Hold Me Tight ( boyslove)

Peran baru?



Peran baru?

0Kembali menjadi pusat perhatian, menjadi semacam rutinitas yang akan kembali mewarnainya lagi. Masih dengan sekumpulan pria yang di punggawai oleh seorang senior, membimbing jalan Nathan dengan penuh penghormatan.     
0

Kali ini tanpa penolakan, Nathan mencoba menempati posisi kedudukan sebenarnya. Meski tak bisa menutup pendengaran atau pun juga prasangka yang di lihatnya pada tanggapan sekitar. Mereka yang menertawai keberadaannya tiba-tiba muncul kembali, peran yang terkesan di sepelekan hanya karena kepastian yang sudah di dapatkan hak milik. Tanpa sedikit pun peran dan usaha yang terlihat, Nathan di hanya di anggap sebagai salah satu orang yang paling beruntung.     

Mendahulukan sopan santun untuk sekedar memberi senyum, Nathan meloncat pada golongan tak penting yang hanya menunduk hormat padanya sebagai peran basa-basi. Lagaknya di buat setenang dan sedingin mungkin, sampai pada sebuah ruang besar yang mampu meruntuhkannya.     

"Selamat pagi, pa."     

"Oh... Hai, nak. Akhirnya kau datang juga. Ehmm... Tapi sedikit ralat untuk sapaan mu, ini sudah menjelang siang, nak."     

"Maafkan aku pa, tadi ada sedikit kepentingan yang harus ku lakukan terlebih dahulu."     

"Benarkah, ku maklumi untuk kali ini saja. Lain kali, kau harus bisa membedakan prioritas mu terlebih dahulu."     

Bagas mempersilahkan Nathan masuk setelah terlebih dahulu meminta izin. Pria paruh baya yang masih sangat gagah dengan setelan jas miliknya itu pun memberi sambutan, bangkit dari meja kerjanya yang kemudian memeluk tubuh Nathan dengan sangat erat.     

Meski pun begitu Bagas masih tak kurang-kurangnya untuk memberikan sederet kalimat pengingat, sedikit menyinggung Nathan yang memang masih perlu terus belajar.     

Mendudukkan diri di sofa, seorang office boy pun membantu menyajikan dua cangkir kopi sebagai jamuan santai.     

"Kau melewatkan rapat dewan, dan secara beruntungnya kau bisa langsung mendapatkan informasi dari ku," ucap Bagas setelah menyesap minuman pekat itu. Pandanganya lantas kembali tertuju pada sang putra, masih sedikit pun tak menghilangkan raut serius saat pembahasan kerja yang menjadi topik.     

Nathan yang sudah terlalu mual dengan singgungan pun lantas mengulas senyum, berusaha tak menampilkan diri dengan kekanakan.  Ia sudah terlalu lama membuat Bagas menunggu sikap dewasanya. Di mulai saat ini, Nathan berusaha sebaik mungkin.     

Menjadi pendengar saksama saat Bagas menjelaskan secara rinci tentang posisi perusahaan, persaingan pasar yang semakin ketat dengan pertimbangan fluktuasi yang turut mempengaruhi.     

Bergerak dalam bidang properti memang sangat menjanjikan, meski perkiraan pasar dan juga wilayah yang membutuhkan penelitian rinci. Memang hal yang sangat sulit, terlebih harus membutuhkan kesabaran dan kejelian ekstra supaya tak menjadi pengaruh terlalu besar untuk perputaran keuangan perusahaan.     

Proyek besar yang sudah menanti kali ini di serah terimakan secara langsung oleh sang papa, menjadi bentuk kepercayaan yang di amanahkan kepada Nathan. Tak ada pilihan siap atau tidak, sama seperti yang di katakan olehnya, ia harus melewati semua itu.     

Di sudut penggambaran lain yang jauh dari itu, menghilangkan sejalan jiwa yang menggebu-gebu penuh dengan aura positif seperti Nathan. Seorang pria yang menyimpan ambisi besar di dalam dirinya kali ini harus sedikit di redam karena situasi yang memaksanya demikian.     

Lama tak tercium kabar, nyatanya konflik sama yang melibatkan dirinya makin serius menyerang.     

