Hold Me Tight ( boyslove)

Masih di libatkan dengan permasalahan sang kawan



Masih di libatkan dengan permasalahan sang kawan

0Lisa menjadi pendiam, bungkam seribu bahasa dengan gelagat yang sangat jelas untuk menghindarinya.     
0

Nathan tak mengerti, terlebih dengan kabar yang di rasa sangat baik untuk wanita itu. Bukankah sebelumnya Lisa nampak bersemangat atas janjinya memperkenalkan wanita itu pada kawan-kawannya? Lalu mengapa respon aslinya malah berubah seratus delapan puluh derajat saat akhirnya rencana itu berhasil bersambut?     

Lisa bahkan menjadi sangat murung, kue yang di usahakan oleh Nathan tak kunjung tersentuh. Pandangannya yang berubah nanar dengan bias basah melengkapi, sempat tertangkap pandang oleh Nathan sebelum wanita itu mengalih pergi.     

Tak ada cerita panjang lebar yang sudah di janjikan, Nathan yang awalnya memberanikan diri untuk memulai pembicaraan seputar kisahnya dengan saudara perempuan Max langsung terhenti, Lisa benar-benar tak merespon, rautnya bahkan sudah sangat datar.     

"Apa kau baik-baik saja?" tanya Nathan saat rasa khawatir tak kunjung reda. Tengah malam, pria itu menyusup ke ruangan Lisa yang tepat di sampingnya.     

Firasatnya ternyata sama sekali tak meleset, saat pembatas pintu itu terbuka dan otomatis pandangannya yang terpaku lurus pada wajah sedih itu.     

"Hikks... Nath...."     

Secepat kilat, Nathan pun bergerak memasuki ruang pribadi milik Lisa. Suara sengau yang menitah namanya membuat sang pria memberikan dekapan erat sebagai bentuk kehadirannya. Lisa benar-benar menangis, membasahi kaos tipis di bagian dada milik Nathan.     

Berusaha menjadi kawan yang baik sesuai dengan ikrarnya sejak awal, mensugesti Nathan untuk menjadi sosok pendamping yang tenang terlebih dahulu.     

Suara detik jam dingin yang mulanya tertutup isak tangis menderu milik wanita itu, beransur-ansur kembali sunyi saat luapan tangis Lisa yang kemudian mereda.     

"Tidak... Jangan lepaskan aku, Nath... Aku tak ingin sendiri..."     

"Hanya membenarkan posisi mu, supaya lebih nyaman," balas Nathan mencoba untuk memberikan pengertian pada wanita itu.     

Perlahan melepaskan lengan milik Lisa yang mencengkram terlalu erat, gelengan kepala bertubi-tubi membuat niatan Nathan memindah posisi menjadi semakin sulit.     

Berdecak sebal saat berhadapan dengan keras kepalanya wanita itu. Hanya satu poin yang menjadi pertimbangan Nathan untuk membalasnya dengan paksaan, telapak kaki milik Lisa yang menggantung di sisi ranjang, keadaannya yang mencengkram saat terpaku dengan dinginnya lantai keramik. Memboyong wanita itu adalah jalan satu-satunya, mengerahkan tenaga penuh dengan penuh kehati-hatian.     

Membaringkan wanita yang tengah hamil besar itu untuk berbaring. Bukan sebuah sangkaan pula, saat lengan Lisa yang bergelayut di lehernya tak kunjung terlepas.     

Hingga Nathan yang harus kembali bersabar untuk membujuk wanita itu. Bukannya apa-apa, hanya saja ia khawatir perut milik Lisa akan tergencet oleh tubuhnya.     

"Aku akan tetap di sini, menemani mu sampai kau terlelap," ucap Nathan dengan memberikan sepenggal janjinya.     

Namun agaknya hal itu masih belum begitu mempan, Lisa yang bersembunyi di ceruk lehernya dengan yakin menggelengkan kepala. Balasan pun di utarakan untuk menyambung ketidakpuasannya.     

"Sampai kapan pun, maukah kau berjanji untuk terus berada di sisi ku, Nath? Kita adalah kawan, kan? Kau tak akan membuat ku kembali terpuruk dalam kesendirian, kan?"     

Nathan segera menyanggupi, meski sedikit di rasa heran saat Lisa yang lagi-lagi menunjukkan sisi lain dalam dirinya. Tak tersentuh, tak mengupayakan ucap lanjutan dan hanya membiarkan pria itu menerka-nerka tentang perasaan sebenarnya milik Lisa.     

