Hold Me Tight ( boyslove)

Rencana masa depan?



Rencana masa depan?

0"Ku harap bukan hanya sekedar permainan mu saja, Nath. Yang kau libatkan adalah dua orang bersaudara, jangan sampai kau membuat hubungan darah mereka terputus hanya karena keputusan sepihak mu saja."     
0

"Ku rasa Max tak pernah menganggap terlalu penting tentang hubungan yang saling menguntungkan itu. Waktu yang bahkan hanya berlangsung sangat singkat, tak bisa di hitung sampai menggunakan perasaan,"     

.... Ku coba untuk menghilangkan keganjalan hati ku tentangnya, tak ingin di penuhi oleh pemikiran penuh tentang sesuatu yang tak penting,"     

.... Aku hanya seorang diri, di katakan bebas terlebih saat kekasih pria ku yang asli malah sudah lenyap seperti tenggelam ke dasar bumi. Jadi ku rasa untuk memutuskan kedekatan ku dengan Cherlin tak ada sedikit pun permasalahan dari dalam diri ku, urusan masing-masing dari mereka yang menaruh hati terlalu dalam pada ku, kan?"     

Nathan membalas kekhawatiran Lisa dengan penjelasan panjang lebar. Seolah mensugesti dirinya sendiri dengan harapan kawannya itu bisa langsung menyetujui.     

Garis wajahnya tertarik, bahunya yang terangkat bersamaan dengan kedua telapak tangannya yang terbuka pun menjadi penjelas atas penantian Nathan pada balas lanjutan Lisa.     

Namun setelah beberapa hitungan terjumlah, bibir terkatup Lisa tak kunjung terbuka untuk sekedar memberikan satu kata balasan.     

Yang ada malah gerak refleks dari lengan kecil Lisa yang beraksi, menghantam lengan atas milik Nathan dengan pukulan keras secara bertubi-tubi.     

Nathan pun mengaduh kesakitan, kedua lengannya sampai terangkat untuk melindungi kepalanya yang sudah di incar lanjutan oleh wanita itu.     

Mengatasi wanita, terlebih dengan suasana hati yang tak sekali pun bisa di terka. Jika sebagai alasan awal karena bawaan keinginan kandungan, apakah menyiksa pria itu adalah sebagian dari keinginan calon keponakannya?     

Nathan tak sekali pun bisa menghindar, tak ingin menambah masalah yang bisa jadi makin membuat Lisa tak jelas.     

"Apakah kau sudah puas untuk memenuhi keinginan keponakan ku?" tanya Nathan saat Lisa yang beransur henti dari pergerakan kedua lengannya. Napas memburu dengan arah posisi tubuh yang kemudian teralih, membuat pria itu lebih merasa khawatir saat lagi-lagi mata basah milik Lisa di tampilkan.     

"Aku tak akan memarahi mu karena kelancangan mu yang bisa saja membuat tubuh ku membiru karena perbuatan mu," tambah Nathan sembari menarik Lisa untuk masuk dalam dekapan hangatnya kembali.     

Di rasa sudah jinak, usapan telapak tangan Nathan pada surai lembut Lisa malah mendapat balasan sinis,     

"Aku mengkhawatirkan mu, namun ku rasa kau tak begitu memahami perasaan tulus ku sejak awal. Kau yang keras kepala, biar saja ku beri hukuman untuk mu."     

Nathan yang mendengarnya malah terkekeh, menganggap akhir pukulan dari kepalan tangan Lisa di dadanya adalah sebagian dari perhatian yang di katakan kepadanya. Ya, sudah seperti biasa, berpikir berlebihan sudah normal di utarakan masing-masing dari keduanya.     

Hanya memberikan keyakinan jika jalan yang di pilihnya saat ini adalah hal yang di kehendaki, lantas membuat Lisa perlahan memahami dan bisa menerima keputusannya yang memang masih di usahakan sepenuh hati itu.     

Kali ini perbincangan pun di lanjutkan, menanti waktu lelap dengan topik sasaran yang di ubah.     

Lisa yang sudah mendapatkan tamu pagi-pagi sekali, membuat Nathan makin merasa penasaran saat wanita itu baru di temuinya kembali bersamaan dengan waktu kepulangannya dari kantor.     

Seorang diri dengan langkah lemas, memasuki kawasan gedung apartemen. Tak membawa barang bawaan, dan hanya luaran rajut yang melengkapi baju terusannya.     