Bagaimana tidak, teror berturut-turut yang selalu tertuju pada kediaman itu terus menghantui hampir di setiap detik. Hal yang tak luput dari penjagaan yang mengelilingi, lemparan botol kaca yang di buat sedemikian dengan kobaran api yang menyala, terlempar bertubi-tubi pada bagian yang selalu tepat mengenai tempat Lea dan Max.     

Hal sepele yang membuat Max tak habis pikir, bukankah orang-orang yang di katakan Lea sudah menjaga sebaik mungkin, tapi kenapa tak satu pun tersangka berhasil di tahan sebagai penanggung jawab?     

Lekas di ganti keseluruhan dengan orang-orangnya, pria berparas oriental itu melakukannya tak lama setelah kecurigaannya itu. Firasatnya memang benar, musuh yang dengan mudahnya menyusup dalam selimut menjadi permasalahan. Keadaan pun mulai kondusif, bahkan Max yang sudah berencana untuk pergi dan memboyong tempat aman untuk kawan wanitanya itu terhambat oleh kedatangan seseorang yang lantas membuat Lea berteriak histeris.     

"Pergi kau dari sini! Aku tak sudi melihat wajah mu! Akhhhh... Pergi...!"     

Max pun lantas memijat pelipisnya yang berdenyut menyakitkan, Lea yang terus saja menumpu pemberontakan padanya, tak menutup beban yang semakin lama makin membuatnya muak.     

Seorang pria yang menjadi salah satu penyebab kehancuran wanita itu kembali menampakan diri. Senyum tipis dan juga lengan kanan terjulur seakan menjadi penanda keburukan di mulai kembali untuk Lea, sebuah koper besar memberikan penjelas.     

Max tetap menghadap dengan tatapan dingin di balik netra uniknya. Menghadang buruk seseorang yang turut di cap lawan karena secara tak langsung membuatnya lebih lama tertahan di situasi ini.     

"Max... Hiks... Ku bilang, usir bajingan itu dari sini! Aku tak ingin melihatnya menginjakkan kaki di rumah ini," mohon Lea dengan mencengkram kuat kerah kemeja yang di kenakan oleh pria itu. Wajahnya sudah sangat basah dengan titik keringat yang makin membuat helai rambutnya menempel berantakan di sana. Netranya yang terus berputar layaknya di buru bayang-bayang yang menghantui, tak bisa di tahannya lagi hingga dada bidang milik Max lah yang menjadi sandaran.     

Layaknya sudah menjadi semacam sangkaan yang di perkirakan, membuat seorang pria yang baru saja datang dengan kesan memorinya yang tak baik itu malah mengulas tawa cekikan yang menyeramkan. Bukan lagi mengacu pada suara isak tangis yang mendominasi, melainkan pada seisi rumah mewah yang masih sama sejak terakhir kali dirinya menempati sebagai bagian.     

Langkahnya bahkan telah menjelajah seisinya, menyentuh segala macam perabot mahal yang menghiasi.     

"Merindukan tempat ini, saat suara tawa ku dan yang lainnya berkumpul untuk memberikan warna pada sebuah ruang kebahagian."     

Rangkaian kata yang di ucapkan begitu ringan, kesan gelak tawa ceria yang seperti halnya mereplikasi ironi dalam kesedihan wanita itu.     

Jelas saja tersulut emosi, Lea yang keluar dari perlindungan Max, secepat kilat meluapkan emosinya dengan memukul pria yang di bencinya itu. Makian kasar terus di perdengarkan, tak memperdulikan sepasang paruh baya yang baru saja datang menyusul.     

"Dasar bajingan kau! Pergi dari sini atau aku akan membunuh mu! Ada Max di sini, kau tak bisa melakukan apa pun. Kembali ke tempat mu seharusnya, jeruji besi yang pantas membuat mu mati membusuk!"     

"Oh... Adik ku sayang... Kau tahu jika kata-kata mu itu sangat menyakiti hati ku... Bahkan dunia pun tahu, aku bukan orang jahat yang pantas mendapatkan hukuman terlalu lama."     

"Akkkhhh....!!!"     

Lea terus saja menjerit, pria yang di sasar amarah olehnya malah berhasil membalik keadaan menjadi seakan-akan penuh haru. Wanita itu memberontak di pelukannya pria yang menyasar terlalu intens pada Max itu. Sedangkan di sisi lain, sepasang paruh baya itu juga masih mengambil jarak. Tak ada yang tahu tentang konflik lanjutannya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.