Hold Me Tight ( boyslove)

Jalan keputusan



Jalan keputusan

0"Nath! Apa yang terjadi dengan mu?"     
0

Nathan tak bisa menahan diri untuk tak menangis, sekepergian wanita paruh baya yang merangkai kata terlalu menyakitkan untuk di tangkap pendengarannya. Hatinya mendadak rapuh, tak ada sedikit pun cara untuknya bisa memberikan suntikan positif, anggapan keseluruhannya berubah semakin buruk.     

Tubuhnya meringkuk, menyembunyikan raut wajah menyedihkannya di atas tumpukan lengan. Sebuah pelukan di rasakannya, namun rasanya tak cukup mampu untuknya menggapai bantuan.     

Nathan menumpahkannya dalam satu waktu, permasalahan hidupnya yang tak pernah bisa berhenti pada konflik yang sama.     

Jujur saja, Nathan sangat lelah untuk memerankan diri sebagai seorang pria yang lemah. Semua orang layaknya di permudah untuk bisa menekannya lebih keras, menganggap sepele tentang keinginan dasarnya perihal penerimaan diri sesuai apa adanya. Hanya pada batasan itu, tapi kenapa semakin banyak orang yang mempermasalahkan tentang perbedaannya?     

"Nath... Apakah wanita yang datang tadi menjadi penyebab? Apakah dia menghina mu? Sungguh, sebelum dia melangkah semakin jauh, izinkan aku untuk memberinya pelajaran!"     

"Tidak perlu, tak ada gunanya, Lis!"     

Nathan menarik diri dari sisi kehancuran yang tengah di selaminya, secepat kilat menarik Lisa untuk kembali pada tempat terdekatnya. Ia lantas membalas pelukan erat wanita itu, saling memberikan penguatan seperti yang biasa mereka lakukan. Lisa ikut menangis, menyisihkan kerapuhannya untuk berganti sepenuhnya kepada posisi yang tengah di hadapi oleh kawannya itu saat ini. Lengan tulusnya lantas mengusap punggung Nathan untuk menenangkan, balasan yang di dapatkan adalah saat pelukan yang di rasakannya semakin mengencang.     

Ruangan besar yang sangat mewah itu pun seketika terbalut pilu, tak di sadari berapa lama kesedihan yang di luapkan. Namun yang pasti pandangan buram dan denyutan sakit luar biasa di dapatkannya setelah itu.     

Pelukan keduanya pun lantas terlepas, dengan kasar Nathan mengusap wajahnya yang banjir air mata. Lisa masih tetap menunggu dengan sabar atas penjelasan pria itu.     

"Jangan menertawakan ku, atau menganggap ini semacam balasan karena kemarin malam aku telah bermulut besar dengan rentetan nasihat ku pada mu."     

Lisa malah di buat terkekeh dengan cara Nathan keluar dari belas kasihan yang di tunjukkan padanya itu. Tak tahan untuk mengekspresikan kecemasannya yang berlebihan, cubitan di pipi di rasa cukup berimbang.     

"Aouch! Apa yang kau lakukan, Lis!"     

"Rasakan! Untung saja aku bisa sedikit mengontrol diri saat melihat mu menangis seperti tadi. Bagaimana kalau saking terkejutnya aku sampai bisa membuat bayi ku keluar sebelum waktunya? Memangnya kau mau tanggung jawab?"     

"Hussh! Bicara apa kau! Jangan membuat candaan semacam itu! Aku tak bisa membayangkan betapa lebih hancurnya aku ketika melihat kalian berdua kenapa-napa."     

Lelucon Lisa nyatanya malah di anggap terlalu serius oleh Nathan. Bahkan tak sekali pun bisa menghindar dari raut cemas yang di alihkan padanya. Terlebih dengan bagaimana kawan prianya itu mengusap lembut perutnya yang membuncit.     

"Jangan mengucapkan kalimat sembarangan, aku terlalu takut dengan segala kemungkinan yang bisa saja di restui oleh alam," peringat Nathan dengan sorot matanya yang nampak sangat serius.     

Lisa yang ada dalam tangkupan lengan Nathan pun mengangguk paham. Sorot matanya yang mengikuti polos, seakan tak bisa menutupi rasa haru.     

"Jangan tersenyum, aku tidak sedang membuat lelucon balasan untuk menghibur."     

