Hold Me Tight ( boyslove)

Tunduk?



Tunduk?

0Mobil merah milik Nathan masih tertinggal di restoran, membuat pria itu harus kembali menggeluarkan uang lebih untuk biaya transport nya ke kantor.     
0

Jarum jam di tangannya sudah menunjukkan waktu yang semakin siang, membuatnya bertambah cemas saat jalanan sudah bertambah ramai.     

Masih tak bisa menunjukkan dirinya dengan wibawa pada semua orang, nyatanya waktu penetapan yang sudah di tentukan membuatmnya lagi-lagi ingkar.     

Mendapatkan pandangan intens dari seluruh karyawan agaknya menjadi hal yang lumrah. Dengan penghormatan palsu saat Nathan yang begitu peka merasakan banyak kebencian yang menyasarnya. Nampaknya gelar pewaris masih di rasa tak pantas untuk di sematkan kepadanya.     

Tak ingin lantas menyerah dengan awal kepercayadiriannya, merubah secara perlahan jiwa pengecutnya dengan pribadi yang jauh lebih baik.     

Menghembuskan napas panjang, langkahnya makin di mantapkan dengan kebutaan yang di rasa lebih baik. Keberanian perlahan di bangkitkan dari dalam dirinya, terlebih saat pandangannya menatap pintu tertutup yang ada di hadapannya.     

Keringat basah mulai keluar, lengan yang salah satunya mencengkram tali tas kerjanya pun makin mengetat. Bukan hal bisa di hindari, Nathan tak boleh menghilangkan wibawanya meski pun banyak pasang mata merasa terganggu saat ia memutuskan untuk bergabung dalam rapat seluruh devisi yang sudah terjadwal.     

"Ekhem! Maaf terlambat, ku harap aku tak melewatkan bagian terpentingnya."     

Nathan lantas menempati kursi miliknya yang mengepalai. Orang-orang hanya bisa mengangguk mengerti meski pun desis jengkel karena waktu yang harus terbuang sia-sia, terlebih dengan pekerjaan masing-masing dari mereka yang sudah menunggu di meja penyelesaian dengan tenggat terbatas.     

"Sampai mana tadi?"     

"Sialan! Baru ku tahu cara kerja seenaknya dari putra pewaris perusahaan. Bahkan kepala devisi ku yang sangat garang seketika saja bungkam hanya karena jabatannya yang masih tak sebanding dengan mu. Hahah... Ku rasa wajahnya yang kaku saat menahan amarah langsung menjadi topik pergunjingan di forum diskusi ku."     

"Kau nampak sangat senang sekali, ku harap bukan persaingan yang kau anggap seorang diri dengan ketua mu itu. Ketenaran di pegawai wanita, misalnya?"     

"Oh, ayolah... Memangnya kau pikir wajah tampan ku ini bisa di saingi oleh dia yang sama sekali tak mengerti tentang cara memperlakukan wanita? Oh ayolah, Nath... Yang benar saja."     

Nathan hanya bisa terkekeh saat tingkat Tommy sudah menampilkan kepercayadirian tingkat tingginya. Lagaknya yang turun melengkapi, sampai mengangkat dagu dengan kerah kemejanya yang di kepakkan.     

Berjalan bersama, keluar dari ruangan yang mempertemukan bagian terdasar dari perusahaan. Nathan yang mendapatkan mandat untuk mengatur segalanya, bagian tugas yang di rasa tak patut di permasalahkan.     

Menyelesaikan semuanya dengan putusan yang di rasa baik, cukup di rasa memuaskan meski lontaran bicara jujur dari kawannya itu menjadi semacam perwakilan atas makin banyaknya orang yang menaruh kebencian padanya.     

Nathan berusaha tak terpengaruh, hal semacam itu hanya akan menambah beban pikirannya saja.     

Tommy yang mulanya menyamai langkahnya dengan rangkulan akrab, seketika saja tersentak dengan tugas yang sudah menantinya di meja kerja. Menepuk dahinya keras, lantas berlari tunggang langgung saat tak satu pun kawannya terlihat di lantai deretan teratas itu.     

Dalam keadaan yang mendesak seperti itu, Tommy masih saja membuat Nathan tergelak saat lelucon pria itu yang hampir saja terjungkal. Ah ya, maksudnya sungguh-sungguh akan terjungkal.     

Waktu berjalan dengan sangat cepat, matahari yang mulanya hanya memperlihatkan sedikit kuasanya lantas makin gagah dengan kedudukan pusat.     

