Hold Me Tight ( boyslove)

Keputusan mutlak dari orangtua



Keputusan mutlak dari orangtua

Lengannya tiba-tiba saja terkepal, gurat otot di dahinya pun sejalan timbul. Berusaha untuk mengembalikan akal sehat, terlebih dengan kesadarannya yang di tarik paksa oleh keadaan. Sebuah lengan mengusap dadanya.     

"Ini bukan karena terkena minyak panas, kan?"     

"Ah, tidak... Terkena air saja."     

"Syukurlah kalau seperti itu. Kau baru ingin sarapan di jam hampir masuk makan siang ini? Mau tante masakkan saja?"     

"Tidak, terimakasih."     

"Baiklah kalau begitu, kau ada waktu sebentar? Aku ingin mengobrol santai dengan mu, nak."     

Nathan pun mengangguk canggung, masih mengamati wanita paruh baya itu yang berjalan anggun menuju bagian ruang tamu. Jangkunnya tiba-tiba saja naik turun dengan kedua lengannya yang berusaha membenarkan surainya yang berantakan.     

Sama sekali belum masuk ke kamar mandi, prasangka takut akan segala kemungkinan pun makin di perparah dengan perkara yang tergolong sepele, napasnya pasti sangat busuk.     

"Kenapa duduknya jauh sekali?"     

"Ehmm... Sebenarnya saya ingin izin sebentar untuk ke kamar mandi."     

"Hhaha... Di maklumi karena kau seorang pria. Silahkan saja, aku akan menunggu mu."     

Secepat kilat, Nathan kembali bangkit dari tempat duduknya dan lekas mengarahkan tujuannya pada ruangan milik Lisa. Ya, untung saja wanita itu masih sibuk di dalam kamarnya. Sungguh, ia tak bisa membayangkan jika wanita paruh baya itu melihat seorang wanita hamil yang ada di lingkup pribadi bersama dengannya.     

Duar     

"Bisakah kau tak menutup pintunya dengan berlebihan?"     

"Stts...!" Nathan seketika memperingati Lisa dengan kode paksaan supaya bungkam.     

"Ada apa dengan mu, seperti ada hal genting yang sedang kau lalui saja."     

"Memang, dan kali ini sangat gawat dan tak bisa ku duga sebelumnya. Tante Nina datang kemari."     

Bisik Nathan dengan usaha untuk mempertegas setiap kata. Sembari itu, langkahnya menyasar ke dalam kamar mandi, mempersingkat waktu dengan lekas menggosok giginya cepat.     

"Tante Nina itu siapa? Ishh... Nath! Itu sikat gigi milik ku!"     

"Sudah terlanjur." balas Nathan dengan suaranya yang kurang jelas, masih dengan busa tipis dan juga sikat gigi yang di tugaskan sebagai pembersih.     

"Jangan keluar dulu sampai aku mengizinkan mu," lanjut Nathan setelah selesai berkumur. Menggeser pelan Lisa yang berdiri di ambang pintu masuk. Pria itu menjelajah lemari pakaian yang di rasa masih menyimpan sebagian miliknya.     

Lisa masih terus mengamati setiap gerak serampangan dari kawannya itu. Lengannya sampai bersendekap, sedangkan telunjuk kanannya mengetuk-ngetuk dagu dengan kepala meneleng.     

"Berikan alasan untuk ku bisa waspada, siapa tante Nina yang kau maksud?" tanya Lisa yang dengan tanggap menghentikan pergerakan Nathan yang melewatinya itu.     

"Mamanya Max, ku harap kau sedikit bisa mengontrol diri dengan tetap berada di dalam ruangan ini."     

Nathan meninggalkan pesan pada Lisa masih tercekat dengan informasi dari pria itu. Dari pada kekhawatiran macam-macam yang di tampilkan jelas melalui ekspresi wajah Nathan, kenapa di lain sisi malah Lisa merasa gemas? Pertemuan antara calon mantu dan mertua, eh?     

"Maaf tante, sudah menunggu terlalu lama. Apakah saya harus menghidangkan secangkir teh?" tawar Nathan yang sedikit tak yakin dengan kemampuan minusnya saat berhubungan dengan dapur itu.     

Masih berdiri canggung dengan lengannya yang tak bisa mencegah untuk lebih mempermalukan diri, mengusap tengkuknya dengan tampang yang sangat bodoh.     