"Aku tahu... Hanya saja, perasaan ku terselimut bahagia secara tiba-tiba. Kau nampak sangat menyayangi ku, dalam keadaan yang sama-sama menyedihkan. Aku sangat suka, dengan cara kita yang saling membutuhkan seperti ini."     

Lisa mengulas senyum lebar, bahkan sampai deret gigi putihnya nampak. Nathan pun membalasnya tipis, dengan telapak tangannya yang mengusap air mata wanita itu yang kembali lolos.     

Pagi menjelang siang itu mereka hanya diam pada posisi yang sama. Lisa menjatuhkan tubuhnya untuk bersandar penuh pada dada bidang milik Nathan. Perut kosong keduanya tak di rasa, terlalu malah untuk melepaskan kenyamanan yang terlanjur di dapatkan.     

"Pelarian yang menurut mu tepat selain rumah mu, dimana?"     

Pertanyaan tiba-tiba Nathan membuat Lisa tersentak, otomatis bangkit dari setengah baringannya dan menatap pria itu dengan dahi yang berkerut dalam. "Maksudnya?" pinta Lisa yang meminta penjelasan untuk bisa di mengerti. Bahkan posisi duduknya sudah di arahkan intens secara penuh kepada Nathan.     

"Kita tak mungkin lagi untuk tinggal di sini."     

"Sudah ku tebak, ini pasti menyangkut Max. Wanita paruh baya tadi tahu tentang hubungan kalian berdua?"     

"Tak ada hubungan antara aku dengannya sedari awal. Lis, bukankah sudah ku katakan sejak awal jika pria itu sudah memiliki tunangan? Ya, mereka akan lanjut ke jenjang selanjutnya."     

"Bangsat!"     

Tak bisa menahan diri atas pemberitahuan dari Nathan, wanita itu pun mengumpat kasar dengan kepalan tangannya yang meninju telapak satunya yang terbuka. Pupil matanya membesar dengan rahang yang di eratkan, replikasi kekesalannya pada Max di luapkan hanya sampai batasan itu.     

Nathan pun menyandarkan tubuh letihnya kembali ke punggung sofa. Namun masih tak bisa melupakan detail kecil perhatiannya pada wanita itu. "Sebagai tambahan, jangan berucap kasar lagi, aku tak mau calon keponakan ku nanti meniru keburukan itu."     

"Diam kau! Jangan dulu melebarkan topik bahasan saat inti permasalahan utama masih tak kunjung selesai," jeda Lisa dengan membungkam mulut Nathan.     

.... Sekarang jelaskan pada ku secara detail!" lanjut Lisa dengan nadanya yang jelas memerintah. Dagunya sampai di angkat dan secara bersamaan pula lengannya terlepas dari caranya membungkam pria itu.     

"Apakah masih kurang kau pahami tentang penjelasan ku sesaat tadi?"     

"Kau sudah membuat ku turut menangis dan merasakan kesedihan mu, setidaknya bayar aku dengan setimpal dengan cerita mu!"     

Nathan pun mendengus kesal, Nathan yang sampai menarik-narik lengannya untuk kembali membahas membuat pria itu sedikit jengkel.     

"Max akan menikahi tunangannya. Aku yang masih punya malu ini, di harapkan lekas pergi, kan?" ulang Nathan. Hatinya lantas kembali berdenyut saat mengulang sederet kalimat itu. Tak bisa di pungkiri, ia memang terlalu terlambat untuk membuat pertahanan diri, Max rupanya sudah menjadi penguasa di singgah sananya.     

Nathan pun menundukkan kepala dalam, menjadikan intens buku jarinya yang mencengkram terlalu kuat. Bibirnya mengulas senyum tipis, dengan caranya menertawai kehidupannya yang terkesan sangat konyol.     

"Mama Max malah berencana memasangkan ku dengan anak gadisnya. Menurut mu, apakah orang seperti ku mudah di permainkan? Menganggap kehadiran ku sebagai hal yang sangat sepele hingga tak seorang pun berniat baik untuk bertanya tentang keinginan ku,"     

.... Sungguh, Lis.... Sampai saat ini aku tak pernah sedikit pun berniat untuk serakah, menarik semua orang dan memaksa mereka untuk menerima ku bagaimana aku semestinya. Tapi kenapa malah mereka malah menganggap ku seperti makin sepele? Seolah pria gay akan melupakan dirinya yang asli dengan sodoran peralihan sementara. Apakah menurut mu adil untuk ku?"     

