Hold Me Tight ( boyslove)

Pengamat sebagai kunci rahasia



Pengamat sebagai kunci rahasia

0"Lepaskan aku, atau kau mau aku meneriaki mu penjahat dan membuat mu di hakimi massa, eh?"     
0

"Coba saja kalau berani, kita lihat siapa sosok pemberani di sekitar sini yang mempunyai nyali tinggi untuk menghadapi anak buah ku yang sudah membentengi."     

"Bangsat kau! Sebenarnya apa yang kau inginkan dari ku, eh?!"     

"Jangan pura-pura bodoh atau pun belagak linglung. Hanya ingin memboyong mu pulang pada pangkuan kakek mu yang telah menunggu dalam kesendirian."     

Rian di kalahkan dalam beradu argumen, posisi lemahnya di kalahkan seketika oleh dominasi kehadiran pria bernetra tajam itu. Tak bisa lantas melarikan diri, seperti yang di katakan pria bernama Danu yang penuh dengan ancaman itu.     

Bagaimana bisa Rian tak menyadari orang-orang yang berpakaian senada dengan wajah kakunya yang masih berhias kacamata hitam? Membentuk posisi menitik yang amat mustahil bisa membuatnya terlepas dengan mudah.     

Jelas menjadi bagian terburuk meski kakinya yang sudah amat pegal itu tak lagi perlu untuk kembali memaksa mengayun. Di angkut dalam mobil mewah yang di siapkan beberapa untuk mengawal pengintaiannya. Membuat Rian mengerutkan dahi saat pria yang duduk di bangku belakang bersamanya itu malah sibuk dengan layar ponsel menyalanya.     

"Hanya seperti ini, kau mengakhiri semuanya dengan membawa paksa ku untuk kembali? Kau pikir aku semudah itu?" ucap Rian dengan memberikan penekanan di setiap kata. Rahangnya masih saja mengetat, dengan gigi yang otomatis mengerat, memaksa perbuatan kasar misalnya menarik kuat surai tebal milik pria yang jauh lebih tua darinya itu? Mencabik tubuh pria berotot itu dengan kuku tajamnya? Mengoyak wajah kaku yang begitu menyebalkan dengan taringnya yang cukup tajam?     

Ya, memang hanya sekedar keinginan yang mustahil untuk terwujud, pria bertubuh mungil itu masih tak mempunyai tingkat kepercayaan diri cukup untuk melawan pria kepercayaan kakeknya itu.     

Mendengus kesal, kepayahannya membuatnya malas dengan atmosfir yang makin menyesakkan posisinya itu. Melempar pandang ke tempat terjauh, tak menitik objek dengan pemandangan jalanan yang terus bergerak mengganti. Kendaraan berpacu sangat kencang, meliuk lihai menyalip pengendara lain.     

Menutup layar ponsel saat tarikan pembicaraan menyasarnya. Menolehkan pandang, dengan seringai memuakkan yang di tampilkan.     

"Jangan menatap ku!" peringat Rian saat merasakan sekujurnya tiba-tiba saja terbakar. Menjadi hal yang tak bisa di katakan terlalu aneh jika bersama dengan kehadiran Danu yang membawa aura menggebu di setiap waktu. Bahkan mampu mengganti sejuk dari pendingin kendaraan yang ditempatinya itu.     

Sembari terkekeh, pria bernama yang turut menaikkan satu alisnya itu lantas membalas, "Pria gay seperti mu memang terlalu percaya diri, ya? Atau kata-kata seperti itu malah sebagai pancingan? Semacam trik yang membalik maksud lain supaya bisa tertawan makin lama dengan mu?"     

"Sialan! Bisakah kau tak terus menggunjing orientasi seksual ku? Lagi pula disini kau yang terlalu tak masuk akal, mana mungkin aku berniat menggoda pria tua macam diri mu. Penis mengerut mu bahkan tak cukup membuat libido ku naik."     

"Kau mengolok ku, seperti mengenal diri ku saja. Kalau aku suka bicara fakta, tak seperti mu yang hanya mengada-ngada." Danu menjeda ucapannya, kemudian menyipitkan pandang untuk menatap detail raut dingin milik tuan mudanya itu.     

Menjentikkan jari, lantas memajukan wajahnya lebih merapat. Di rasa masih kurang tepat untuk menjatuhkan pembicaraannya dengan Rian, menyasar sisi pendengaran pria mungil itu, lantas berbisik, "Kembali lagi, apa kau memang seringkali menggunakan trik semacam ini? Penis milik ku yang kau bicarakan, ingin melihatnya secara langsung? Atau menyicipi kejantanannya sekalian?"     

