Hold Me Tight ( boyslove)

Pertemuan yang membawa masalah



Pertemuan yang membawa masalah

0"Bangsat!" umpat Max saat mengingat pengakuan dari adiknya sesaat lalu. Ia bahkan sama sekali tak bisa berkutik, hanya diam membatu tanpa sedikit pun kalimat posesif yang terlontar untuk membatas kepemilikannya.     
0

Yang di khawatirkan, malah menjadi kenyataan, membuatnya frustasi dengan pesona Nathan yang keterlaluan hingga mampu membuat siapa pun bertekuk lutut.     

Mencengkram kuat surai kecoklatan miliknya, meninggalkan bekas berantakan dengan beberapa helai miliknya yang mencuat tak beraturan. Terlebih dengan angin yang mulai menerpa tubuhnya kencang, makin memberikan siksaan dengan dingin yang mulai menusuk tulang.     

Memejamkan mata, rahangnya lantas mengetat dengan gertakan giginya yang makin mengerat. Cengkramannya pada pembatas balkon bahkan tak sedikit pun mampu membuatnya keluar dari kemelut pikiran penuhnya. Menjadi bagian yang paling di benci, saat dirinya memaksa posisi jatuh dan melemah tanpa memiliki kuasa.     

Menolehkan pandang setelah sempat netranya terpejam, pembatas kaca yang membuat objek sasaran yang ada di ruangan menjadi semakin jelas. Cherlin di sana, telah tertidur pulas walau waktu masih terbilang belum terlalu larut. Membuat pria itu otomatis mengulas senyum tipis, mengingat tentang betapa dekatnya ia dengan sang adik. Walau mereka telah tumbuh semakin dewasa, bagian yang tak bisa di hilangkan dari wanita itu adalah sikap manjanya.     

Dengan Nathan, posisi Cherlin hampir tak tertandingi. Membuat Max lagi-lagi merasa kebingungan. Mana yang harus di pilih, keluarga atau cinta yang telah di temukannya?     

Ting Tongg     

Di balik sudut terjauh, tak bisa di pungkiri jika sosok itu telah di pusingkan perihal yang sama. Mengenai perasaannya yang terus memaksa untuk di selami, bagian menyulitkannya adalah sosok yang diingini.     

Dia adalah Nathan, menyasar searah dengan Max yang menaruh cinta yang sama. Andai jika keadaan memberi jalan terbuka. Andai keinginannya dapat terucap tanpa keraguan macam-macam. Andai orientasinya tak di bedakan. Ya, bisa jadi hari ini menjadi pergumulan panasnya dengan pria berparas oriental itu, kan?     

"Nath... Nath!"     

Sebuah panggilan membuat pria yang duduk di sofa tengah itu seketika saja tersentak. Menutup otomatis kelopak matanya, napas menderu kontan melengkapi seakan lamunan yang sudah membawanya terlalu dalam. Mengusap permukaan wajahnya naik turun, baru setelah itu menimpal balas pada Lisa yang berkacak pinggang di hadapannya.     

"Ku harap kau tak melamunkan hal mesum. Sungguh, senyum mu cabul sekali, Nath..."     

"Sembarangan saja bicara mu, aku sedang mengistirahatkan tubuh, kenapa juga menyempatkan diri dengan pikiran tak penting?" elak Nathan dengan gelagat kikuk, duduknya sampai terlihat tak nyaman, lengan yang mengusap tengkuk dengan deheman membuat wanita itu semakin menggoda.     

"Ya, ya... Aku percaya dengan mu, bukankah gelar pewaris tahta di perusahaan, membuat mu sibuk akhir-akhir ini? Sekedar membayangkan hal mesum dengan lengan yang membantu kejantanan milik mu untuk mengeluarkan cairannya, mana sempat, kan? Hahhha...."     

Lisa benar-benar membalas sarkasme, Nathan yang sasar bahkan lagi-lagi hanya bisa terdiam dengan melempar pandang untuk menghindari wanita yang terbahak itu.     

Ting Tongg     

Namun belum satu kalimat yang di rancang untuk membalas wanita itu, terlebih dahulu suara bel berbunyi terdengar.     

"Oh ya, aku kita ada tamu. Bukankan pintunya sana," perintah Lisa dengan lengan kanan mengkode hempas.     

Nathan yang menurut ogah-ogahan, lantas menarik sekalian lengan Lisa untuk mengikuti langkahnya.     

