Hold Me Tight ( boyslove)

Tempat aman?



Tempat aman?

0Leo datang keesokan harinya, memenuhi janji sekaligus berbaik hati untuk mengantarkan Lisa dan Nathan ke lokasi yang di maksudkan.     
0

Membawa seluruh barang yang di butuhkan, memacu jalanan pagi yang sedikit lebih ramai karena masih hari aktif.     

Terlebih dahulu mencairkan cek yang di berikan sang papa, sedikit memakan waktu lama karena rangkaian prosedur yang di haruskan. Meski pun sudah ada jaminan untuk hidup berkecukupan, Lisa rupanya masih keukeh dengan niatannya untuk menjual rumah. Alasan yang sama pun di lontarkan, "Tak ingin merepotkan mu, lagipula rumah ku yang tak di tempati lagi akan sangat di sayangkan jika di huni hantu tanpa adanya keuntungan yang bisa ku dapatkan. Akan lebih baik seperti ini, sekaligus jaga-jaga untuk biaya bersalin ku sebentar lagi."     

Tak bisa mencegah niatan Lisa yang sudah di tata sedemikian rupa, Nathan hanya mengangguk memberikan persetujuan saja.     

"Kalian beruntung karena bertemu dengan ku di saat yang tepat, pemilik tempat ini yang lama memberikan biaya diskon habis-habisan."     

Nathan dan Lisa hanya menganga saat sebuah unit apartemen yang lumayan besar dan nyaman itu yang di maksudkan. Tak lagi pikir panjang dan merasa sedikit pun bimbang, persetujuan pun langsung di lakukan.     

Dua kamar yang di inginkan menjadi langsung di tunjuk Lisa salah satu menjadi kepunyaan.     

Ketiga orang itu pun lantas duduk di atas sofa tersedia, minuman botol yang sempat di beli Nathan dalam perjalanan tadi di sajikan. Sedangkan Lisa dengan susu ibu hamil miliknya.     

"Siapa orang gila yang menjual rumah dengan harga miring ini, Leo?" tanya Lisa dengan tak sekali pun menghilangkan rona kegembiraannya. Tubuh letih atas beban kandungannya pun kali ini sedikit di rasa lega, peralihan ketenangannya untuk mengikuti Nathan menemui tempat ternyaman.     

Nathan dan Leo yang mendengar ucapan blak-blakan dari Lisa pun lantas terkekeh. Walau sedikit keheranan, seolah semakin mendesak     

jawaban yang di pertanyakan.     

"Ya Leo, kenapa kenalan mu itu menghargai tak sebanding untuk tempat ini? Terlebih dengan begitu saja meninggalkan sebagian perabotan dan hiasan miliknya?"     

"Bahkan di dalam lemari pendingin masih lengkap bahan masakan, tak melupakan juga red velvet yang terus menggoda ku sejak tadi," timpal Lisa menyambung ucapan Nathan. Terlihat benar-benar tergiur, wanita itu bahkan terlihat jelas menelan ludah kasar.     

"Mungkin sebagai sambutan yang mewakili. Ini sudah menjadi tempat kalian, segala isinya pun begitu. Kau menyukai kue itu, tak ada masalah jika pun sampai kau menghabiskannya."     

Mendengar ucapan Leo yang ada benarnya, sontak di sambut gembira oleh Lisa yang langsung bangkit dari duduknya menuju ke bagian dapur.     

Tak lupa untuk mengucapkan terimakasih bertubi-tubi pada Leo yang datang bak malaikat penolong.     

"Sudah siang, ku rasa aku harus segera pergi, pekerjaan sudah menunggu ku."     

"Sial! Bagaimana bisa aku sampai melupakannya, aku pun harus segera ke kantor. Ku harap kau mau menunggu ku sebentar untuk berganti pakaian. Aku akan mengantarkan mu sampai dengan tujuan." Nathan langsung tepuk jidat. Bangkit dari duduk nyamannya, dan kemudian menggeledah isi dalam kopernya dengan terburu-buru.     

"Ku pikir tak usah, Nath. Aku akan membuat mu makin kerepotan, kan?"     

"Tak masalah Leo, malah aku akan sangat tersinggung jika kau malah menolak bantuan kecil ku ini," teriak Nathan dari dalam ruangan. Tak menunggu waktu terlalu lama untuk membalut setelan rapi di tubuhnya.     

