Hold Me Tight ( boyslove)

Demi kepentingan



Demi kepentingan

0Mencari sebuah rumah sementara untuk tinggal nyatanya tak semudah itu. Letak yang strategis dengan sedikit di rasa nyaman pun hanya bisa di hitung jari. Terlebih dengan prosedur dokumen kelengkapan saat dua orang lawan jenis sebagai pemohonnya.     
0

Nathan sudah sangat lelah untuk memaku konsentrasinya pada jalanan. Matahari bahkan sudah menyingsing dari singgah sananya. Hal tak penting pun seketika teringat, ia telah melewatkan janji temunya pada Cherlin kembali. Ya, tak terlalu di pusingkan juga, lagipula tak mungkin untuk wanita itu terus menunggunya di kampus. Riki sebagai pengawal yang siap siaga tak mungkin lengah.     

Bicara tentang keputusannya untuk menerima pendekatan dari Cherlin, nampaknya Nathan terlalu melupakan pemilik hati yang dengan tulus menaruh minat pada wanita itu. Riki yang sudah di anggap kawan olehnya, menimbulkan kemelut ulang tentang pergerakan Nathan.     

Baik-baik saja, yang di sampaikan pria berwajah kaku itu saat Nathan menanyai singkat. Jelas tak menyakinkan, terlebih dengan cara Riki menarik diri dengan panggilan "Tuan" sebagai batasan.     

Lantas bagaimana Nathan bisa berjalan santai saat hatinya yang terlalu sensitif memikirkan orang-orang di sekitar? Sedangkan balasan tak seimbangkan di dapatkan, miliknya yang lebur tanpa ada kesempatan untuk kembali memulihkannya seakan sudah tak lagi mampu untuk merangkai harap bahagianya sendiri. Agaknya sifat egois sedikit di butuhkan untuk membuatnya bisa bertahan.     

Kembali pada kediamannya yang di rindukan, memastikan kasih sayang tulus pada satu-satunya orang yang masih menjadi pengharapan.     

Di sebuah kediaman mewah dengan pagar besi menjadi pelindung. Kesan sunyi saat di bagian depan meski beberapa penjaga sudah menyambutnya. Memberi senyum ramah pada pria paruh baya yang di kenalnya sedari kecil itu.     

Nathan sampai di sana, memastikan waktu terlebih dahulu supaya tak selisih dengan kepulangan papanya dari kantor. Laju kendaraannya yang di pacu begitu lamban agaknya memang berhasil.     

Tok Tokk Tokkk     

Mengetuk pintu rumah, adab yang harus tetap di utamakan. Ya, lagipula dengan petualangannya yang terlalu lama di luaran membuatnya sadar diri, keanggotaannya di rumah ini masih belum begitu di pastikan.     

"Nathan, kau datang, nak? Senang bertemu lagi dengan mu."     

Seorang wanita yang membukakan pintu, memberi sambutan penerimaan dengan menarik Nathan pada pelukan hangat. Kecanggungan jelas saja di rasakan, senyum untuk membalas raut sumringah itu bahkan tak sampai terlihat pada sorot matanya yang malah meliar.     

"Masuklah, papa mu pasti akan sangat senang karena kedatangan mu ini..."     

Wanita paruh bawa yang sama sekali tak bisa di hapal namanya oleh Nathan itu pun menarik tubuhnya untuk lekas memasuki kediaman mewah itu. Melangkah beriringan dengan rangkulan erat yang kali ini di rasakannya.     

"Sayang.... Sayang... Lihatlah siapa yang datang."     

"Kau datang, nak? Papa rindu sekali dengan mu," timpal balas seorang pria yang menuruni anak tangga. Wajah menuanya yang mengukir senyum begitu lebar membuat Nathan merasakan kebahagian yang sinkron. Menanti di bawah anak tangga, Bagas yang sejak tadi sudah ada melebarkan kedua lengannya pun langsung di tangkap olehnya. Keduanya berpelukan dengan sangat erat, menepuk bahu seolah pelampiasan bahagia yang sudah sangat tinggi di rasakan.     

"Hanya datang sesekali dengan jarak waktu yang sangat lama, kau pikir aku tak akan merindukan mu, nak?"     

"Hahha... Sengaja, biar papa merindukan ku lebih dulu."     

"Dasar kau! Kali ini kau datang sendiri, tak bersama dengan calon kakak ipar mu itu?"     