Jam makan siang pun datang, masih menyisa konsentrasi penuh dari Nathan yang masih memusatkan pandang ke layar lebar menyala yang menunjukkan data-data penting itu.     

Tap Tap Tappp     

Terdengar suara ketukan sepatu setelah pintu ruangannya terbuka. Menjadi semacam jadwal resmi hingga Nathan yang di rasa tak perlu menyambut pandang saat pekerjaannya tinggal sedikit lagi.     

"Ku harap kau tak keberatan menunggu ku di sofa terlebih dahulu. Sembari menyiapkan makanan untuk ku mungkin?"     

"Siapa yang kau maksud? Nona atau tuan muda dari keluarga Nandara? Atau mungkin masih dengan keterlibatan mu dengan kekasih pria yang bertubuh mungil itu?"     

Deg     

Pergerakan Nathan lantas terhenti, bulpoin mahalnya seketika lepas pegangan dan menggelinding jatuh di bawah kaki. Fokus pria itu seketika saja buyar, pandangannya terhenti pada satu objek meski pun pikirannya sudah meliar memperkirakan jauh.     

Jantungnya berdebar dalam satu waktu, rautnya menarik gurat dalam, rahangnya lantas mengetat dengan bagian bergemuruh yang sejak awal di antisipasinya.     

Kedua lengannya mencengkram erat, tak mempedulikan kertas pentingnya yang menjadi korban. Pandangannya perlahan terangkat, membungkam bibirnya rapat saat senyum wanita paruh baya itu terulas.     

"Tak sempat saling sapa dan meluapkan kerinduan pada anak ku satu-satunya tadi malam. Kepergian ku yang cukup lama, ku harap rasa rindu di hati mu bisa membuat hubungan kita lantas membaik. Tak ingin segera bangkit dan melemparkan tubuh mu dalam pelukan ku, nak?"     

Gertakan gigi Nathan lantas mengisi sunyi yang menjadi perwakilan. Rara yang masih saja tak tahu diri dengan segala kesalahan yang di lakukannya sejak awal, masih sempat-sempatnya untuk menarik lengannya yang bersendekap untuk terlentang, mengkode keras dengan satu alis terangkat untuk lekas mendapatkan balasan yang di inginkan dari Nathan.     

"Oh, nyatanya anak ku bukan orang yang bisa dengan mudah memberikan kata maaf? Meski pun aku berdiri sebagai wanita terhormat yang telah melahirkan mu? Hanya karena permasalahan masa lalu yang masih kau ungkit?"     

"Bukan hanya itu, rasanya memang terlalu berat untuk bisa kembali pada kedekatan semestinya. Selain karena sudah terbiasa di abaikan, mungkin karena memang sikap mama yang masih tak bisa ku mengerti sampai saat ini?"     

Nathan bangkit dari tempat duduknya, berjalan perlahan menghampiri wanita yang masih berdiri di tengah ruangan dengan tubuh tegapnya di usia muda.     

Netra milik Nathan meneliti wajah cantik yang tak sedikit pun bisa menutupi usianya. Aroma wanita itu yang seperti mampu mengisi ruang kosong di hati pria itu. Memang tak bisa menutup sepenuhnya perihal ikatan darah, saling menyamai luapan emosi yang seketika menderu.     

Bukan hal yang bisa di rencanakan pula, Nathan yang bahkan sesaat lalu masih berbicara tentang penolakan dengan nada datar, seketika saja seperti lumpuh dengan cara pertahanannya semula.     

Menjadi penurut, meski hatinya tak membulat tekad sepenuhnya. Memberikan pelukan hanya sebatas memenuhi permintaan, atau malah wujud kekalahannya yang telah di lakukan? Keluar dari jati diri dan membiarkan siapa pun mengaturnya?     

"Bukan kekasih pria ku atau bahkan tuan muda dari keluarga Nandara yang menemani ku akhir-akhir ini. Ku harap kau puas dengan cara ku menentukan hidup akhir-akhir ini,"     

... Entahlah, semua kejadian memang malah berpihak pada keinginan mama. Menjalani kehidupan sesuai apa yang hati ku inginkan, ku rasa hanya akan terus menampar ku dalam kepedihan. Aku hanya bisa berusaha, bersama dengan Cherlin yang sudah di sandingkan dengan ku. Tak tahu kedepannya akan seperti apa, namun yang pasti tak akan ada lagi sosok Nathan yang sesungguhnya."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.