Hold Me Tight ( boyslove)

Terbukanya topeng secara perlahan



Terbukanya topeng secara perlahan

0Lisa yang sudah kembali ceria setelah mencurahkan seluruh perasaannya kepada Nathan. Layaknya semakin dekat, tanpa sedikit pun batasan untuk jalinan persahabatan keduanya.     
0

Hanya setelah malam itu, Nathan malah semakin was-was terhadap kebohongan Lisa yang coba menutupi perasaan. Mimik wajah yang selalu tampil ceria dengan lagak tengilnya yang tak jarang menarik emosi, wanita itu hanya berusaha untuk tampil baik-baik saja, mungkin tak ingin menarik kekhawatiran lebih untuk Nathan.     

Masih tak ingin menanggalkan gelang tertinggal milik Ilham, bahkan Nathan yang berusaha membujuk dengan cara yang halus pun masih tak mempan. Wanita itu nampak sudah menjadikan hak miliknya secara pribadi. Sungguh, Nathan malah makin di buat penasaran dengan pria brengsek yang dengan teganya meninggalkan Lisa bersama dengan calon anaknya itu. Masih tak habis pikir dengan kelebihan yang dimiliki hingga membuat kawan wanitanya nampak sangat cinta mati. Sampai-sampai mampu untuk membayang replikasi kawannya dengan sosok serupa?     

Tentang Lisa yang menjadi pelipur sepinya, sejak awal pertemuan keduanya pun sebagai penguat masing-masing. Nathan tak ingin terlalu mengharapkan Max, nyatanya dengan segala pernyataan cinta dan bantuan finansial berlebih masih tak sedikit pun bisa menjamin pembenaran akan niatan pria berparas oriental itu. Alih-alih sebagai sepasang kekasih, walau sekedar menjadi rekan pemuas nafsu pun masih tak bisa menjadi prioritas utama. Hanya berhenti di tempat, tak akan ada kemajuan yang berarti untuk mereka sampai kapan pun, hanya semau yang berkuasa.     

Meski pun begitu, Nathan tak ingin memikirkan permasalahan tak penting itu terlalu dalam. Sejak awal kedekatannya dengan Max, memang hanya di anggap peralihan sementara. Ya, hanya dalam batasan seperti itu saja. Lagipula ia tak ingin meletakkan perasaan terlalu dalam pada seseorang, melihat Lisa sebagai bukti nyata atas kegilaan yang tertinggal.     

"Pagi-pagi sudah makan es krim, perut mu nanti sakit, Lis..."     

"Tadi malam kau tak melarang ku."     

"Bagaimana aku bisa melarang jika satu kotak es krim sudah kau habiskan?"     

Wanita itu hanya terkekeh, lantas di balaskan Nathan dengan surai panjang milik Lisa yang di acak supaya berantakan.     

Duduk di samping Lisa, kemudian merebut kotak es krim yang sudah tinggal setengah untuk di jauhkan pada jangkauan. Wanita hamil itu jelas saja memprotes, memberi pukulan bertubi-tubi hanya untuk permintaan sederhana itu.     

"Kembalikan! Aku sedang ngidam, Nath... Keponakan mu yang menginginkan itu..."     

"Aku memahaminya, tapi tak bisa di tolerir jika kau memakannya tanpa batasan. Kau belum sarapan, terlebih dengan asupan kebanyakan mu tadi malam. Bagaimana kalau nanti membuat perut mu sakit, lantas berpengaruh ke janin?"     

Tindakan pemberontak Lisa pun terhenti, tak ada satu kata pun yang terucap untuk menyanggah pembenaran atas tindakannya sendiri. Seketika saja memberenggut, menempelkan posisi bokongnya yang sedikit terangkat, yang kemudian menghempas kasar lengan milik Nathan yang menjadi penghalang.     

Nathan hanya memperhatikan setiap pergerakan detail dari wanita itu. Caranya yang nampak sangat kekanakan dengan alasan kemarahan sepele, kepalanya bahkan sampai di tumpukan secara penuh pada meja, menatapnya nyalang di balik kelopak matanya yang membengkak. Ya, jelas saja wanita itu melanjutkan tangisnya, bahkan setelah Nathan datang untuk memberi peringatan.     