Sampai keesokan hari menjemput, pagi yang perlahan mulai benderang dengan matahari yang menunjukkan kegagahannya. Masih sekali pun belum bisa merasuk pada isi hati terdalam milik wanita itu. Netranya yang baru terbuka secara otomatis menolehkan pandang pada Lisa yang masih terlelap di tumpuan lengannya.     

"Aku sangat menyayangi mu, memang tak ada alasan lain untuk mempertahankan mu di sisi ku," lirih Nathan sembari mengusap surai lengket milik wanita itu.     

Namun agaknya Nathan terlalu mengusik, sampai Lisa yang mulanya tenang pun berganti menggeliat dengan suara erangannya yang seperti memprotes.     

Pandangan keduanya lantas bertemu, milik Lisa yang bengkak menyimpan belas bagi Nathan karena kesedihan yang masih sebagian di tutupi.     

Namun sungguh, Nathan tak berniat memaksa, akan ada waktunya ia mengerti keadaan yang seperti tengah mengekang kehidupan wanita itu. Tak ingin sekedar ingin tahu, lebih dari itu, ia sangat ingin menjadi bagian terpenting pada saat Lisa meniti langkah perjalanannya. Nathan ingin terus mendampingi wanita itu dengan lengan yang saling menggenggam erat.     

"Kau akan selalu di sisi ku, kan?"     

Masih dengan pertanyaan yang menegaskan kepastian, memang di rasa amat sangat membingungkan, namun Nathan masih memiliki kesabaran ekstra untuk memberikan balasan.     

"Jangan sampai kau mengulangi kalimat tanya yang membuat ku muak itu. Aku yang sejak awal menempatkan diri terlalu jauh di hidup mu, tak ada alasan untuk ku tiba-tiba pergi,"     

.... Tak ada pilihan yang lebih baik dari pada bersama dengan seseorang yang mengerti diri mu secara keseluruhan. Jujur saja, aku sedikit tersinggung saat kau memberikan pertanyaan yang seolah-olah meragukan kesetiakawanan ku ini."     

Nathan mengulas senyum, lengan bebasnya yang sedikit jahil, turut mencubit puncak hidung milik wanita itu.     

Pandangan sembab milik Lisa pun terlihat meliar, meraba kesungguhan saat Nathan berkata demikian.     

Pelukan erat kembali meluapkan kedekatan keduanya, di dalam hati masing-masing, saling merapalkan janji serupa dengan rasa terima kasih yang bersungguh-sungguh saat hubungan keduanya sudah seperti makin erat di setiap detiknya.     

Lisa rupanya yang paling terlihat lega, cukup dengan ucapan meyakinkan Nathan yang bisa di pegang. Bahwa mereka akan selalu bersama.     

Seperti yang di katakan oleh pria itu, tak ada pilihan yang lebih baik lagi dari pada kebersamaan yang tengah mereka jalin. Di rasa bukan perkara penting lagi tentang prasangka berlebihannya, Nathan tak akan menjadikannya sebuah objek pilihan alih-alih sebagai ketentuan yang mutlak.     

Ya, Lisa adalah bagian dari hidup Nathan. Bukan hal yang patut di cemaskan pula saat kenyataan yang mempermainkannya lagi dan lagi.     

Ilham, seorang pria yang amat di cintainya sampai dengan detik ini. Seorang pria yang menjadi alasannya bahagia dan sedih tak berujung. Seorang pria yang menjadi alasan kehilangan atau bahkan pertukaran nyawa yang kali ini mengisi kandungannya.     

Ilham yang baru di ketahui jika bagian dari terdekat Nathan. Dunia seakan makin mengerucutkan peran yang perlu bersangkut paut, menjadi hal yang mengejutkan sekaligus membuat wanita itu cemas di satu waktu. Setelah semua nanti terbongkar, apakah Nathan masih sepercaya diri ini untuk memilihnya? Bagaimana jika rupanya lama waktu persahabatan yang menjalin momen kebersamaan turut di perhitungkan? Apakah posisinya masih bisa di anggap penting dari pada Ilham yang membencinya setengah mati? Apakah Lisa masih bisa tenang jika hadapannya saat ini sudah semakin dekat menodong pertempuran?     