Plakkk     

Rian sudah benar-benar tak bisa untuk semenit saja di hadapkan pada situasinya saat ini. Tubuhnya yang sampai terhimpit, menempel pada pintu mobil dengan Danu yang jelas menjadi tersangka.     

Lengannya yang memberikan batas dengan mencengkram dada pria itu, agaknya masih di rasa terlalu mudah saat secara menggebu Danu terus mengikis jarak. Memberikan tamparan keras refleks di lakukan, meski lagi-lagi pria itu malah menertawai setelahnya.     

Bangkit dari posisi yang hampir mengungkungnya, Danu yang mengusap rasa panas di salah satu sisi wajahnya masih saja sempat untuk mengacak surai lengket milik Rian yang langsung menepis.     

"Hahha... Jadi memang pelatihan beladiri mu selama beberapa tahun lalu sama sekali tak membuahkan hasil, ya? Cara mu bertengkar masih saja seperti pria pengecut?"     

Rian makin murka, tanduk merah yang ada di kedua sisi kepalanya lantas timbul. Tarikan napasnya lantas menggebu, membuang sisa dengan asap pekat ilusi. Matanya benar-benar sudah menyipit tajam, sedikit tertunduk dengan desakan menyeruduk pria di hadapannya itu.     

"Sungguh, aku muak untuk terus berdebat dengan mu, sekarang katakan apa tujuan mu membawa ku! Apa memang kau berniat untuk mengakhiri misi yang di perintahkan kakek? Memaksa ku pulang begitu saja?" tekan Rian dengan desakan pertanyaan bertubi-tubi. Lengannya sampai terkepal erat, menguatkan pertahanan diri saat hatinya yang masih belum siap untuk menghadapi mandat dari keluarga satu-satunya yang di miliki itu.     

Danu membalas itu dengan gelengan kepala, tanpa sadar membuat pria mungil itu menarik kemelut yang menyesakkan dadanya.     

"Jika saja kakek lebih memilih cara egoisnya, ku rasa permasalahan mu akan di selesaikan dengan putusan yang sangat sederhana." Danu menolehkan pandang, lantas menyelam dalam netra bulat milik pria mungil itu.     

Menarik segala gurat yang di tampilkan dengan cara menyebalkan. Sungguh, Rian malah makin tak menyukai saat Danu menatapnya dengan amat serius.     

.... Nyatanya kakek sangat mencintai mu. Membiarkan kau bertingkah sesuka hati, masih dengan harapan untuk bisa melihat mu kembali dengan suka rela. Sebenarnya aku paling benci mengutarakan kalimat sensitif yang penuh belas, semisal menemani sisa-sisa hidup kakek mu?"     

Ya, Rian pun juga tak menyukai kalimat sensitif itu. Ia amat membenci tentang bagaimana cara Danu dengan sangat mudahnya membalik situasi menjadi berlawanan hanya dalam satu waktu.     

Sekujur tubuh Rian lantas melemas, menyandarkan diri di punggung kursi dengan hela napas panjang. Rasa rindu tak bisa di hindari begitu saja, namun keberpihakannya untuk meraih kebahagian yang di rasanya juga tak bisa di kalahkan. Hanya dengan Nathan, Rian hanya terobsesi dengan kekasih nakalnya yang bersembunyi darinya itu.     

"Kakek tak menerima diri ku yang seperti ini."     

"Benarkan karena alasan itu? Lantas, bisa kau jelaskan tentang keteguhan hati mu yang malah lebih memilih kekasih mu yang belagak waras itu?"     

Rian tersentak, mulutnya otomatis menganga saat mendengar ucapan balas pria di sampingnya itu. Membuatnya makin kebingungan, dahinya kemudian berkerut dalam dan memaksa penjelasan. "Apa maksud mu?"     

"Sungguh, aku benar-benar sangat muak dengan permainan orang-orang di sekitar mu yang begitu dungu. Kalian semua terikat dalam satu konflik yang saling berkaitan, membuat posisi ku sebagai penonton tak bisa menahan tawa atas semua ini."     

"Sungguh, jangan membuat ku makin penasaran! Katakan pada ku apa yang kau ketahui!"     

"Boleh saja, tapi ini sudah waktunya pekerja seperti ku makan siang. Jika kau tak keberatan menunggu suapan terakhir ku."     

"Brengsek kau!" maki Rian saat posisi tuan mudanya tak di anggap berarti oleh pengawalnya sejak kecil itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.