Hold Me Tight ( boyslove)

Jalan sulit



Jalan sulit

0Menjadi bagian dari kesungguhan, saat perasaan yang menempat di hati lantas mendapat perjuangkan. Menjadi semacam kesungguhan untuk bisa menjalani momen kehidupan bersama di setiap detik, baik suka atau pun bahkan duka. Normalnya memang tak bisa berjalan mulus, penuh liku atau bahkan jurang menanjak yang menguji nyali sekalian. Bahagia di akhir kisah yang menjadi alasan utama, mungkin tak akan pernah membuat langkah mundur, rintangan akan berbalik menjadi kisah heroik yang makin mempererat dua hati yang saling menarik garis terhubung.     
0

Cinta yang di rasa memang mendetail semacam itu. Menjabar pertemuan, momen bersama, saling mengenal kepribadian masing-masing, lantas respon tubuh yang sampai mampu menggetarkan sekujur. Tak ayal seketika merekap keinginan hati, benar-benar hanya bahagia untuk satu orang yang di harapkan.     

Layaknya sudah tak ada pilihan untuk bersama walau sosok lain yang berusaha melompat tinggi dengan lengan melambai, harapan ingin sedikit saja di lihat, tak sekali pun peduli jika hati akan di beri sisa mencabang yang begitu rapuh untuk sekedar di genggam.     

Cinta memang tak pernah bisa di terka, terlebih dengan jalan sederhana serta singkat dengan sosok yang di harapkan sejak awal. Tak bisa sekali pun memberikan paksaan, atau jika dapat mungkin hanya semacam serpihan hati yang nyaris hancur. Bagian patah yang menjadi semacam penyusup di pertengahan kisah percintaan utama.     

Namun bagaimana jika waktu mampu memutar balikkan segalanya? Tak sempat mempertaruhkan posisi dekat yang menjadi incaran, atau bahkan kepastian hubungan yang mendesak balasan. Layaknya roda berputar yang mampu memporak porandakan posisi, menghancurkan segalanya yang menjadi angan? Alasan untuk goyah jika satu hati yang mulai menyerah. Tak sepakat sejak awal dengan janji penyerahan yang sama? Bagaimana pula dengan banyaknya peran yang mengambil kesempatan tanpa pandang bulu? Menyamaratakan banyak pihak dengan pemilihan ulang? Lantas, apakah cinta yang di gaungkan menjadi bait indah tak akan lagi memiliki makna?     

Kisah yang mencoba di tuangkan jika perjalanan cinta tak akan pernah bisa berjalan mulus, tak bisa menutup mata pada sekitar yang terus berteriak memberikan komentar bernada sengau, di balik keinginan egois yang hanya ingin berlakon sesuai keinginan.     

Namun jika di hadapkan pada orientasi seksual, apakah bisa di anggap tak terbatas seperti yang di katakan semua orang menjadi bagian semestinya? Hasutan buruk yang memaksa untuk terus merasuk, dan bahkan mulai menghancurkan tembok tinggi pengharapan? Ya, pemahaman yang bisa di tanggap, jika tak sesuai dengan yang lain tak akan bisa berkutik sesuka hati, kan?     

Namun bagaimana jika patah hatinya tokoh utama, bersamaan dengan pergerakan serentak antar pihak yang memperebutkan? Jika satu peran mendapatkan bocoran situasi, apakah yang hanya mengandalkan fokus sasaran mampu ditandingkan?     

Max benar-benar meninggalkan kungkungan Lea, kembali pada tempat seharusnya, merapikan segalanya yang telah berantakan. Menggapai cintanya yang sempat di sepelekan.     

Menghapus bekas keberadaannya tanpa sisa di ruangan pribadi milik wanita yang masih dengan usaha keras di sebut kawannya itu.     

Kembali pada kediamannya secara langsung, karena ia tahu jika tak akan mungkin untuknya bisa menemui sosok yang di rindukannya itu di lingkup awal yang menjadi pertemuan.     

Kediaman mewah miliknya terasa sangat sunyi, saat pintu masuk terbuka untuk menempuh langkah panjangnya guna melanjutkan.     

Menarik koper besar miliknya, membawa ke lantai atas saat tak satu sosok pun berhasil di temuinya.     

"Akhirnya kembali, aku sangat merindukan mu, brother!"     