Menghela napas panjang, pria itu lantas bangkit dari tempatnya dengan menyamankan sekaligus kotak es krim itu. Mengambil alih tugas memasak untuk hari ini, sekedar telur ceplok rasanya bukan tugas yang sulit.     

"Hei, kapan janji mu untuk memperkenalkan ku pada kawan-kawan mu? Terutama, pria pemilik gelang ini."     

Pertanyaan Lisa membuat Nathan memberi atensi lebih, pandanganya pada dua buah telur yang di genggam masing-masing telapaknya pun terganti sementara. Secepat itu untuk berubah ekspresi, wajah wanita itu sudah berganti keseluruhan dengan tarikan sudut bibirnya yang terlalu lebar.     

Memutar bola mata dan berniat mengabaikan, Nathan pun kemudian menyiapkan penggorengan di atas kompor dengan lengan yang menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. Ketidakyakinannya untuk memasak membuat Nathan khawatir jika nanti terjadi hal-hal yang tak di inginkan.     

Sebuah langkah yang semakin mendekat, di kira baik untuk mengambil alih tugas semestinya. Namun yang ada malah Nathan merasakan pelukan erat di belakang tubuhnya. Tak perlu membalik badan untuk melihat, geleyar tawa yang sampai di rasakan pun menjadi kesimpulan pasti, Lisa yang tengah membujuk.     

"Tak sabar untuk bertemu dengannya, juga memastikan tentang kesempurnaan yang kau katakan tentangnya. Ngomong-ngomong, detail persisnya menjadi sangat mirip dengan ayah anak ku ini. Dia juga punya sebuah cafe."     

"Jangan menyamaratakan kemiripan itu terlalu jauh, malah membuat ku semakin yakin jika kau tengah mencari seorang pria yang semirip mungkin dengan pria brengsek yang kau gilai itu," balas Nathan yang kemudian memutar tubuh, memberi sedikit jarak untuk berhadapan dengan wanita itu. Belagak seperti seorang yang tengah memperingati dengan keras, lengannya bersendekap dengan satu alisnya terangkat.     

Lisa yang sudah terbaca niatannya pun lantas tersenyum kecil, sedikit gurat kesedihan pun tampil tersembunyi.     

Nathan pun lantas berusaha menenangkan, kedua tapak tangannya menakup rahang kecil wanita itu, sembari berkata,     

"Aku ingin membantu mu lepas dari masa lalu, hanya jika kau berusaha semaksimal mungkin untuk menghilangkan seseorang yang jelas masih sangat kau cintai. Aku tak rela jika kau sejahat itu untuk membungkus minat mu pada kawan ku dengan maksud yang berbeda,"     

.... Tak bisa memperkenalkan mu dalam waktu dekat, ponsel ku masih tertahan oleh sang penguasa yang memberikan kita berdua perlindungan. Tak tahu alamat pasti dari cafe miliknya, dan tak mungkin juga tiba-tiba datang ke kediamannya. Ku harap kau mau bersabar."     

"Aku akan menurut pada mu, aku juga akan bersabar sampai akhirnya waktu itu tiba."     

Cupp     

"Aku akan mandi, sesekali kau yang membuat sarapannya, Nath!"     

Nathan mengulas senyum tipis, pandangannya masih mengikuti gerak aktif wanita itu sampai tembok pembatas menjadi penghalang.     

Satu lengannya terangkat, merasakan basahan di pipinya saat Lisa dengan lancangnya memberi kecupan. Jika bukan karena status kawan dekatnya, mungkin Nathan akan di serang gejala berlebihan atas penolakannya untuk bersentuhan intim dengan seorang wanita.     

Nathan pun lantas menggelengkan kepala, tarikan dari kedua sudut bibirnya karena interaksi singkat yang di rasa sebagai sebuah hiburan pun seketika lenyap. Dua buah telur mentah yang menjadi objek awal saat tubuhnya kembali berbalik.     

Bohong jika perkiraan awalnya bisa menganggap semudah itu, nyatanya Nathan tak sedikit pun mengerti tentang lanjutan prosedur setelah minyak di tuangkan pada penggorengan dengan nyala api yang mendukung.     

Lantas menerka-nerka rasa gurih yang selalu di dapatkannya saat Nathan mengecap lauk sederhana itu. Asin, yang pasti garam adalah bumbu alaminya.     