Lisa hanya bungkam, desakan untuk kembali menangis sudah sampai di pelupuk mata. Namun wanita itu masih mencoba untuk menahan diri sebisa mungkin, tak ingin menarik larut kesedihan pria itu lagi.     

Memang tak ada yang bisa di lakukannya, Lisa bukan orang yang punya hak untuk bersuara dan melawan orang-orang yang menyakiti Nathan. Yang bisa di lakukannya hanya sebatas satu langkah di belakang kawannya itu, memberikan bukti tulus persahabatannya.     

Mengisi sela jemari milik Nathan, mengabarkan jika dirinya masih ada sebagai sosok siaga meski pun seringkali bersikap menjengkelkan.     

"Aku jadi ikut membenci orang-orang itu, mereka jahat. Kau tahu, terkadang membalas mereka tak ada gunanya sama sekali, mereka yang seakan menang kuasa sejak awal hanya datang untuk memastikan jeratnya masih cukup kekang atau tidak dalam mengikat kita,"     

.... Tak ada gunanya untuk melarikan diri, mereka pasti menemukan cara untuk mengulang ritme yang sama untuk menenggelamkan mu."     

Balasan Lisa membuat Nathan berpikir keras, dahinya mengerti dalam dengan mengusahakan sela yang di maksudkan oleh wanita itu. Namun sedikit pun, ia tak memahami makna lain yang bisa saja terselubung.     

"Maksud mu, aku harus tetap di sini begitu? Bukankah akan semakin merendahkan harga diri ku di hadapan pria brengsek itu?"     

"Tempat bukan masalah, maksud ku... Kenapa kau tak coba saja ikuti permainan mereka?"     

Kepala Nathan seketika saja kembali berdenyut, saran yang di ucapkan wanita itu sungguh tak masuk di akal sehatnya sedikit pun.     

"Kau membuat ku bertambah pusing."     

"Ishhh... Nanti kau akan memahinya sendiri. Pikirkan jalan termustahil yang tak akan kau pilih sebelumnya. Barangkali, membawa mu pada titik setara pada garis laju mereka. Tak ada yang tak mungkin, Nath..."     

Bukankah cara bahagia ada banyak jalan? Pandangan yang terbuka dengan segala pilihan yang akan di tuju, bukankah itu hak masing-masing pribadi?     

Tak menyakiti orang, berbuat kriminal atau sekali pun menjadi menyebalkan dengan paksaan menarik orang lain. Semua di hadapi dengan kompromi diri dan putusan mutlak dari rangkuman perjalanan.     

Hal sensitif yang munculnya dari hati sekali pun, tak bisa menutup telinga tentang segala suara yang serentak datang dengan jubah penghakiman, disibakkan dengan gaya yang paling anggun layaknya bagian pembenaran. Beradu argumen dengan anggapan dirinyalah yang paling benar. Hanya bisa terpaku pada satu titik, pemikiran yang otomatis kaku dengan silang tanda merah yang mendahului muncul jika di rasa tak sesuai ketentuan.     

Hal yang dasar dan di miliki oleh siapa pun, sebuah perasaan yang begitu ajaib. Cinta, tak pernah bisa di terka akan hadir kedatangannya. Tak bisa memutuskan pula tentang jatuh momen yang akan mempertemukannya dengan seseorang. Sekali pun hal yang di anggapnya berbeda dari orang lain, pada satu jenis.     

Nathan gay, kenyataannya memang seperti itu, tak akan pernah bisa berubah walau sebagai mana pun ia memaksa.     

Menginjak usia remaja, bahkan ia yang sudah merasakan dirinya berbeda. Jelas saja khawatir dan merasakan ketakutan berlebih, karena Nathan mengetahui persis bagaimana sensitifnya manusia dalam menyaring perbedaan yang di rasa tak sepaham. Ia tak ingin di buang dan menjadi lebih menyedihkan tanpa teman.     

Memakai topeng untuk bisa menyamaratakan, belagak selayaknya remaja pria yang suka menjelajah kesenangan dengan bermain wanita. Walau tak sampai pada batasan terjauh menyangkut intim, Nathan benar-benar mengupayakan diri semaksimal mungkin selayaknya yang kawan-kawannya lakukan. Harapannya memang bisa seperti yang lain.     

