Hold Me Tight ( boyslove)

Sisi lain yang makin lebur



Sisi lain yang makin lebur

0"Kau mau kemana, aku tak akan pernah mengizinkan pergi dari ku, Max!"     
0

"Jangan gila kau! Cukup dengan semua ini, aku tak ingin pilihan hidup bersama mu membuat milik ku sendiri hancur."     

Deg     

Wanita itu membeku di tempat, merasakan kesakitan saat benda tajam menghunus dadanya tanpa sedikit pun memberi ampun. Menyasar ngilu ke sekujur tubuh, bahkan tumpuan kakinya sudah tak lagi bisa untuk menahan bobot tubuhnya sendiri.     

Lengan ringkih yang mencoba menahan pergerakan pria yang menjadi satu-satunya kekuatan untuknya itu, menjadi semacam bumerang saat kenyataan yang harus di hadapkan padanya. Benar-benar telah terlepas, pandangan tajam yang menghunus terlalu tajam padanya, membuat wanita tak mampu untuk menerka seberapa besar kebencian yang di sasarkan padanya.     

Lelehan air mata lantas membasahi wajah yang semakin pucat, memburam objek intensnya pada sang pria yang mempersiapkan kepergiannya dengan terburu-buru, seolah menyisakan sedikit lagi waktu bersamanya sudah di rasa tak perlu.     

"Kau akan meninggalkan ku begitu saja? Meninggalkan ku bersama dengan orang-orang yang bisa saja menyakiti ku?" lirih Lea dengan gertakan gigi makin mengetat. Rautnya benar-benar kaku, membiarkan begitu saja tampilan menyedihkannya terlihat, memberikan gambaran pada Max saat nanti hidupnya yang akan benar-benar hancur.     

Pria yang di tuju pembicaraan satu-satunya itu lantas menghentikan gerakan tangannya yang kembali mengepak pakaian. Meninggalkan tugas tanggungnya, memberikan intens pada kawan wanitanya yang makin menyebalkan.     

Memijat pelipisnya, meninggalkan gurat wajahnya yang sampai menampakkan otot di dahinya yang berdenyut. Menghembuskan napas panjang, keinginannya untuk memberikan pengertian dengan kasar masih usaha untuk di tekan.     

Ia tahu dengan pasti keadaan Lea yang tengah tak stabil, hanya saja dengan kejadian yang di hadapkan padanya kemarin, membuat Max seketika saja membuka mata. Membiarkan berlian miliknya begitu saja, terlalu mempercayai pejalan sekitar yang di anggap tak macam-macam.     

Ya, pria berparas oriental itu memang terlalu teledor, menyangka semuanya akan baik-baik saja tanpa ada prasangka pencuri pada siapa pun. Terlebih dengan bagian yang paling membuatnya menyesal, meletakkan nilai keberadaan Nathan menjadi urutan yang kesekian.     

Max tak akan membiarkan hatinya kembali merasakan kehancuran, cintanya yang mekar kembali karena pertemuannya dengan Nathan, membuat hatinya lantas menggebu untuk kembali menjadi kepunyaan.     

Sejak awal, harusnya memang Max tak menempatkan Nathan sebagai pilihan. Nyatanya penyesalan memang datang paling akhir, membuatnya terlingkup permasalahan lebih sulit saat sang adik yang menjadi peran pengganggu?     

Tak bisa lagi membuang waktu, yang makin jauh bisa saja membuat hubungan mustahil untuknya dengan Nathan. Ya, meski pun menempatkan sang adik dalam posisi permusuhan.     

"Jangan diam saja. Hikss.... Mau mu membuat ku terluka, kan? Kau mau aku kembali hancur? Katakan pada ku, Max!" jerit Lea yang seketika langsung menggema ke seluruh ruangan. Langkahnya yang menjumlah cepat, menyasar hantaman bertubi-tubi pada pria itu.     

Max sekali pun tak menghindar, membiarkan Lea yang seperti kesetanan itu meluapkan seluruh emosinya.     

Pada bagian dada, lengan terkepal milik Lea terus memberikan pukulan di sana dengan sekuat tenaga. Wajah cantik wanita itu sudah sangat memerah, napasnya yang memburu membuatnya makin nampak menyedihkan dengan tubuhnya yang makin melemah.     

Jatuh di dekapan Max, pria yang masih suka rela menampung itu bahkan bantu mengusap wajah basah milik kawan wanitanya itu. Lea yang masih saja tak terima dengan keputusan Max, membuatnya merengek lagi dan lagi.     

