Hold Me Tight ( boyslove)

Untuk tetap bersama



Untuk tetap bersama

0Sudah masuk ke dalam jebakan yang di sediakan, tak ada cara untuk bisa kembali pada titik pijakan awal, kan? Hanya bisa mengusahakan diri dan bertahan di tengah situasi yang menyelamnya, jika tak ingin hancur dengan kondisi di permalukan.     
0

Hal itulah yang saat ini masih coba untuk di biasakan oleh Nathan, menjalani kehidupan yang terjadwal dadakan meski tanpa sedikit pun keinginan hati. Menempati posisi yang di sediakan khusus untuknya, walau alabi demi kebaikan masih tak di pahami, nyatanya tak ada satu sudut pun yang di rasanya menguntungkan.     

Dekat dengan lingkungan asli, mengacu pada segala. Wanita yang di rekomendasikan spesial untuknya, bahkan bisa jadi akan serupa dengan kebersamaanya pada seseorang yang keukeh sedari awal untuk menghilangkan jadi dirinya? Ya, sekalian tanggung, kan?     

Nathan membawa Lisa pergi dari apartemen mewah milik Max, masih keukeh mempertahankan hubungan baik keduanya. Di rasanya, hanya wanita itu yang mampu untuk memahami perasaannya, menjadi penghibur, sekaligus tempatnya mencurahkan seluruh kesah dan perhatian.     

Tak membawa satu pun barang pemberian pria brengsek itu, ia bahkan pergi dengan pakaian yang dikenakannya ketika datang, milik mendiang papa Lisa. Mereka pergi pagi-pagi sekali, berkutat dengan jalanan ramai.     

Lisa yang ada di bangku penumpang pun terus mengamati kawannya yang tak henti menghela napas berat, rautnya yang bahkan nampak sangat tegang, dengan satu lengan terlepas dari kemudi untuk memijat pelipis.     

Wanita itu pun tak berniat untuk mendesak pertanyaan, mengalihkan perhatian dengan pemandangan jalan, roti lapis pun masih terus mengisi perutnya yang selalu terasa keroncongan.     

Lama waktu berjalan, sunyi keduanya pun lantas di isi dengan suara musik yang di putar lirih. Kotak bekal yang dipangku Lisa sudah tandas tak bersisa. Matahari yang mulanya setengah malu untuk menampakkan diri, kali ini bahkan sudah menerangi secara keseluruhan.     

Wanita itu pun sampai menguap beberapa kali, dorongan untuk tertidur kembali sangat kuat.     

"Ku rasa, sedari tadi kita terus berputar di sekitaran sini, memangnya kita akan pergi kemana?" tanya Lisa yang nampaknya sudah benar-benar tak tahan di dalam mobil, bokong miliknya bahkan sudah sangat keram. Perutnya yang menggembung jelas membuat pergerakannya terbatas.     

Nathan yang masih memutar otak pun lantas terdesak oleh waktu yang di ingatkan. Pandangannya kemudian menoleh singkat pada wanita yang menggenggam lengannya itu.     

"Sejujurnya aku masih berpikir, menurut mu.... Apa tidak memalukan jika aku ke rumah papa ku hanya untuk meminta sedikit uang?" balas Nathan dengan menimpal balik pertanyaan. Suaranya begitu lirih, gagasan yang di kemukakan pada kawannya itu bahkan sudah sangat membuatnya malu.     

Lisa yang terdiam, otomatis membuat Nathan rendah diri dengan penghakiman wanita itu secara tak langsung. Lirikan intens dengan alis yang bertaut pun menjadi semakin jelas. Membela diri pun menjadi pilihan. "Tak ada pilihan, lagipula tak mungkin untuk ku mencari pekerjaan dalam waktu singkat, kan? Uang yang di dapat juga tak mungkin langsung cukup untuk menyewa sebuah hunian."     

"Hufh... Tak mengerti kenapa kau selalu saja mengambil jalan rumit. Nath, kita bisa tinggal di rumah ku seperti awal. Apa karena kau masih tak biasa untuk hidup di lingkungan sederhana ku? Jika itu kendalanya, mudah saja mengambil solusi, kita berpisah, aku akan kembali pada tempat ku seharusnya dan begitu pun juga dengan diri mu," balas Lisa dengan kesan entengnya, bahunya sampai terangkat acuh, pandangannya yang singkat tertuju pada Nathan pun menatap tak gentar.     

