Hold Me Tight ( boyslove)

Sedikit bercerita



Sedikit bercerita

0"Jelaskan pada ku, Nath."     
0

"Tentang apa?"     

"Jangan belagak memberikan teka-teki saat aku yang hampir saja pingsan karena melihat pertunjukan mu tadi, Nath."     

Nathan yang di desak pun menghela napas panjang, napasnya yang tiba-tiba saja terasa semakin sulit membuatnya menarik lepas dasi yang melilit lehernya terlalu ketat. Tak ada selera untuk mengisi perutnya yang sudah keroncongan, ia malah menyandarkan tubuh dengan lengan yang mengurut dahinya yang berdenyut menyakitkan.     

Tommy yang menempati letak Cherlin beberapa saat lalu pun masih terus menunggu penjelasan dengan tak sabaran. Terlalu banyak yang di lewatkan dari kisah perjalanan kawannya itu, ia hanya merasa perannya sebagai kawan terdekat tak di hargai lagi.     

"Bukankah kau gay? Kau tengah menjalin hubungan bersama dengan Max, kan?"     

"Tak ada hubungan apa pun antara aku dan pria itu. Tom, aku sudah berubah, karena ku rasa tak ada sedikit pun jaminan kebahagian ku sampai nanti jika aku masih tetap memaksakan diri menjadi diri ku sesungguhnya."     

Alasan yang di utarakan penuh dengan kepasrahan, membuat sang kawan yang praktis saja menjadi semakin tak sangka. Terlebih dengan cara Nathan membalas pandangannya dengan seulas senyum tipis, ketidak sampaian dalam arti kondisi perasaan yang sejalan, membuat Tommy buru-buru memberikan pelukan sebagai bentuk kehadirannya.     

Nathan di sana, memberikan balas pelukan erat sembari tetap mengusahakan rautnya yang menipu. Namun setelah setelah usapan yang di rasakan pada tubuh belakangnya, malah menarik kejujuran untuk lekas di tampilkan. Gurat wajahnya lantas berkerut dalam, mengundang perasaan sedih yang di rasakannya bertubi-tubi. Air matanya yang bahkan mendesak di pelukan, tak menunggu waktu lebih lama lagi untuk merasakan tetesannya yang membasahi. Untuk kesekian kalinya Nathan menangis, saksi kelemahannya dari dulu selalu di tampilkan pada satu kawannya itu.     

Saat Nathan yang selalu memberontak dengan aturan orang tuanya yang membatasi gerak. Ia yang merasa tak mampu menjadi seorang anak yang bebas untuk menjalankan keinginannya tanpa sedikit pun beban rasa takut. Nathan yang dahulu, agaknya tak pernah berubah sampai dengan hari ini. Ia terlalu lemah, membiarkan semua orang untuk menempati peran sesuka hati sekaligus menggerakkan dirinya layaknya sosok boneka yang mudah di permainkan.     

Nathan terus saja menangis, membiarkan air matanya membasahi kemeja milik Tommy di bagian bahu.     

Sampai pada waktu berselang, melepaskan sedikit kemelut perasaan yang rupanya masih tak terlalu bisa untuk di cegah.     

"Aku tahu ada yang tak baik-baik saja dari kondisi mu akhir-akhir ini. Tapi demi apa pun, bisakah kau tak terlalu mengejutkan ku dengan perubahan suasana tiba-tiba? Sempat kesal karena diri mu yang mengejutkan ku di menit lalu. Ciuman dengana adik Max, eh?"     

Setelah semuanya habis, telapak tangan Nathan yang masih sibuk dengan usapan wajahnya pun harus di buat tergelak karena ucapan Tommy yang memprotes habis-habisan. Memang tak bisa menyelam kesedihan terlalu larut bersama dengan Tommy, terlebih dengan raut memberenggutnya yang tak cocok untuk wajahnya yang lawak.     

Nathan pun menyemburkan tawa, tak bisa mencegah lengannya untuk memberikan pukulan pada kawannya yang malah meledek dengan mengikuti raut kesedihannya beberapa saat lalu.     

"'Brengsek! Aku sedang sedih, Tom!"     

"Tak ada yang mengatakan diri mu sedang bahagia, Nath... Air mata mu bahkan sampai terasa di kulit ku langsung," balas Tommy dengan menunjukkan kemejanya yang menjadi korban. Masih terus berusaha membuat lelucon menghibur dengan lanjutan kata setelahnya,     

"Ada ingusnya tidak, nih?"     