Di sangka bersama dengan Leo bisa sedikit membuatnya memahami, namun Lisa yang tak memberikan alasan sedikit pun membuat Nathan makin di buat khawatir.     

Ya, memang tak adil, wanita itu selalu bisa membuatnya mengutarakan setiap detail permasalahannya, namun tak sedikit pun balasan serupa yang di terima oleh pria itu. Lisa terlalu banyak menyimpan rahasia.     

Datanglah akhir pekan, rasanya itu adalah waktu yang tepat untuk membuat kebersamaan Lisa dan Nathan kembali terjalin. Mencari suasana baru, dengan menghirup udara segar di ruang terbuka.     

Taman yang tak jauh dari tempat tinggal keduanya menjadi pilihan yang sangat baik. Menggelar tikar, antusias Lisa untuk piknik bersama dengan hidangan makanan enak rasanya tak bisa di hindari lagi.     

Menjadi objek pandang pada seluruh mata yang menyasar, kehadiran keduanya yang terlalu mencolok, mendapat raut wajah iri dari para muda-mudi yang melihat keduanya bak keluarga harmonis.     

Gambaran yang di rasa normal, terlebih dengan cara Lisa yang terus memperlakukannya dengan penuh perhatian.     

"Kenapa raut wajah mu cemberut? Kau malu saat jalan bersama dengan wanita hamil seperti ku, ya?" tuduh Lisa dengan rautnya yang berubah masam.     

Nathan yang hanya memberikan penolakan saat perutnya yang kenyang masih harus di paksa untuk menampung suapan besar wanita itu. Sudah pasti tangkapan dari prasangka buruk Lisa menyasar yang tidak-tidak, membuatnya mendapat fitnah kejam dengan cara kesedihan wanita itu yang di tampilkan.     

Mendesah panjang, lagi-lagi harus menjelaskan dengan begitu detail tentang alasannya supaya tak membuat wanita itu tersinggung. Hanya setelah memakan waktu yang cukup lama, keduanya baru bisa menikmati pemandangan hijau sekitar dengan lebih leluasa.     

"Aku punya waktu, bagaimana kalau sekalian saja ku kenalkan diri mu pada kawan ku. Bagaimana menurut mu?"     

Penawaran sederhana, lagi-lagi tak sesuai dengan perkiraan Nathan untuk melihat raut wajah Lisa yang seketika ceria. Alih-alih demikian, yang ada malah wanita itu diam seribu bahasa dengan cekalannya pada garpu itu terlepas.     

Buah yang berhasil di ambil pun terjatuh, bukan ketepatannya yang secara kebetulan kembali pada kotak bekal, hanya saja pandangan Lisa yang nampak menerawang terlalu jauh membuat Nathan merasa takut jika ternyata ada bagian dari bicaranya yang menyinggung.     

Bibir Lisa pun menarik kedua ujungnya, namun tak sampai membawanya sampai ke raut wajah dominan tegangnya.     

"Ku rasa aku belum siap untuk bertemu dengan siapa pun. Aku bukan diri mu yang mudah sekali teralih pada sosok baru, dan bukan waktunya juga untuk ku berpikir tentang percintaan. Hei, anak ku sudah memasuki tri semester akhir, menjadi calon ibu ku rasa sudah terlalu banyak menguras waktu ku nanti."     

"Jadi, kau memutuskan untuk sendiri? Tak ingin ada seorang pria yang mendampingi mu di masa tua?" tanya Nathan saat ketidak sangkaannya pada pemikiran Lisa kali ini.     

Nathan merasa jika Lisa sudah tak terlalu bersemangat untuk melanjutkan hidup, penyerahannya pada dunia yang seakan tak pernah adil untuk memberinya kebahagian, apakah mungkin membuat wanita itu merasa lelah? Tak lagi ingin berusaha seperti semangat yang di tunjukkan awal, Lisa seperti sudah terlalu muak dengan hidup?     

Alasan yang terlontar pun kemudian merangkai, bukan hal mutlak saat raut wajah Lisa yang menjadi tak pasti.     

"Aku akan terus bersama mu, merepotkan mu dengan keponakan mu nantinya. Aku memang terlalu menumpu pada diri mu, dan ku harap kau tak keberatan. Jika pun tidak... aku tak tahu lagi harus bagaimana, Nath."     