Secepat kilat, Nathan langsung menarik kembali senyum lepasnya. Menyisakan raut bertanya yang otomatis matanya menyipit.     

Namun agaknya Bagas masih belum bisa menerka ekspresi kebingungan Nathan. Bahkan pria itu telah membawanya untuk berpindah tempat yang lebih nyaman.     

"Apakah kita harus menggelar jamuan makan malam sesegera mungkin?"     

"Itu bagus, sayang! Dari pada anak nakal ini terburu kembali meninggalkan rumah ini."     

Nathan masih tak mempunyai kesempatan untuk menyela pembicaraan. Sepasang bergembira itu sudah mengapit jalannya dengan terlalu bersemangat. Bahkan sang papa yang sudah terkesan sangat berlebihan dengan bantuannya menarik kursi di meja makan.     

"Aku akan menyiapkan hidangan lezat dengan secepat mungkin."     

"Ehmmm... Tak perlu terburu-buru... Ma? Lagipula aku masih kenyang," cegah Nathan yang lekas menghentikan pergerakan wanita paruh baya yang masih sangat cantik itu. Senyum haru pun dapat di lihatnya, hanya sebatas panggilan pengakuan yang sedikit di ucapkannya canggung, nampaknya memberi kesan tersendiri untuk istri papanya itu.     

"Mama tak perlu menyibukkan diri untuk ku," tambah Nathan yang kemudian mendapat balasan tepukan bangga di bahunya oleh sang ayah.     

"Sekedar minuman dan camilan untuk menemani perbincangan, izinkan aku untuk itu."     

Tanpa sadar, Nathan terkekeh melihat gerak aktif wanita itu yang berlari ke dapur. Membuatnya sedikit merasa dekat dengannya karena sikapnya yang jelas begitu ramah dan baik hati.     

"Itu yang membuat ku tak pernah berhenti untuk mencintainya, dia selalu menjadi alasan ku untuk bahagia walau sekedar tingkahnya yang seperti tak ingat umur itu," celetuk Bagas membuat perhatian Nathan teralih pada sosok yang duduk di sampingnya itu.     

"Tapi mama memang terlihat masih menawan di usianya, masalah usia yang papa bawa-bawa tak berpengaruh."     

"Ya, kau benar. Di mata ku dia sempurna sampai kapan pun, dan ku harap bersama dengan putri dari keluarga Nandara adalah jawaban untuk mu," balas Bagas dengan sorot matanya yang berubah begitu serius.     

"Papa tahu? Ah, begini... Pendekatan ku padanya bahkan baru di mulai kemarin. Tak menyangka saja, kabar berhembus begitu cepat tanpa sekali pun ku sadari," timpal Nathan dengan ringisan, coba untuk menutup rasa kesal yang lagi-lagi tak bisa berhenti untuk menyasarnya.     

Bagas pun terdiam, ia jauh lebih mengenal tentang kepribadian anaknya sendiri. Dengan segala pemberitaan buruk yang sudah diketahuinya, namun jalan perlahan tanpa paksaannya masih di pilih.     

"Teh melati dengan kue kering, ku harap kalian menikmatinya, ya..."     

Sebuah suara mengintrupsi, dengan sajian baki yang membawa dua cangkir yang di letakkan di depan masing-masing ayah dan anak itu. Menempati bangku bagian sebrang kedua pria itu, wanita bernama Anggun itu pun nampak sangat bersemangat untuk ikut dalam perbincangan.     

"Kalian membicarakan apa? Papa mu tidak sedang membicarakan kekurangan ku kan, nak?"     

Pembawaan ceria wanita itu nampaknya mampu memberikan pengaruh. Bagas yang lantas memberi tanggapan romantis dengan menggenggam erat tangan sang istri, sedangkan Nathan pun lantas mengalih dari topik yang membuat suasana hatinya kembali menurun.     

"Papa ku sangat tergila-gila pada mu, mana mungkin ada sedikit pun cela untuk memprotes kesempurnaan mu."     

"Hmmm... Aku sangat suka dengan mulut manis mu, nak... Sangat mirip dengan suami ku."     

Untuk sejenak, ketiganya pun terdiam setelah balasan Nathan di timpal kembali oleh anggun yang sudah menampilkan wajah meronanya.     

Melumas tenggorokannya yang tiba-tiba saja terasa sangat kering, Nathan pun meminum teh hangat yang di sajikan itu. Aroma yang tercium ringan, sedikit membuatnya lebih rileks.     