Namun untuk saja wanita yang sangat anggun itu memahami, menggelengkan kepala dengan senyum terulas sebagai jawaban. Nathan pun di tarik mendekat, duduk di sisi Nina yang menatapnya dengan sangat teduh.     

Hanya sedikit, perasaan ingin memiliki seorang ibu seperti milik Max sempat terpikir. Caranya memberikan hawa teduh dengan sentuhan keibuan yang tak pernah di dapatkannya selama ini.     

Bahkan seperti sanggup menghilangkan seluruh kekhawatiran berlebihnya sampai detik lalu. Sudah tak ragu lagi untuk memberikan balas senyum yang di dapatkan. Hingga topik awal yang di perdengarkan, mampu menghempasnya jatuh menjadi berkeping-keping. Rautnya membeku seketika, lengkap dengan sorot matanya yang seperti memberikan pertahanan diri untuk tak bisa begitu saja di bujuk. Perlahan, lengannya yang tertangkup pada genggaman hangat wanita itu di lepaskan.     

"Mama yang meminta tolong untuk tante bisa datang dan membujuk saya kembali?"     

"Oh... Harusnya aku tak mengatakan intinya secara langsung, aku sungguh sangat menyayangkan perubahan raut mu yang menjadi sedih ini, nak..."     

"Tidak-tidak... Saya memang orang yang tak suka untuk mengulur waktu dengan kata pembukaan akrab yang mendahului."     

Nathan menolak dengan halus saat Nina berusaha untuk kembali merangkul dengan. Ia sudah cukup kecewa, rasanya segala urusan pribadinya terlalu di umbar pada banyak pihak tanpa seizinnya. Yang menjadi dalang, jelas saja wanita paruh baya lain yang dengan tak ada kebanggaan sedikit pun untuk memanggil gelar gelar kehormatan seorang ibu.     

"Tante mengetahui permasalahannya? Tentang saya yang terkesan bersikap kenakan dan memilih pergi?"     

"Cukup ku mengerti, aku berada dalam posisi pertengahan antara perseteruan mu dengan kawan ku."     

"Tante tahu jika saya seorang gay?"     

"Sampai pada pengakuan anak ku pada mu sekali pun."     

Cukup sudah, pertahanan Nathan seketika saja runtuh. Tak lagi ada sisa kekuatan untuk sekedar melanjutkan perbincangan. Sekujur tubuhnya menjadi sangat lemah, netranya memanas dengan desakan air mata yang ingin melengkapi kesedihannya.     

Bukankah mamanya sudah terlalu bertindak di luar batas? Setelah mengobrak-abrik habis seluruh kehidupannya, kali ini semakin parah dengan tanpa keraguan sedikit pun menyebarkan kabar beritanya?     

Layaknya melempari kotoran dengan memanggil massa lebih banyak, agaknya memang seantusias itu untuk menghancurkannya.     

"Lantas anda ingin menghakimi saya juga? Atau merasa was-was dengan citra anak anda yang dekat dengan seorang gay seperti saya? Bahkan anda yang sampai repot-repot untuk menemui saya sepagi ini, ingin mengintrogasi tentang seberapa jauh saya memberikan pengaruh buruk kepada Max?"     

"Tidak... Bukan begitu, nak..."     

"Lantas? Sungguh, tak ada sedikit pun prasangka baik saya saat ini pada siapa pun. Semua orang pasti mengatakan hal bohong kepada saya. Bahkan anak anda yang sebelumnya mengatakan cinta, itu hanya sebuah lelucon yang berusaha mempermainkan saya saja. Anda patut bersyukur tentang kenyataan itu, putra anda tak akan mengambil jalan yang salah seperti orientasi seksual saya."     

Nathan meluapkan seluruh isi hatinya yang mengganjal. Rasanya sangat perih hingga tak bisa lagi menahan diri untuk berusaha tampil baik-baik saja. Air matanya lantas luruh tanpa pertahanan lagi, menarik belas kasihan Nina untuk memberikan pelukan keibuannya, berusaha menenangkan.     

"Masih tak bisa untuk kembali padanya. Sungguh, saya merasa makin berjarak dengan tak ada satu jalan pun untuk mengikisnya. Dia sudah tak menerima saya, hal inti yang sejak dahulu memang menjadi ketakutan tersendiri untuk saya."     