Ya, sangat persis dengan ucapan yang terlontar penuh kepasrahan itu. Sungguh, Nathan tak menyukai tentang bagaimana wanita itu merendahkan hidupnya seolah bukan bagian yang penting dan berguna.     

Sampai setega hati Nathan nantinya, ia tak akan mungkin sanggup mengingkari janjinya pada wanita itu. Jika harus terus bersama, kenapa tidak? Toh, ia bisa memberikan pemahaman terlebih dahulu dengan calon pendampingnya nanti.     

Ya, hanya jangan sampai meninggalkan wanita itu dalam kesepian yang menyelimut keputusasaan, Nathan tak ingin kehilangan sosok kawan seperti halnya Lisa. Tidak sampai pada kejadian lalu yang bisa saja terulang.     

"Temani aku, aku mau pelukan dari mu, Nath..."     

"Maaf, Lis. Rencana tak terduga membuat janji ku harus batal. Tak bisa menemani mu seharian di hari libur ini, Cherlin menghubungi ku untuk rencana makan malam."     

Balas Nathan penuh dengan penyesalan, terlebih dengan Lisa yang sudah menyodorkan lengannya untuk meminta di balas kehadiran.     

Bangkit dari baringannya, dengan sedikit kepayahan saat perut besarnya yang mengganjal posisi duduk. Kedua lengan yang semakin terlihat ringkih, kemudian di jadikan sanggahan dari tubuhnya.     

Nathan yang baru keluar dari dalam kamar mandi, berganti sekalian dengan setelan rapi yang di kancing telaten.     

Pandangan keduanya lantas bertemu, lagi-lagi tentang kekecewaan yang jelas terlihat dominan di raut wajah milik Lisa. Meski pun dengan anggukan kepala dan juga bibirnya yang mengulas senyum begitu tipis.     

"Aku memahaminya, kau bisa pergi."     

"Lis..."     

"Kenapa sih, Nath... Aku baik-baik saja, kok! Ya, meski sedikit kebingungan saat aku nanti tak bisa tidur. Terlebih lagi, kemungkinan besarnya kau yang akan menginap di dengan adik Max itu, kan?"     

"Cherlin, jangan memperjelas siapa wanita itu sebenarnya," tegas Nathan dengan bola matanya yang memutar. Lisa yang cekikikan, cukup menggambarkan kelegaan wanita itu saat berhasil menyinggung perkara yang di katakan sensitif.     

Nathan yang sudah siap, tak ingin meladeni Lisa lebih lama lagi. Waktu sudah hampir menunjukkan jarum jam yang di janjikan. Lantas melambaikan tangan saat surainya sudah tertata rapi.     

Lisa pun memutuskan untuk kembali membaringkan tubuhnya saat sepi menyelam malam kesendiriannya. Meraba nakas, kemudian menghidupkan ponsel yang di belikan oleh Nathan.     

Membuka menu kamera, tiba-tiba saja wanita itu ingin mengabadikan potret dirinya.     

Beberapa kali memindah sudut pandang pada wajahnya yang menjadi sorot utama. Tak lupa untuk mengabadikan perutnya yang membesar dengan telapak tangannya yang memberikan usapan kasih sayang.     

Saat hiburan kecil yang di usahakan itu sedikit berhasil membuatnya lepas kesendirian, menggulir layar galeri yang berhasil membidik sekaligus untuk menambah koleksinya.     

Namun saat wanita itu sudah hampir tengelam dari swa fotonya kembali, ia malah di kejutkan dengan bunyi bel yang di tekan.     

Bangkit dengan susah payah kembali, menggeser tubuhnya hingga kakinya bergelantung di pinggir ranjang. Dahinya berkerut dalam, sangkaannya pada Nathan yang kembali pulang karena sesuai yang bisa saja tertinggal, membuat Lisa tak habis pikir, kenapa pula kawannya itu harus menekan bel?     

Menghilangkan rasa penasaran yang makin melingkup, menggerakkan telapak kakinya yang sedikit bengkak untuk berjibaku dengan dinginnya lantai keramik.     

Jarak yang begitu dekat, tak memakan waktu terlalu lama untuk sampai di depan pintu.     

Tak sampai membuatnya yang was-was dengan mengintip terlebih dahulu siapa yang ada di balik pintu. Tanpa pikir panjang langsung membukanya, membuat Lisa menyesal setelah mati, terlebih dengan sekujur tubuhnya yang berubah mematung saat sorot mata tajam menyasarnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.