Namun semakin lama malah menjadi semacam bumerang untuk dirinya sendiri, Nathan tak bahagia. Ia menipu dirinya sendiri dengan semakin banyak orang baru yang di rasa hanya menyukai pertunjukkannya saja.     

Memutuskan melanjutkan pendidikannya di luar negeri adalah salah satu jalan untuk bisa menarik napas sedikit lebih ringan. Meski memang berat untuk meninggalkan golongan kecilnya yang tulus.     

Sampai akhirnya sang kekasih pertama yang di anggapnya dengan sepenuh hati itu hadir. Membawa warna dengan bergandengan bersama untuk meniti momen mesra.     

Rian mampu membatunya keluar dari cangkang yang menyembunyikan jati dirinya, pria mungil itu bahkan mengajarinya tersenyum lepas dengan telapak tangannya yang coba menghadang lirikan sinis dari sekitar.     

Saat itu, Nathan menganggap dengan pasti jika rasa bahagia yang di milikinya adalah makna cinta yang sebenarnya di cari. Hanya pada fokus dua orang yang mengikat janji dan kesetiaan, tanpa kepedulian pada pihak lain.     

Sampai akhirnya, semua yang di rasakannya tak sewarna dahulu. Seketika seperti berubah menjadi kelabu bersamaan dengan silih bergantinya sosok yang mampu mengacau. Layaknya tak ada satu pun ujung yang sejak awal pilih. Lantas tak sekali pun bisa kembali pada alasan bahagianya seperti dahulu. Ia mendadak seperti orang yang linglung, sudah terlalu banyak pihak yang memberi tekanan atas dirinya, tentang perbedaannya.     

Harusnya lebih mudah untuk menyebut semua orang itu sebagai pembenci, memburam segala bentuk komunikasi atau sekedar balas pandang. Namun memang Nathan tak bisa sekuasa itu untuk berdiri di atas tumpuan kakinya sendiri. Ia masih tak bisa di anggap penting untuk pengambilan keputusan hidupnya secara pribadi. Memutuskan untuk menghilang, tak akan dengan bodohnya di lakukan untuk ke dua kali. Seperti halnya yang di katakan oleh Lisa, menyerah adalah jalan pengecut sekaligus bagian kesalahan yang di akui dengan sepenuhnya kesadaran. Lagipula jika ia akhirnya memutuskan pergi, disamaratakan dengan helai benalu yang tertiup angin, perumpamaan kejam wanita itu, Nathan masih tak berarti apa pun.     

Lisa selalu tepat mengambil peran, memberi masukan yang sekaligus mampu mengangkat keberadaannya. Kenapa tak di turuti saja perintah dari para tetua? Toh, masa depan tak ada yang menjamin. Lagipula tak ada yang di sayangkan dalam hal ini, Rian pergi dan pria berparas oriental itu akan segera menikahi sang pujaan hati sebenarnya, kan? Nathan bebas untuk melakukan apa pun, meski dengan jalan awalan sama yang mendorongnya secara paksa.     

Menyelam pada mati rasanya untuk sekejap, memanipulasi diri seperti yang dulu pernah di lakukannya. Dan presepsi wanita paruh baya itu mungkin memang bisa di benarkan dalam saat-saat seperti ini, tak ada kepastian tujuan yang di dapat dari hubungan sesama jenis.     

Hingga kali inilah yang di lakukan, mengemudikan sedan merahnya dengan tampilan rapi menuju sebuah kediaman mewah. Raut dinginnya di tampilkan tak ada seulas senyum pun yang di tampilkan. Langkahnya mengetuk pasti, berhenti tepat di depan sebuah pintu kayu besar. Menyakinkan diri tentang niatan awalnya yang menjadi bekal.     

Kriett     

"Kak Nathan?"     

Belum sempat ia mengetuk pintu, terlebih dahulu Nathan di kejutkan dengan suara yang memanggilnya dengan nada tinggi.     

Nathan pun mengangkat pandang, setelah tanpa sadar menyusur pandangan intens dari ujung kaki sampai bagian atas wanita itu. Seulas senyum tipis pun di balaskan pada sang tuan putri pemilik istana yang mengenakan setelah gaun super minim.     

Menjadi hal yang bisa di terka, saat wanita itu tanpa aba-aba melemparkan diri ke dalam pelukannya.     