Lain halnya dengan tanggapan sang pria, Nathan yang sejak awal mempertahankan hubungan persahabatan mereka pun merasa tak di anggap.     

Berhenti di area taman, Nathan pun praktis menarik sabuk pengamannya dan keluar dari dalam kendaraan. Mendudukkan diri di kap mobil, namun setelah Lisa datang menghampiri, ia mengandeng jemari kurus milik wanita itu. Sedikit mencari udara segar sekaligus melemaskan otot gerak.     

Pemandangan hijau dengan angin sejuk yang di nikmati. Duduk di bawah pohon rindang dengan merasakan kedamaian sejenak dengan desir dedaunan yang mengikuti arah hembusan. Masih sangat sedikit orang, membuat Nathan tak ragu untuk menampilkan sisi kelemahannya. Menyandarkan kepala di bahu Lisa, menjadi semakin dekat dengan lengannya yang menggenggam erat milik wanita itu.     

Lisa yang di hadapkan dengan sifat manja Nathan pun tak bisa menahan diri untuk terkekeh. Memberi godaan dengan bahu di tumpu bebannya, digidikkan berkali-kali sembari berucap, "Rasanya aku sudah merasakan jadi seorang ibu. Lihatlah... Bayi besar ku tengah manja..."     

"Jangan sembarangan," timpal Nathan dengan ketus. Tak lagi nyaman di rasakan, Lisa sudah benar-benar menertawai tingkahnya. Praktis, ia menarik batas terjauh dengan raut wajah yang terkesan datar, lengannya yang bersendekap dengan satu kaki bertumpu satu.     

Lisa yang menusuk-nusukkan jari telunjuknya ke bagian pipi Nathan pun perlahan menghentikan balas kekanakannya. Raut yang jahil demikian musnah. Selebihnya, mimik wajah murung menjadi dominasi dengan hembusan napas berat.     

Keduanya pun lantas berpandangan intens, menarik sudut bibir dengan cara penyampaian yang tak biasa. Ya, bukan tentang ironi atau bahagia secara keseluruhan. Kebersamaan yang saling di tunjukkan nyatanya lebih seperti pengingat hubungan erat keduanya.     

"Aku hanya memiliki mu, belagak saja untuk mengatakan hal itu sesaat tadi."     

"Aku pun demikian, tak ada satu orang pun yang bisa mengerti perasaan ku sedalam diri mu."     

Selalu dengan balas ucapan yang terdengar sengau, rangkaian kata yang tak ubahnya selalu terlontar sesuka hati tanpa memikirkan sakit yang bisa di rasakan oleh yang di tuju. Nyatanya hanya dengan keterbukaan keduanya dalam menyampaikan perasaan selalu berhasil mengembalikan titik kembali. Nathan dan Lisa yang saling memahami.     

"Jadi, kita tinggal dimana untuk sementara?"     

"Entahlah, ku rasa akan sangat memalukan jika aku kembali ke papa ku hanya untuk meminta."     

"Ah, aku punya ide! Sembari berpikir tentang langkah selanjutnya, bagaimana kalau kita kembali ke apartemen milik Max. Aku yakin... Dia masih belum kembali. Kita belagak tak tahu apa-apa saja, jalani peran seperti biasa. Lagi pula, kau tak menyukainya, kan?"     

Nathan bungkam, tak sedikit pun berminat untuk merangkai kata pada desakan pengakuan Lisa secara langsung itu. Pandangannya melayang jauh, praktis saja membuat Lisa tak enak hati.     

"Ehmm... Lupakan kalimat akhir ku tadi."     

Nathan pun mengangguk paham, namun rupanya sedikit pun tak menyasar solusi, kepalanya bertambah berdenyut karena itu.     

"Sebenarnya akan lebih mudah untuk kita kembali ke rumah ku."     

"Dan menjemput kemungkinan tentang pria brengsek itu untuk mempengaruhi mu lagi? Demi apa pun, bahkan kau sudah di gerakkan dengan suka rela ke hotel waktu itu. Bagaimana kalau waktu itu aku tak datang? Kau yang masih menyimpan harapan untuk pria itu pasti akan kembali terlena. Sama halnya pembahasan tentang ku, orang jahat pasti kembali hanya untuk memastikan pengaruhnya, dia pasti akan menyakiti mu kembali, Lis."     