"Ahh... Sial!" Nathan refleks mengumpat, minyak panas yang sampai menenggelamkan satu telurnya itu terpetik dan mengenai kulitnya. Belum lagi dengan kebingungan yang di dapati saat setengah bagian cangkang ikut tenggelam ke dalamnya.     

Hampir bertindak bodoh dengan pertunjukan debus melawan cairan panas, Nathan pun buru-buru mengecilkan api dan sesegera mungkin mengambil alat yang menjadi senjata Lisa saat berada di dapur.     

Berusaha menyungkil bagian cangkang yang menggenang di atas minyak yang di tuangkan. Tanpa sedikit pun memiliki bekal kepintaran, cairan panas yang ikut serta terangkat saat spatulanya berhasil mengarah sasaran, malah makin memperparah dengan asal-asalnya membuang. Akibatnya mengenai bagian dadanya, terlalu cepat meresap sampai mengenai kulitnya secara langsung.     

"Ishhh... Brengsek!"     

Tak mempedulikan lagi telurnya yang sudah hampir hangus secara keseluruhan, Nathan lebih memilih untuk meredakan rasa perih pada bagian yang terkena minyak panas cukup banyak.     

Ting Tongg     

Saat Nathan yang telah melepas pakaian dengan tubuhnya yang di basahi air keran, seketika saja terintrupsi dengan suara bel pintu yang di tekan.     

Tak ingin sibuk menerka, Nathan kembali mengenakan kaos tipis nya sembari melangkahkan kaki dengan cepat ke arah pintu.     

Pintu yang lekas di buka, seseorang yang tak di sangka menjadi tamu pun membuat dahi miliknya tertekuk dalam. Namun selebihnya dari itu, di rasa sangat canggung. Terlebih saat senyum anggun di arahkan kepadanya.     

"Aku mencium bau hangus, apa kau sedang memasak?"     

Pertanyaan singkat itu membuat Nathan tepok jidat. Bertindak tak sopan dengan meninggalkan begitu saja wanita itu di ambang pintu.     

"Bodoh. Kau sangat bodoh, Nath!" oloknya sendiri saat asap sudah membumbung di seluruh ruangan. Telur percobaannya sudah tak bisa lagi di selamatkan, keseluruhan warnanya sudah hitam.     

"Oh... Ini buruk sekali, nak... Apakah Max tak pernah mengajari mu untuk memasak? Terlebih dengan kesibukannya yang mengurusi Lea, sebagai kawan yang baik, harusnya dia juga turut menyewakan seorang pelayan untuk mu, kan?"     

Deg     

Jantung milik Nathan pun lantas terhenti, meninggalkan satu hantaman keras yang sampai terasa menyakiti bagian terdalamnya. Bukan karena wanita paruh baya itu yang seolah mengabsen kesalahan dengan bantuannya untuk mengatasi. Namun sela nama sensitif yang terdengar, membuatnya seketika tak fokus.     

Max bersama dengan Lea, harusnya bukan hal yang mengejutkan untuknya. Nathan bahkan terlebih dahulu sudah menerka, lantas apa yang menjadi permasalahannya untuk saat ini?     

Tiba-tiba saja raut wajahnya menjadi sangat datar, rahangnya mengetat dengan sekujur tubuh dalamnya yang terasa terbakar. Rasanya jauh lebih perih dari cairan panas yang mengenai kulitnya.     

Tak ingin menyangka hal yang terlalu di luar kendali, lagi pula Nathan pun tak ingin percaya dengan sesuatu yang membisik lirih di sudut terkecil hatinya. Ia tak mungkin mencemburui Max yang lekat dengan sang tunangan. Sungguh, bukankah menjadi hal baik saat peralihan minat pria itu terjadi? Ia akan lekas bebas, bukankah itu yang di harapkan sejak awal?     

Tapi kenapa makin banyak penolakan yang di rasakan? Kenapa dengan perasaan bimbang yang tiba-tiba saja hadir? Terlebih yang tak di harapkannya, kenapa dengan Nathan malah menumbuhkan obsesi atas kepemilikannya? Apakah ia sudah mulai ada perasaan kepada Max? Apakah tipuan pria itu yang bertubi-tubi membuatnya tanpa sadar merasa terlena dan melemah? Tak ada sedikit pun pengendalian diri, apa mungkin pria berparas oriental itu sanggup merobohkan tembok tinggi yang di bangunnya sejak awal?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.