"Pa, apakah masih ada meja untuk ku di kantor?"     

"Loh, kenapa kau harus mempertanyakan itu? Sungguh, nak... Tempat mu tak akan tergantikan, kau adalah ahli waris ku. Justru malah sangat senang mendengar keinginan mu ini. Hanya saja catatan untuk mu, jangan terlalu lama bersenang-senang dengan waktu bebas mu terlebih dahulu, kau sudah menghabiskan kuota kesempatannya dalam satu waktu, nak."     

Nathan merasa tersindir, pandangannya langsung menunduk dengan menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. Papanya yang sampai memberi pesan peringatan sejak awal, sejak dulu sudah di mengerti jika ia sudah sangat keterlaluan.     

Datang dengan niatan rendah memang sudah menjadi resiko. Tanpa pikir panjang, papanya bahkan memberikan selembar cek dengan nilai yang sangat fantastis saat ia berkata membutuhkan sedikit uang.     

Belum lagi dengan paksaan Bagas untuk mengambil stok setelan kerja miliknya. Ya, karena anggapan pria paruh baya itu jika Nathan masih aman di dalam lingkup mewah milik Max.     

Tak bisa menolak hal-hal yang memang di butuhkan, Nathan segera naik ke lantai dua dengan tujuan sama yang masih sangat di ingatnya.     

Sepi yang harusnya di menyambut, alih-alih suara musik yang menghentak begitu keras di sebuah ruangan tertutup. Sela bagian bawah yang terang dengan pergantian lampu warna-warni membuat dahinya berkerut dalam.     

Namun tak ingin menambah waktu kepergiannya terlalu lama, Lisa yang menunggu di rumah membuatnya was-was tentang hal yang mungkin saja bisa terjadi.     

"Sudah bertemu dengan adik mu?"     

"Apa?"     

Sambut wanita paruh baya itu saat Nathan baru saja sampai ke ruang tamu. Bahkan belum sempat mendudukkan diri, ia sampai mematung di titik yang di pijaknya.     

"Ah ya, maksudnya anak ku. Apa kau sudah bertemu dengannya di atas? Mumpung dia sedang malas-malasan di rumah untuk beberapa hari ini. Setidaknya, kalian bisa saling menyapa untuk pertama kalinya, kan?"     

Benar, anak dari mama sambungnya, kenapa Nathan sampai melupakan itu? Papanya Max yang menyebutnya anak sulung, kenapa masih sempat membuatnya bingung?     

Kesan yang di dapat dari ruangan tertutup tadi sudah membuktikan jika remaja yang beberapa tahun lebih muda darinya itu tak lebihnya sebagai sosok urakan. Nathan tak ingin menambah buruk harinya dengan menambah peran yang di libatkan dalam kehidupannya.     

Menolak dengan halus karena alasan penting menjadi jalan yang paling aman untuknya saat ini. Berpamitan sopan yang mau tidak mau memenuhi janji untuk kembali ke dalam rumah mewah itu lagi. Bukan karena harus berhadapan dengan sang papa dan mama sambungnya, nampaknya memang ia sudah tak siap untuk bertemu dengan adik sambungnya itu.     

Kembali pulang dengan kecepatan mobil yang di pacu kencang, jarak yang lumayan membuatnya harus mengejar waktu. Setidaknya dengan bekal yang memenuhi kantungnya sudah menjadi solusi untuknya. Ya, Lisa tak perlu harus mengorbankan kenangan tertinggal dari orang tuanya, kan?     

Berwajah sumringah, Nathan yang keluar dari mobil dengan satu koper besar pakaiannya yang di bawa.     

Lampu menyala di depan, menandakan hari sudah gelap. Namun yang membuat Nathan tak habis pikir adalah saat pintu depan yang terjerembab terbuka, bukan kebiasaan Lisa yang seperti.     

Nathan yang sekelibat membayang buruk pun lantas mempercepat langkah. Masih merapalkan pengharapan untuk menenangkan kepanikannya. Namun agaknya hal itu sudah terlalu terlambat, terlebih saat pandangannya menatap sesosok pria yang memeluk Lisa dengan sangat erat. Prasangka satu sosok jahat pun langsung saja membuat Nathan bertindak kasar. Menarik pria itu untuk berhadapan dengannya, tak puas hanya dengan raut berang, sebuah bogem mentah pun melengkapi umpatan.     

"Brengsek!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.