"Bagaimana kalau kau pergi.... Aku bagaimana, Max...." lirih Lea dengan suara sengaunya yang makin tenggelam dalam dekapan pria itu.     

"Le, kau punya banyak pilihan, tak hanya harus bersama ku dan juga pada satu tempat saja. Kau bisa menata hidup mu kembali, sudah ku siapkan tempat untuk mu memulai kehidupan dari awal."     

Suara tangis wanita itu seketika saja terhenti, menarik tubuhnya menjauh, mengalih tatapan penuh belasnya beberapa saat lalu menjadi sosok yang tak tahu diri dengan semua kebaikan yang telah di dapatkan. Max jelas tak menyukai jika Lea sudah berubah seperti ini, sifat keras kepalanya membuat pria itu jengah.     

"Maksud mu aku harus kembali mengalah pada mereka?" tanya Lea dengan nada tinggi di akhir tanyanya. Matanya bahkan sudah menyipit tajam, hampir melukai buku tangannya yang di tancap kuku panjang.     

"Hanya pilihan itu yang tepat, jika kau masih saja tak bisa bangkit dan melupakan kejadian yang telah lalu."     

"Heh! Kali ini kau berucap begitu ringan, apa anggapan mu tentang kejadian lalu yang menimpa ku sudah tak lagi membuat mu empati? Oh... aku tau.... Karena kau ingin buru-buru meninggalkan ku, kan? Mengejar pujaan hati yang membuat mu kembali ke jati diri mu sesungguhnya, gay?!"     

Lea yang meneriakinya dengan keras, membuat Max tak bisa menahan diri untuk meringis sesal. Ya, bagaimana ia bisa mengorbankan waktunya sekian lama untuk Lea yang telah berubah? Bukan lagi kawannya yang ceria dan pemberani seperti masa sekolah. Nyatanya wanita itu sudah berubah terlalu banyak, hingga Max yang awalnya masih mencoba menerima kian tak menolak.     

"Mungkin yang kau katakan ada benarnya, meski pada bagian saat aku yang kau tuduh telah berubah," balas Max yang kemudian menghampiri sisi ranjang, melanjutkan kembali pakaian yang belum sempat tersimpan.     

Lea hanya kembali tak bisa berkutik, kalimat balasan dari kawannya itu membuatnya merasa di lingkupi perasaan bersalah. Menggigit kukunya dengan pandangan meliar, tak ada satu pun objek yang membuatnya tertarik dan melepaskan fokusnya yang terbawa makin jauh. Banyak suara yang membuat pendengarannya seketika saja berdengung. Napasnya kemudian tercekat, menjadi makin memburu dengan hembusannya yang semakin menderu.     

Terlebih dengan tepukan yang di rasakan pada bahunya, di respon terlalu berlebihan saat wanita itu malah mengambil langkah mundur dengan mata terbelalak tajam. Seakan tak lagi mengenal dunia, Lea menjadi penuh kewaspadaan dengan sekujur tubuhnya yang bergetar.     

Max yang mendapati ada yang salah dengan Lea kemudian mencoba untuk memberikan sentuhan ulang. Keringat Lea yang bahkan sampai membanjiri, memaksa lengan pria itu untuk mengecek suhu tubuh Lea, barangkali terserang demam.     

Plakkk     

Namun lagi-lagi Max merasa kehadirannya yang dengan tulus tak bisa lagi di hargai. Lea menepis lengannya kasar, bukan yang dapat di perkirakan pula saat wanita itu tiba-tiba membalasnya dengan tamparan kasar.     

Lea yang mungkin saja masih tak bisa menerima keputusannya untuk pergi dari penjagaan dua puluh empat jam, emosi yang di terima lantas menyambung balasan, terlebih dengan cara wanita itu meneriakinya kembali.     

"Pergi saja! Kalau kau mau pergi, pergi saja!"     

"Le, aku bukannya mencoba untuk memutus persahabatan kita, aku hanya meminta batasan. Dan ingin kau memahami jika diri mu bukan lagi yang utama,"     

.... Aku masih ada sebagai kawan mu, terus mendukung mu jika kau mau berubah dan memandang masa depannya. Kau tak harus bersama dengan mereka yang kau anggap membuat mu menderita, yang ku katakan, kau bisa menempati tempat yang telah ku sediakan."     

Max pergi setelah itu, membawa segala barang-barangnya, mengikis bekas apa pun yang tertinggal di ruangan itu.     

Lea berubah semakin sendu, pandangannya terus terarah pada tujuan kepergian kawannya, sembari memanggil lirih. "Max..."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.