"Tom... Jangan meledek ku terus-terusan!" peringat Nathan dengan mengeluarkan jurus pandangan tajamnya.     

Tak pelak langsung di takuti, Tommy pun menakup kedua lengannya di depan wajah sembari kepalanya yang di tundukkan hormat. "Ampun, boss... Tak akan meledek mu lagi. Tapi sebelum melanjutkan ke sesi lebih lanjut, bagaimana kalau kita mengisi perut sekalian?"     

Nathan pun kemudian terdiam, Tommy yang mendapatkan kode persetujuan tanpa pikir panjang langsung membongkar isi makanan yang ada di atas meja. Kawannya itu makan dengan sangat lahap, sedangkan Nathan yang terlanjur tak nafsu memilih undur diri sejenak untuk membuat kopi.     

Tak ingin merepotkan para office, Nathan membuat dua cangkir minumannya sendiri. Setelah sebelumnya membasuh wajahnya yang terlihat sembab, ia pun kembali ke ruangannya.     

"Perut mu masih kosong, jangan minum kafein dulu, Nath..."     

Cegah Tommy di sela kunyahan penuh di dalam mulutnya. Nathan yang sudah menempelkan permukaan cangkir di belah bibirnya pun lantas membatalkan, menarik jauh kembali dengan seulas senyum miris yang malah di balaskan pada kawannya itu.     

"Aku seperti sudah sangat gila. Sesaat, ku pikir peringatan mu tadi di lontarkan ulang oleh seseorang. Aku salah, dia tak mungkin lagi ada di samping ku."     

Lirih ucapan Nathan, sontak saja menarik Tommy untuk merujuk pada pembahasan yang di tunggu-tunggu. Menguap sekaligus sisa makanan yang ada di kotak bekal milik Nathan, membuat mulutnya otomatis kepenuhan dengan sedikit kesulitan untuk mengunyah. Air mineral yang ada di botol pun langsung di tenggak untuk memberikan bantuan. Setelah perutnya benar-benar terisi penuh, intens tujuannya pun terpaku penuh pada Nathan yang nampak menerawang jauh.     

"Max yang meninggalkan memori membekas di ingatan mu? Caranya memberikan perhatian, juga sampai menyasar hati mu, ya?" tanya Tommy dengan nada bicaranya yang berubah sangat serius.     

Nathan pun meletakkan balasan serupa, namun senyum ironi malah ditampilkannya sebagai balasan.     

"Begitulah cara seseorang yang hendak membuat orang lain bertekuk lutut padanya, membuat kesan perjuangan penuh yang seakan menempatkan sasarannya pada bagian tahta tertinggi. Sama dengan mu yang tertipu oleh pertunjukkannya, ku akui, aku jatuh begitu dalam karenanya. Sungguh, rasanya sangat menyakitkan, Tom."     

Nathan mengatakan semua itu masih dengan raut datar yang di tampilkan, tak bisa di cegah ingatannya malah turut melalang buana pada satu sosok yang membuatnya tak lagi percaya akan adanya cinta suci untuk hubungan sesama jenis sepertinya.     

Namun agaknya masih belum di pahami penuh oleh kawannya itu. Tommy masih menemukan cela kesalahpahaman yang bisa saja di tangkap demikian saja oleh Nathan.     

"Rasanya tak mungkin jika Max berani mempermainkan mu, tak ada sedikit pun motif yang bisa ku terka. Sebaliknya, dia malah terlihat jelas terobsesi pada mu, Nath. Tak ingin membuat mu marah dan meragukan posisi ku sebagai kawan mu, tapi pada kenyataannya untuk menarik bantuan dari ku ia rela membayar mahal. Ya.... Hanya untuk mendapatkan mu, Nath."     

Tommy pun nampak menghindar tatap setelah Nathan mengernyitkan dahi atas koreksi pemahamannya pada ucapan balas kawannya itu. Hanya saja tak ingin bertanya lebih, atau malah menimbulkan sudut keinginan untuk kembali merajut harapan kembali pada pria berparas oriental itu.     

Menggelengkan kepala untuk menepis sedikit pengaruh yang mulai di rasa berkhianat. Putusannya untuk berjalan di jalur semestinya yang sudah di sediakan, membuat Nathan mengambil final memberitahukan.     

"Max akan menikah, tak mungkin sedikit saja memikirkan kehadiran ku lagi. Akan sangat lucu, jika nantinya aku di jadikan simpanan jika memutuskan untuk bertahan, kan?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.