Lisa yang tengah mengunyah kue di piring kecilnya itu datang bertepatan dengan Nathan yang membuka pintu. Memberi hadangan tanggap saat di rasa ada yang kurang dalam tampilan pria itu.     

"Aku sedang terburu-buru, Lis..." ucap Nathan yang berusaha berucap lembut supaya tak menyinggung wanita yang berperasaan sangat sensitif itu. Ya, meski bola matanya yang memutar masih bisa meloloskan kekesalannya.     

Lisa pun menggelengkan kepala, pandangannya menderet tampilan Nathan mulai ujung kaki sampai kepala. "Sedikit berkerut tak rapi, mau aku bantu menyetrikanya sebentar saja? Kebetulan aku membawa milik ku, Nath."     

Lisa yang rupanya tak mengerti sedikit pun makna terburu-buru yang di maksudkannya. Membuat Nathan memilih melarikan diri dengan kode kedipan mata pada Leo yang masih duduk mengamati pertunjukkan.     

"Aku tak punya waktu lebih, Lis. Sampai bertemu nanti sore lagi, jangan bukakan pintu untuk sembarang orang!"     

Duar     

Ucap Nathan yang setelahnya menutup pintu depan, bersama dengan Leo meninggalkan wanita hamil itu memberenggut kesal setelah perhatiannya malah di abaikan. Lisa pun membalik arah jalannya, mengambil piringnya yang tadi sedikit di alihkan. Menyendok kembali potongan kue itu, membiarkan rasa manisnya pecah di dalam mulut.     

"Kenapa rasanya tak asing, ya?" ucap Lisa yang sedikit keheranan. Rasa identik yang memang bisa di temui di mana saja, hanya sedikit perbedaan yang di rasa khas dan tak bisa di samakan dengan yang lain.     

Tak bisa di pungkiri, hatinya tiba-tiba saja bergemuruh hanya dengan pikirannya yang melalang buana, tanpa sedikit pun pencegahan untuk sampai pada sosok pria yang menjadi bayangan penuh.     

Bukan pada rasa kepercayadiriannya yang terlalu jauh sampai menyangka pria itu yang menyiapkan semua ini untuknya, hanya saja dengan kerinduannya yang sedikit terobati karena rasa kue ini. Acara mengidamnya sejak awal akhirnya terpenuhi. Ya, hanya sebatas itu.     

Nathan di sisi lain, memacu kendaraannya dengan kencang demi untuk mengejar waktu. Tak sedikit pun ada perbincangan, Leo yang duduk di bangku penumpang pun hanya diam mengikuti setelah menunjukkan rute perjalanan.     

Untung saja melalui satu jalur dengan perusahaannya, hingga Nathan bisa sedikit santai.     

Roda pun berdecit, berhenti berputar di sebuah deret pertokoan yang familiar. Layaknya tertarik ke sebuah momen kejadian, sesosok remaja pria yang sama sekali tak di harapkannya untuk tersimpan dalam ingatan. Ya, rupanya sedikit di rasa terlambat, bahkan prasangkanya yang sampai mempertanyakan kelanjutan Jevin untuk berjumpa dengannya menjadi semakin memenuhinya.     

"Nath-Nathan..."     

Pria itu pun tersentak, mengalih pandangan dari arah jalanan sampingnya pada Leo yang menunggu. Ya, sangat menyebalkan terlebih tanpa di sadari satu hitungan menjadi suatu kesia-siaan.     

"Kau bekerja di sekitar sini? Toko yang mana kalau boleh tau?"     

"Ekhem! Kapan-kapan aku akan memberitahu mu. Maaf Nath, aku sudah sangat terlambat. Sekali lagi, terimakasih."     

Leo menepuk pelan bahu Nathan lagi. Bahkan tanpa sempat menunggu balasan lagi, secepat kilat pria itu keluar dari dalam mobil miliknya.     

Tak ingin menunggu rasa penasarannya terjawab hanya dengan mengintip Leo yang akan membuka satu dari banyak deret pintu pertokoan. Nathan kembali memacu kendaraannya sebelum waktu makan siang di mulai di sana. Ia sudah sangat terlambat, terlebih mendebarkannya lagi saat satu sosok yang harus kembali di hadapi. Tanpa bisa mengambil pilihan untuk menolak, saat itu pasti akan hadir juga.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.