"Eh-ehh... Hanya membuka pintu, kenapa kau turun mengajak ku sih, Nath?" protes Lisa dengan usaha tumpuan kakinya yang di eratnya. Namun rupanya Nathan tak habis akal, membelit lengannya di pinggang wanita itu sekalian, kekuatan perlawanan jelas berbeda jauh.     

Akibatnya, Lisa terpaksa mengikuti dengan langkah terseok-seok. Menolak pun tak bisa, terlebih dengan alasannya yang di ingat oleh Nathan.     

"Kau bilang ada seseorang tetangga pria cabul yang seringkali mengganggu mu, sekalian saja untuk saat ini, biar ku beri peringatan padanya untuk tak lagi mengganggu mu."     

Bohong, Lisa mengatakan alasan bohong untuk kawan prianya itu. Ilham yang pernah mencoba kembali datang, untung saja waktu yang begitu di rasa berpihak padanya saat secara kebetulan Nathan sedang ada di kamar mandi. Ia masih belum siap untuk menghadapkan pada kawannya itu permasalahan baru, terlebih hanya karena dirinya.     

Bukan tak mungkin jika Ilham masih mencoba untuk meneror dengan kedatangannya kembali, jantung Lisa bahkan sudah berpacu dengan sangat kencang, keringat dingin membasahi sekujurnya. Bagaimana jika keberuntungan untuknya sudah habis? Sungguh, ia tak tahu lagi bagaimana harus bersikap nanti.     

Nathan yang membawanya dengan paksaan, kali ini bahkan lebih dengan dengan sumber terdengar bunyi suara bel.     

Lisa bahkan hanya mampu memejamkan mata saat lengan kanan Nathan sudah menyentuh pegangan pintu. Menahan napas untuk beberapa saat, tubuhnya bahkan hampir saja jatuh meluruh saat terdengar lirih bunyi decit pintu yang makin mengiang di telinganya.     

Namun sampai pada hitungan kesekiannya, tak sekali pun terdengar suara familiar yang terdengar menyambut lanjutannya. Malah di rasakan cekalan lengan milik Nathan pada pinggangnya yang kian melonggar.     

"Sayang... Akhirnya aku menemukan mu."     

Deg     

Otomatis Nathan yang di tuju tak bisa berkutik. Kelopak matanya bahkan tak mampu untuk sekedar berkedip, napasnya tercekat, terlebih dengan aroma tubuh yang kembali merangsang ingatan masa lalunya.     

Menjadi pertemuan yang tak bisa terpikirkan dalam ingatan terdangkal sekali pun. Sosok mungil yang melemparkan tubuh padanya, membelitkan lengan rampingnya untuk memberi dekapan makin erat.     

"Hikks... Sungguh, aku merindukan mu, Nath...." isak tangis pria mungil itu pun terdengar, membuat Nathan lagi-lagi harus menghela napas lelah. Ingin berapa kali lagi masalah menderunya bersamaan, kali ini dengan seseorang yang di anggap masa lalu yang turut kembali? Ya, di akui juga, ia yang turut andil di dalamnya, meninggalkan begitu saja permasalahan yang belum sempat terselesaikan.     

"Bagaimana kau bisa meninggalkan ku... Kenapa marah mu begitu lama hingga membuat ku tersiksa dan ingin mati rasanya? Hikss... Kau tahu jika aku sangat mencintai mu, Nath... Ku mohon jangan pergi dari ku lagi."     

"Kau minum saja dulu, Ri," perintah Nathan saat Lisa bantu menyodorkan gelas air minum untuk Rian.     

Namun yang ada pria mungil itu malah menggelengkan kepala, malah makin merapatkan diri saat Nathan yang coba untuk sedikit memberi jarak.     

Membawa Rian masuk, tak mungkin juga Nathan tega untuk mengusir pria mungil yang sempat menjadi pemilik hatinya itu. Menempati sofa panjang satu-satunya di ruang tengah, masih dengan Rian yang terus membasahi kaos tipisnya dengan dekapan erat. Sempat di rasa bingung, bagaimana pria mungil itu tahu tempat tinggalnya?     

"Ekhem! Ku rasa aku harus pergi," sela Lisa dengan suara lirihnya yang nyaris habis. Gerakan tubuhnya nampak kurang bertenaga, di rasa Nathan mungkin saja wanita itu masih terkejut dengan sosok kekasihnya.     

Meninggalkan lingkup privasi untuk kedua pria itu, saat pintu kamar milik Lisa tertutup rapat. Malah menyisa kecanggungan setelahnya, terlebih dengan lengan kecil milik Rian yang menakup rahangnya.     

