar tak membutuhkan pernyataan yang sarat akan janji untuk bisa hidup bahagia yang sudah di sadari penuh dengan dusta. Hal terkecil yang di lupakan membuatnya tak bisa lagi untuk mentolerir, mencabut segala lontaran kata yang merendahkan agaknya masih tak di sadari oleh sosok pria bajingan itu. Maaf, apakah memang begitu sulit untuk mengejanya.     

"Kau baik-baik saja?"     

"Apa pun yang bisa kau terka, kalau kau?"     

"Demikian, sesuai dengan anggapan mu saja."     

Nathan mendapatkan pertanyaan saat pandangannya menatap keterdiaman Lisa di atas ranjang. Hari sudah terbilang cukup larut untuk wanita yang tengah hamil itu.     

Saling mengeja mimik wajah, senyum lebar yang sama-sama menutup luka cukup di ketahui masing-masing.     

Lengan yang saling terbuka, mengundang dekap yang saling menguatkan untuk masing-masing. Sama-sama lemah dalam mengekspresikan diri, hanya dengan isak tangis yang mengisi malam kelam itu.     

"Kau sangat jelek, Nath. Jangan membuat ku mual dengan ekspresi menyedihkan mu. Hikkss..."     

"Tak baik pula untuk mu menangis seperti ini, kau juga sangat buruk."     

Hanya dengan kehadiran yang dekat semacam ini yang di butuhkan, canda tawa walau untuk menutup perih yang menyasar lebih jatuh.     

Fase rendah semacam ini memang selayaknya terjadi, memang bagian dari roda kehidupan yang terus berputar, kan?     

Hari baru yang di harapkan dapat memutus segalanya dalam satu waktu, mimpi indah yang hadir di harapkan menjadi pertanda baik untuk keduanya.     

Masih dengan mata sembab saat pertama kali kedua netra itu saling pandang. Cahaya yang mulai menyusup masuk dalam bilah pembatas satu-satunya yang hanya di dapatkan di ruangan itu membuat Nathan dan Lisa terusik.     

Masih dengan tuntutan kehadirannya, mau tak mau Nathan harus segera bersiap untuk datang ke perusahaan, menjalankan tanggung jawabnya meski pun suasana hatinya masih terpengaruh buruk. Fisik yang tak memadai dengan tubuh lemas dan juga kepala berdenyut yang terus menyiksa, bukan menjadi semacam alasan untuknya menunjukkan kelemahannya ulang, kan?     

"Aku harus berangkat kerja, jangan lupa makan atau pun minum vitamin yang sudah di berikan oleh dokter," peringat Nathan dengan fokusnya yang masih membenahi setelan kerjanya.     

Lisa hanya patuh dengan menganggukkan kepala, gelagatnya yang tersentak membuat Nathan merasa curiga dengan wanita yang menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang itu. Senyum balasan yang begitu lebar, namun kedipan mata cepat membuat pria itu lantas bersendekap.     

"Jangan bukakan pintu untuk siapa pun. Mungkin termasuk Leo?" peringat Nathan kembali. Nada tanya yang mengakhiri kalimatnya, hanya sekedar memancing respon dari wanita itu.     

"Tidak. Tak pernah ada tamu, kita memang tak punya siapa pun lagi, kan? Terkecuali kau yang mungkin saja masih memiliki hubungan spesial dengan pria itu?" balas Lisa yang hanya sekedar mengalihkan pembicaraan. Wanita itu belum siap dengan rahasianya yang masih tertutup rapat. Masih di harapkan untuk Nathan tak mengetahui segalanya.     

Kriteria keduanya hampir mirip, cara Lisa membalas ucapannya dengan permasalahan balik yang di lempar, membuat Nathan sontak saja menarik napas panjang. Ya, wanita itu terlalu gelap menyimpan rahasia, tak ingin memaksa pula jika memang keinginan Lisa sudah mutlak.     

"Baiklah, aku akan pergi. Dan jangan membuat ku lebih khawatir lagi dengan cara mu tak mengangkat panggilan dari ku, Lis."     

Nathan kemudian pergi dengan tampilan rapi dan juga tas kerja yang di tentengnya. Meninggalkan wanita itu dalam kebingungan.     

Raut wajahnya berubah sangat cemas, dahinya berkerut dengan bibir yang mendesis. Pandangannya tertuju pada bangkai ponsel miliknya, tak mengerti lagi bagaimana bisa barang pemberian Nathan ini menjadi hancur.     

"Ilham sangat gila, dia pikir bisa berbuat seenaknya saja, apa? Merusak ponsel ku, dan membuat ku repot untuk ke luar rumah dan mencari counter pembenahan ponsel? Lebih dari pada itu, bagaimana kalau Nathan mengetahuinya? Mengorek informasi yang lebih dalam akan membuat keadaan semakin bertambah runyam.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.