Cherlin memeluknya dengan sangat erat, wajahnya di tenggelamkan seluruhnya pada dada bidang milik Nathan yang di balut kain kemeja licin. Hembusan napas serta tawa cekikan yang sampai mampu membuatnya merasa geli. Terlebih dengan helai rambut yang mengenai bagian kulit lehernya.     

"Apakah aku boleh masuk?" sela Nathan dengan berusaha sekuat mungkin untuk tak mendorong wanita itu dengan kejam. Lengannya yang mencekal bahu milik Cherlin pun masih tetap pada pertahanannya yang tak berlebihan.     

Cherlin yang di sadarkan pada kesan anggun pun lekas melepaskan diri. Tubuhnya bergerak-gerak canggung, walau masih sempatnya untuk menyibak helai rambutnya ke belakang telinga. Nathan tak menutup mata dengan cara wanita itu tersipu dan mengerling godaan.     

Hingga kecanggungan pun lantas di rasakan oleh Nathan. Caranya menelan saliva seperti mendadak sangat sulit karena sesuatu yang mengganjal. Pandangannya seketika tak fokus dengan sekelebat bayangan yang nyaris mirip dengan situasi saat ini. Namun sang tuan muda mustahil untuk datang dan menginstrupsi seperti waktu itu, kan? Max pasti masih ada dalam selimut intim dengan tunangannya.     

Nathan tersentak, sebuah telapak tangan terbuka dan melambai tepat di depan wajahnya menjadi alasan. Kelopak matanya yang otomatis berkedip pun mengantarkannya pada dunia nyata.     

"Tak ingin terlalu percaya diri dengan kedatangan mu pagi-pagi seperti ini. Kau tahu, Brother kan tak ada di sini."     

"Aku ada urusan dengan mu hanya jika kau tak merasa keberatan."     

"Apa?!"     

Balasan Nathan pun segera di sambut heboh oleh wanita itu, tubuhnya bahkan sampai berjingkrak mengekspresikan kesenangan. Tanpa menunggu sampai hitungan selanjutnya, ia merasakan lengannya di tarik untuk memasuki kediaman mewah itu, lagi.     

"Papa - Ibu... Lihat siapa pria tampan yang menemui ku pagi-pagi dengan setelah rapinya kali ini..."     

Pemberitahuan Cherlin yang bersuara toa langsung saja mendapatkan atensi dari sekitar. Seorang pria paruh baya yang duduk santai dengan koran terbuka pun seketika di lipat, hal yang sama dengan peninggalan kegiatan semula, seorang wanita keluar dari dapur dengan apron yang menjadi perlengkapan tempur.     

Nathan pun mengulas senyum seramah mungkin, tubuhnya sedikit membungkuk untuk memberikan penghormatan. "Selamat pagi, saya harap kehadiran saya tak mengganggu," sapanya dengan intens pandang yang tertuju pada satu objek. Seorang wanita paruh baya yang menginginkan semua ini terjadi. Dan Nathan sudah memenuhi niatan baik darinya. Namun raut awal yang di terkanya malah meleset, alih-alih mendapatkan balasan bahagian, kenapa wanita paruh baya itu nampak menegak.     

Ah, ya! Kenapa Nathan tak berpikir cerdas secara cepat layaknya Lisa? Bahkan membutuhkan waktu beberapa hari untuknya sampai pada keyakinan yang di pijaknya kali ini.     

Seorang ibu yang mengetahui orientasi seksual yang berbeda sepertinya, tak akan mungkin tega untuk mengorbankan sang anak kesayangan menjadi bahan percobaan, kan?     

Sungguh, tiba-tiba saja Nathan menjadi sangat bersemangat untuk rencananya kali ini. Berpura-pura pasrah, jalan terbaiknya memang menunjukkan dirinya secara sebenarnya pada semua orang, kan? Sampai membuat jengah, dan akhirnya menyerah untuk mengatur kehidupannya lagi. Sedikit berperan licik tak masalah, kan?     

"Hei, putra sulung dari sahabat karib ku, kemarilah!"     

Masih mengulas senyum di wajahnya, meski penyambutan yang di berikan oleh pria paruh baya itu sedikit kurang tepat. Putra sulung?     

"Senang bertemu dengan anda."     

"Oh, ayolah... Jangan canggung, kau harus tahu jika kau di terima dengan tangan terbuka sebagai anggota keluarga di sini."     