Wajah basah yang penuh dengan linangan air mata itu menampil jelas di pandangan tepat Nathan. Bibir merekah dengan warnanya yang memerah, hanya baru kali ini mencebik dengan sesekali menggigit keras permukaan bawahnya. Jelas saja Rian begitu terluka, Nathan yang sekalinya melakukan kesalahan langsung fatal dengan patah hati yang paling menyakitkan.     

"Kenapa kau hanya diam saja, apakah kau sama sekali tak senang dengan kedatangan ku? Hikks... Sedikit pun, apakah tak ada lagi sisa pengaruh ku untuk mu? Apakah kau dengan mudahnya berpaling, dan melupakan memori kebahagian kita selama bertahun-tahun lalu?" tekan Rian dengan merongrong pertanyaan. Lengannya sudah tak memberikan sentuhan lembut pada wajah datar milik Nathan, membuat pria mungil itu harus kembali menelan pil pahit untuk kesekian kalinya.     

Beralih luruh dengan jemarinya yang mencengkram erat kerah baju milik Nathan. Menarik garis raut semakin dalam, bahkan wajah Rian sudah begitu merah, hanya bisa tenggelam kembali pada dekapan hangat milik pria yang di harap masih menjadi kekasihnya. Masih dengan paksaan jawab.     

"Ku mohon katakan sesuatu, Nath..." lanjut Rian dengan suara lirihnya yang tenggelam. Kepalanya memang tak sekali pun ingin lepas dari sandaran dada bidang milik Nathan yang hanya satu-satunya menjadi tempat ternyaman.     

Berusaha memberikan penenangan pada pria mungil itu, satu lengan Nathan yang sejak tadi tak membalas respon pun di paksa mati-matian untuk mengusap belakang tubuh milik Rian. Dengan dagunya yang menumpu di puncak kepala milik pria yang menyeruakkan aroma khas yang tak di miliki oleh yang lain. Menjadi amat kejam jika Nathan langsung memukul mundur untuk menyingkirkan peran pria mungil itu di hidupnya. Pilihan mendekat personal di rasa menjadi bagian terbaik.     

"Ku mohon pada mu, jangan menangis seperti ini, Ri..."     

"Hikks... Kau pikir rasanya akan biasa saja? Sendirian, tanpa siapa pun yang menemani hari-hari ku di sini. Tak punya tumpuan, hanya terus mengisi waktu dengan harapan supaya kau bisa kembali pada ku," tekan Rian dengan rahang kecilnya yang sampai mengetat, meninggalkan geraman di akhir kalimatnya. Mata bulat kelamnya sampai menyipit tajam, lebih tak habis pikir dengan cara santai Nathan dalam menyikapi hubungan mereka yang penuh dengan kenangan itu.     

.... Tak lagi mempunyai cinta untuk ku? Apakah kau yang sudah mempunyai pengganti untuk sosok yang bertahta di hati mu?" lanjut Rian masih dengan desakan serupa, lengannya kali ini bahkan sampai mencekal pergelangan tangan milik Nathan. Menjadi semacam luapan emosi yang menyerang fisik yang menyasar, terlebih dengan lontaran kata balasan yang keluar dari bibir membungkam milik pria yang di tuntut pertanggung jawaban itu.     

"Aku tak ingin membohongi mu. Sungguh, aku juga amat menyesal dengan cara pengecut ku yang sampai mengingkari janji kita dulu. Hanya saja aku sedang dalam masa yang begitu sulit, segalanya menyerang ku dengan tuntutan sempurna. Aku tak mengerti bagaimana cara ku bisa kembali menampilkan diri ku yang sesungguhnya, aku tak bisa kembali seperti dulu lagi. Ri maafkan aku."     

"Sayangnya yang ku dengar hanya upaya pengalihan mu, Nath. Kau melontarkan kalimat panjang lebar hanya untuk melindungi posisi mu dari rasa bersalah," geram Rian sembari menghempaskan cekalan tangannya dengan kasar. Menggelengkan kepala dengan kenyataan yang membuatnya begitu jengah, otot di dahinya bahkan sampai berdenyut.     

Membuka matanya yang masih saja memburam, membekas kekecewaan yang kembali membuat lelehan air matanya keluar.     

..... Demi apa pun, yang ku tekankan pada mu bukan mengenai itu. Pada poin utamanya, apa kau benar-benar sudah tak menaruh sedikit pun perasaan terhadap ku?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.