"Aku memahami, dan tak menutup kemungkinan juga tentang keberpihakan ku kepada mama mu."     

"Lantas? Dua hal bertentangan itu tak bisa di ambil titik tengahnya. Sungguh, saya tak ingin melibatkan kebencian tak berdasar kuat pada anda. Cukup di ketahui hal intinya saja, saya akan lekas pergi dari tempat ini, dan menjauhi Max."     

Nina nampak tak setuju dengan jalan penyelesaian secara gegabah seperti itu. Takupan lengannya semakin menegas dengan sorot mata yang mengambil intens balasan.     

"Aku tahu jika orientasi mu memang berbeda, kau yang tak bisa merasakan ketertarikan pada wanita. Tapi pernahkah kau berpikir tentang kemustahilan yang menjadi penentu untuk keberlangsungan ikatan itu sampai akhir hayat? Apa poin pentingnya dalam percintaan mu yang tak membuahkan sedikit pun?"     

.... Mama mu bukan berada di pihak pembenci, bahkan aku pun begitu. Kami hanya terlalu takut untuk melihat penyesalan terbesar mu nantinya. Bukan pada hujatan orang asing, namun saat petulangan mu untuk menjelajah terlalu jauh itu sudah sangat terasa membosankan, cara mu kembali tak akan semudah yang kau bayangkan. Label diri mu yang sejak awal sudah mempersulit."     

"Poin pentingnya, anda tetap mendesak saya untuk lepas dari jati diri, kan?"     

"Aku tak ingin berdebat tentang keputusan hidup orang lain, hanya sekedar saran."     

Nathan pun berdecih, pandangannya terlempar jauh, menghindar dari wanita yang salah di terkanya.     

Semua orang pada dasarnya menjadi pihak lawan, seakan-akan hidup yang di pilihnya adalah sebuah kesalahan fatal.     

Nina pun menghela napas panjang, bukan maksudnya untuk menyakiti pria manis itu dengan kata-katanya. Namun memang tak bisa di pungkiri, selain karena pengaruh dari ucapan kawannya itu, ketakutan pada goyahnya pendirian sang anak menjadi alasan utama.     

Mengusap lembut lengan milik Nathan, sedikit tak tega melihat raut frustasi pemuda itu. Namun pilihan tegas memang harus di hadapkan sejak awal, sebelum semuanya menjadi semakin jauh.     

"Max akan menikahi Lea dalam waktu dekat. Lalu... Kau mengetahui ketertarikan anak gadis ku pada mu, kan? Kau bisa menjalin kedekatan dengannya dulu, aku tahu jika kau adalah anak yang baik, nak."     

Netra sembab milik Nathan lantas membola, pemberitaan besar yang menyangkut pernikahan Max lantas di garis bawahi dengan tinta berwarna merah.     

Jadi karena itu Max meninggalkannya tanpa kejelasan? Di sibukkan dengan hari bahagia yang segera di sambutnya?     

Seks hebat seolah-olah pria itu sangat menggilainya di sekujur tubuh, jadi karena murni sebuah permainan saja?     

Tak bisa di sangka akan perasaan yang kali ini seakan menyayatnya. Sangat jelas, Nathan sangat kesakitan dengan tak bisa lagi kembali pada akal sehatnya. Usaha mati-matiannya untuk tak menganggap serius tentang kedekatan Max nyatanya runtuh pertahanan sejak awal.     

Sebelumnya, bahkan masih terus di tanggapi dengan penuh kepercayadirian jika Max yang masih akan tetap bertekuk lutut padanya. Namun kali ini sudah tak berlaku, pria itu mempermainkannya dengan cara se brutal mungkin. Dengan kuasanya menjadi seorang dominan, memberikan batasan yang mengekang yang seakan-akan menaruh obsesi kepemilikan, dan dengan mantra cinta yang tersematkan dalam setiap bisiknya, rupanya semua itu hanya pada garis permainan.     

Nathan masih tak memahami tentang betapa mudahnya orang lain menyakitinya. Tentang mamanya yang keras hati dan tiba-tiba saja mengatur, Max yang sangat brengsek, dan kali ini datangnya wanita paruh baya yang sejak awal di pikirnya memiliki peran baik.     

Seperti menukar sang anak gadis sebagai semacam hiburan penenang?Keinginan orang tua memang semudah itu, kan?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.