Jonathan, nama papa Max jika tak salah di terka oleh Nathan. Beliau sangat ramah, bangkit dari bangkunya dan memberikan pelukan hangat padanya. Nathan pun membalasnya dengan balas akrab, sampai agaknya di salah artikan terlalu cepat oleh Cherlin.     

Wanita yang beberapa tahun di bawahnya itu sampai tak sungkan untuk menggandeng lengannya walau dalam posisi duduk mereka yang berdekatan.     

Sang tuan rumah mengajaknya bergabung di meja makan, Jonathan  yang menyambutnya sangat baik meski tak sepemikiran dengan sang nyonya. Nina terus menatap Nathan dengan intens.     

"Ekhem! Sebenarnya aku adalah ibu yang sangat posesif pada anak-anaknya. Sebelum melepas putri ku untuk di antar ke kampus oleh mu, bagaimana kalau kau sedikit menerima wejangan dari ku, nak Nathan?"     

Sela Nina di saat yang lainnya tengah sibuk mengakrabkan diri. Nathan yang di maksud pun tak pelak mengangkat satu alis untuk mempertanyakan, sedangkan lain halnya dengan Cherlin dan Jonathan yang kompak memprotes.     

"Bu... Sarapan nak Nathan belum habis, tunggulah sebentar."     

"Iya, Bu.... Lagi pula kenapa saat di hari pertama kak Nathan datang, sih? Bagaimana kalau inisiatif yang di lakukannya saat ini, membuatnya trauma hanya karena ucapan ibu yang berlebihan seperti kawan pria ku yang lain? Ekhem! Lagipula, masih belum begitu jelas tentang maksud kedatangannya kemari, kan?" ucap Cherlin dengan memelankan bagian akhir kalimatnya karena malu. Namun nyatanya hal itu tak sejalan dengan gelagat tubuhnya yang makin merapat kepada Nathan.     

Pria itu pun meletakkan peralatan makannya, lantas menyanggupi. "Saya sudah kenyang, jika tante ingin mengajak saja mengobrol tak masalah."     

Nathan pun melepaskan cekalan tangan Cherlin dengan perlahan, membalas senyum Jonathan, lantas mengikuti wanita paruh baya yang masih sangat anggun.     

Pintu samping rumah yang kemudian di geser, menampilkan pemandangan segar dengan rerumputan hijau dan juga air mancur yang di isi ikan hias, Sangat mirip dengan rumahnya. Ah tidak, lebih tepatnya lebih mirip dengan rumah mamanya.     

"Kau setuju untuk mencoba menjalin kedekatan dengan anak ku? Ah, maksud ku Cherlin?" tanya Nina tanpa perlu basa-basi.     

Nathan pun memberi balasan senyum yang sama untuk wanita itu, lantas memberi anggukan tak yakin sebagai balasan.     

"Ya...? Karena kata-kata tante memang benar, mungkin?"     

Balasan Nathan membuat Nina mengalihkan hadap sepenuhnya pada Nathan. Hal tak terduga pun terjadi, saat wanita paruh baya itu tiba-tiba saja memeluknya dengan sangat erat.     

Sontak saja membuat Nathan mematung, sama sekali tak bisa menerka maksud dari wanita paruh baya itu.     

"Senang dengan keputusan mu, memang sejak awal aku dan mama mu memang berencana menjodohkan kalian berdua."     

Sungguh, Nathan tak mengerti maksud ekspresi yang di tampilkan ramah oleh wanita yang menakup rahangnya itu. Yang bisa di tangkap hanya niat perjodohan yang sudah di pahami, lantas? Apakah sedikit pun tak ada perdebatan untuk memberikannya peringatan terlebih dahulu? Demi apa pun, Nathan sudah merancang rencana yang tak baik semenit lalu.     

"Saya ay."     

"Ya, aku tahu."     

"Saya jelas tak bisa membalas perasaan anak anda."     

"Ku tegaskan, bukan dalam jangka waktu dekat. Iya, kan?"     

Nathan pun tanpa sadar mengeratkan rahang, pandangannya masih terus berusaha untuk menerka maksud lain dari wanita itu.     

"Saya tak bisa berubah, saya hanya tertarik dengan seorang pria."     

"Namun anak gadis mu sudah menaruh hati pada mu. Kau adalah calon yang paling tepat dari pada yang lainnya. Percayalah, perjodohan tak terlalu buruk."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.