Sebuah suara amat ceria yang menyambut kedatangannya. Bangkit dari sikap tengkurap, melemparkan begitu saja majalah yang menjadi fokus awal wanita itu.     

Adik semata wayangnya, berlari kencang menghampiri Max yang terhenti di ambang pintu. Melemparkan tubuh rampingnya yang hanya berbalut setelan super pendek, surai pendeknya yang di cepol, menandakan tak ada satu pun kegiatan yang menanti kesiapsiagaannya.     

Mengangkat satu lengannya yang bebas, kode untuk melepaskan diri agaknya masih tak bisa di pahami oleh Cherlin yang malah menenggelamkan nyaman wajahnya pada dada bidang milik sang kakak. Akhirnya dengan desakan, langkah kaki pandang milik Max masih terus berlanjut, tak berkurang akal untuk sang adik yang tak ragu untuk melompat pada gendongan manja sang kakak.     

"Turun, kau sangat berat."     

"Tidak, sebagai hukuman karena telah membuat ku merasa rindu!"     

"Berlebihan sekali," kekeh Max yang rupanya tak bisa mengalah dari sang adik. Dengan menarik koper, satu lengannya pun menopang bokong sang adik.     

Dekat dengan sisi ranjang, Cherlin kemudian menghempaskan dirinya ke ranjang sang kakak lagi. Bobotnya yang membuat bagian empuk itu memantul, layaknya menjadi hiburan tersendiri untuk Cherlin yang mengulas gurat wajah ceria dengan kedua lengan terlentangnya yang melemas pada masing-masing sisi tubuh.     

Pandangan keduanya bertemu, sang adik yang memang manja, kemudian mengulurkan lengannya pada Max. Balasan dengusan kasar, pria yang terkesan dingin itu malah mengabaikan dengan tubuhnya yang lekas putar badan.     

"Kita bukan anak kecil lagi, sudah ku katakan itu pada mu berulang kali," peringat Max dengan meletakkan barang bawaannya pada tempat semestinya.     

Cherlin yang mengikuti pergerakan sang kakak, malah menertawai sikap tegas yang di buat-buat oleh Max. Pria itu selalu saja menggertak, tak pernah membatasi garis yang seperti di katakan.     

"Segera ganti selimut dan juga sprei milik ku, tak sudi untuk membaui aroma tubuh mu yang bau."     

"Dasar! Brother pikir aku sebusuk itu, apa?" teriak protes Cherlin yang kemudian memberenggut. Satu lengannya kemudian terangkat, mencium ketiak tereksposnya yang basah.     

Lantas mengernyit dan seketika saja merasa mual, tak akan di kira jika kemalasannya selama dua hari ini membuat Cherlin menyamai khusus dengan aroma busuk.     

Tak ingin membuat sang kakak melemparkannya keluar tanpa belas, wanita itu malah memberontak dengan kembali berbaring dan membungkus tubuhnya dengan selimut. Meneriaki lanjutan supaya posisinya berdekatannya dengan sang kakak supaya aman "Aku masih mau di sini. Aku ingin tidur di pelukan, brother! Tak ada protes!"     

Max menarik kedua sudut bibirnya saat mendengar rengekan manja sang adik. Sembari berjalan ke arah kamar mandi, membasuh wajahnya yang terasa makin panas. Menakup kedua lengan terbukanya, menampung air keran yang kemudian menumpahkannya pada wajah. Tetes air yang membahasi pun lantas mengalir turun, menjadi intens tersendiri saat pantulan kaca di hadapannya memberikan bias.     

Telapak basahnya pun kemudian menyeka permukaan kaca yang sedikit berdebu, menjadikan replikanya makin memburam.     

Pandangannya masih terus berusaha untuk menyelam pada keadaan dirinya sesungguhnya, menjadi semacam pergerakan yang seketika saja buntu saat hadapannya dengan sang adik.     

Selalu menjadi seperti ini, ia amat tak menyukai tentang bagaimana takdir mampu menempatkan segala yang di rasa tak mungkin. Jika pria mungil yang merupakan kekasih Nathan bisa di pukul mundur tanpa perasaan, bagaimana dengan adiknya? Apakah Max harus kembali mengalah? Ya, ia rupanya masih menjadi sangat sensitif tentang perkara perasaan seseorang terdekatnya.     