Di ketahui sekarang, Ilham diam-diam sudah turut ikut campur dalam detail terkecil. Leo yang datang sebagai perantara, baru di sadarinya sejak awal jika pria itu sebagai seorang mata-mata. Uang bisa menghalalkan segala cara, kan? Menyulap persahabatan yang sudah lama terjalin menjadi sosok rawan yang berkemungkinan besar menusuk dari dalam selimut. Membalik hati yang mulanya tulus menjadi busuk dalam sekejap.     

"Lis, bisa kita bicara?"     

Ya, lihat saja pada gelagat cemas pria yang menyusup kebencian di hatinya itu. Membuat bibir wanita itu sontak menarik satu sudutnya dengan raut datar yang di pertahankan.     

Menamu pagi-pagi sekali, seakan begitu cemas dengan niat busuknya yang sudah mulai menyeruak.     

Nathan yang sudah rapi dengan setelan kantornya adalah seseorang yang menyambut kedatangan Leo terlebih dahulu, beramah tamah singkat dengan mengatakan penyesalannya kemarin karena tak sempat memberikan sapaan terlebih dahulu.     

Lisa yang sejak tadi terus merangkul tubuh Nathan, membuat pria itu memberikan balasan dengan memberikan kecupan di kening kawan wanitanya itu.     

"Tak bisakah kau menemani ku?" pintu Lisa dengan bisikan lirihnya. Satu lengannya mencengkram kerah milik Nathan yang masih belum terpasang dasi, pandangannya menyasar tepat dengan bulatan permohonan.     

Nathan yang melihat sikap manja Lisa malah terkekeh geli, perkiraan bawaan kandungannya yang membuat suasana hati wanita itu naik turun dengan sangat ekstrem.     

Memberi pelajaran wanita itu dengan mencubit pipi menggembung milik wanita itu, lantas mengalih dari raut Lisa yang memberenggut pada Leo yang menjadi pengamat intens dari kedekatan keduanya.     

"Hari ini Lisa begitu manja, harap maklum ya, Leo?"     

"Ah ya, aku dengar ibu hamil memang jauh lebih sensitif," balas pria yang duduk di sofa panjang tepat menghadap posisi berdekatan antara Nathan dan Lisa itu. Senyumnya terulas, namun pandangannya tak sampai mengikuti keramahan kala balasan yang di terimanya dari wanita itu begitu tajam.     

Seakan masih tak puas dengan hanya menampilkan raut, rangkaian kata yang terlontar seketika membuat Leo patah.     

"Tahu, wanita hamil adalah keadaan di mana seorang wanita itu merasa jauh lebih sensitif. Tapi untuk melihat ketulusan seseorang, ku rasa semua orang hanya perlu mengiming-imingi dengan pancingan harta duniawi terlebih dahulu, yang benar-benar baik pasti menolak, kan? Jika hubungan kawan adalah taruhannya?"     

Lisa berucap panjang, dengan caranya menekan di setiap kata terdengar seperti sumbang di pendengaran.     

Nathan lagi-lagi harus menerka tugas untuk memikirkan kode yang di berikan Lisa, tak pelak membuatnya makin terbeban pikiran terlebih dengan permasalahan pribadinya.     

Memutuskan untuk berangkat ke kantor setelah sebelumnya memberikan pengertian pada Lisa bahkan dirinya tak bisa seenaknya untuk menjadikan hari libur kapan pun.     

Merasa aman saat Leo yang di ketahui adalah kawan Lisa juga membuat Nathan sedikit lega untuk meninggalkan kawan wanitanya yang sedang sangat manja itu.     

Melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan yang terbilang cukup ramai. Waktu sudah semakin siang, tak ingin membuat papanya lebih kecewa saat dirinya tak disiplin.     

Untung saja dengan keahliannya dalam berkendara membuatnya selamat sampai tujuan dengan tepat waktu. Melenggangkan tubuhnya yang sudah tampil sempurna, memanah pandang setiap mata yang otomatis menjadikannya objek sasaran.     

Berjibaku dengan kemelut pekerjaan yang membuat konsentrasinya mengumpul menjadi satu, dahinya bahkan sampai berkerut dalam serentak dengan alisnya yang menyatu.     

Siang masih menjadi waktu yang paling mendebarkan, bukan dalam jalan terbaik saat rasa dominan risih yang menjadi alasan. Siapa lagi jika bukan Cherlin? Wanita yang sangat identik liar untuk sekedar memastikan kepemilikannya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.