Lisa pun memutar bola mata saat Nathan mengalih posisi sebagai penasehat dengan nada suara yang menggebu-gebu.     

"Ya, kau sudah sangat pandai untuk berucap panjang lebar. Hanya kali ini, dengarkan aku! Aku punya solusi lain tanpa harus membuat mu lebih banyak kehilangan harga diri di hadapan mereka. Hanya jika kau mau menurut dengan ku."     

"Apa yang kau rencanakan?"     

Kembali melalui perjalanan dengan arah petunjuk yang di pandu oleh Lisa. Memakan waktu sedikit lama, bahkan rasa panas matahari semakin kuat menyengat, benteng kendaraan yang melindungi rasanya tak begitu berpengaruh.     

Di depan sebuah rumah yang sangat asing, Nathan di tinggalkan sendiri oleh Lisa yang menamu. Sampai pada dahaga yang mendesak cairan untuk segera menyegarkan kerongkongannya yang kering, jauh lebih mengesalkan lagi saat sekembaliannya wanita itu dengan raut wajah sumringah.     

"Kau tak masalah dengan kediaman kecil?"     

Pertanyaan Lisa yang tak sekali pun menutup rasa penasaran dari Nathan, dahinya sampai berkerut dengan meneliti detail raut wajah wanita itu, bagian kecil apa yang kiranya membuat Lisa senang dalam kesulitan ini?     

"Ku harap kau tak mempermasalahkannya karena kita perlu menghemat uang."     

"Jangan membuat ku bertambah bingung."     

Balasan Nathan hanya di timpal Lisa dengan raut penuh teka-teki. Mobil kembali dilajukan, masih menurut yang di katakan oleh wanita itu. Deretan pemukiman kecil yang kali ini di kenal. Layaknya penyambutan awal yang di rasakan, kesan heboh dari beberapa anak kecil yang mengejar kendaraan yang dikemudikannya.     

Bahkan segalanya terasa sama persis, lirikan sinis dan pergunjingan yang langsung menjadi topik utama. Hanya satu tempat yang membawa mereka pada situasi semacam itu.     

"Rasanya aku seperti merindukan tempat ini."     

"Jangan berlebihan, bilang saja kalau yang kau katakan itu sebaliknya. Tak betah untuk satu menit pun berada di lingkungan penuh orang kolot ini, seperti yang ku rasakan saat pendengaran yang sudah terbiasa damai malah kembali harus di hadapkan pada para pembenci itu."     

Nathan pun terkekeh, lantas meneruskan langkah ke bagian belakang rumah milik Lisa untuk membasuh wajahnya yang terasa sangat panas. Kembali pada tempat duduknya semula, sedikit mereka ulang rasa ulang saat mengeluh tentang betapa tidak nyamannya kursi kayu yang sudah lapuk itu. Tubuhnya menyandar senyaman mungkin, lantas memejamkan mata untuk sedikit merilekskan otot tubuh, sebelum sebuah suara melengking mengejutkannya.     

"Tara...! Kita membutuhkan ini untuk mencairkan uang..." kejut Lisa setelah keluar dari dalam ruangan yang tertutup oleh tirai. Rautnya jelas sangat kegirangan, terlebih dengan kedua lengannya yang terangkat ke udara, berkas yang di bawa membuat Nathan tercekat.     

"Jadi, kau menjual rumah milik mu?" tanya Nathan dengan lagak mengintrogasi. Matanya terbelalak, sekali pun tak bisa menerka tindakan terlalu jauh yang di korbankan wanita itu.     

"Sungguh Lis, bukan maksud ku untuk mendorong mu pada solusi ini. Ku pikir kembali pada papa ku dengan menyodorkan kedua lengan tak begitu buruk. Lagipula secepatnya aku harus kembali pada kursi di perusahaannya, kan?"     

"Itu memang solusi untuk mu, tapi aku juga harus mengusahakan diri ku untuk tetap bisa bersama mu tanpa bergantung, kan? Benar tentang kekhawatiran mu jika aku tetap memilih untuk tinggal di sini, pria itu bisa saja masih terus berusaha untuk menghancurkan ku. Rumah ini sepi, akan lebih baik jika di jual, kan? Sangat kebetulan karena pembeli potensial sudah menunggu sejak lama."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.