"Brother! Ku rasa kau terlalu lama melamun, apa yang kau pikirkan?" sentak Cherlin setelah berguling pada sisi Max yang di kuasai.     

Pria yang tengah bersandar ke kepala ranjang, rupanya memang benar-benar serius dengan memberikan batasan. Cherlin harus kembali berguling, berhenti di bagian sudut berlawanan dengan sang kakak.     

Hari masih terbilang masih sore untuk ajakan Cherlin menyelam pada mimpi. Max benar-benar serius dengan gila bersihnya, baru menyanggupi penempatannya di atas ranjang jika kain yang telah tersentuh keringat sang adik lekas di ganti. Sekalinya dengan sumber yang di permasalahkan, bahkan Cherlin sudah berganti setelan baju tidur pendeknya.     

Cherlin yang lama-lama merasa bosan dengan baringan malasnya, menarik ponsel miliknya dengan fokus pada pesan yang beruntun masuk. Hanya menyahut dengan suara deheman ringan, saat kakak yang terlalu tak berminat untuk memberinya balasan.     

"Tak ada, hanya tentang pekerjaan ku yang terbengkalai," balas Max yang kemudian menundukkan pandangannya kembali pada layar laptop menyala yang ada di pangkuannya.     

Netra hijau keabuannya boleh menatap lurus pada media datar itu, hanya saja tidak dengan fokusnya yang tak bisa terkendali. Masih tentang Nathan dan penolakannya yang masih saja membuatnya terusik.     

"Kenapa dengan mu, berubah gila hanya karena tak mempunyai jadwal kesenangan? Mas Riki melakukan tugasnya dengan baik hingga membuat mu menyerah untuk mengusiknya?" tanya Max saat mendapati Cherlin yang terpekik dengan berjingkrak-jingkrak girang. Sekalinya dengan wajah bersemu merah, bibirnya bahkan menarik senyum terlalu lebar.     

Cherlin yang sampai mencium ponsel miliknya, kemudian menolehkan balasan pada sang kakak dengan kedua telapak tangan terbukanya yang masih usaha untuk bantu menurunkan suhu tubuhnya yang sontak memanas.     

Hanya menggelengkan kepala, membuat Max berdecih karena merasa terganggu saat lagi-lagi sang adik meloncat dari posisi duduknya hingga otomatis membuat permukaan ranjang yang di tempati keduanya itu bergoyang.     

Mendesis sebal, bahkan Max telah memberikan peringatan pada Cherlin dengan netranya yang melirik tajam.     

"Sebenarnya apa masalah mu, eh? Kalau hanya ingin menganggu, sebaiknya kau cari yang lain, aku benar-benar sedang sibuk saat ini," kesal Max yang bahkan sampai memijat pelipisnya yang berdenyut menyakitkan.     

Cherlin yang seperti tak sedikit pun peka, malah makin mendekat dengan melontarkan pertanyaan yang membuat suasana hati Max makin memburuk.     

"Sebenarnya, apakah hubungan brother dengan Nathan baik-baik saja?"     

Tersentak, Max pun otomatis menatap lurus pada Cherlin yang membebani lengannya dengan bersandar itu. Dahinyab otomatis menyerngit, serentak dengan alisnya yang menyatu. "Maksudnya?" balas Max yang meminta penjelasan lebih dalam.     

"Ya, ku rasa aku perlu mengetahui tentang kalian berdua. Terlebih dengan kejadian malam itu, brother bahkan sampai membawa Nathan dengan paksaan, kan?" jelas Cherlin yang lebih tak sabaran untuk menanti balasan dari sang kakak.     

Namun setelah lama waktu berselang, yang ada malah Max menghindari pandang dengan wajahnya yang seketika saja menegang.     

Jelas saja menjadi prasangka macam-macam untuk wanita itu, lengan rampingnya kemudian sampai mengepal dengan erat. Memaksa pancingan dengan harapan yang masih baik-baik saja, "Nathan baru saja mengabari ku, katanya hubungan brother dengannya baik-baik saja. Hanya saja aku ingin mengetahui dari sudut brother sekalian, kau tahu tentang rencana penyatuan keluarga kita dengan Aditama, kan? Aku ingin segalanya berjalan dengan lancar, sampai hari itu tiba."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.