Hold Me Tight ( boyslove)

Tak bisa berbalas yang sama lagi



Tak bisa berbalas yang sama lagi

0Seorang pria nampak berkutat dengan kesibukannya di dapur. Geraknya yang cekatan, serta tahapan-tahapannya yang terlihat sangat ahli membuat tampilannya makin mempesona. Rautnya yang nampak serius, malah makin menambah kesan seksi pada pria jangkun yang mengenakan apron itu.     
0

Praktis menarik dekat sesosok lain yang sejak beberapa waktu lalu menaruh intens pandang. Tubuh mungilnya yang hanya terbalut kaos kebesaran yang mampu menutupi sampai pada batas paha. Lengannya bersendekap, senyum manis menghias wajahnya yang mungil.     

Tak lagi menunggu waktu lama untuk mendekat pada sumber aroma menggugah. Melangkahkan pasti telapak kaki telanjangnya. Bersandar di sisi meja, masih sabar menunggu pria jangkun itu untuk menaruh perhatian penuh kepadanya.     

Namun setelah hitungan semakin banyak menjumlah, hal yang di nantikan pun tak kunjung bersambut. Membuat wajah kecil itu seketika saja memberenggut, meski sedikit di maklumi tentang keseriusan pria yang tengah menghias kue buatannya itu.     

"Hari ini bukan hari spesial apa pun, kan? Atau aku melewatkan sesuatu, aii?" tanya Rian dengan mengangkat satu alisnya. Ilham yang baru membalas intensnya, masih tak bisa di rasa puas jika raut balasan pria jangkun itu malah berubah malas?     

Sungguh? Ilham menanggapi kehadirannya yang seperti sosok di pujanya sejak sedari dulu itu dengan hela napas panjang? Artinya apa? Apakah pria berwajah dominan pendiam itu merasa risih dengan kehadirannya, seperti itu?     

Rian yang tak betah pun lantas membuang pandang, decak kesal dengan rahangnya yang mengetat lantas di tampilkan.     

"Apakah kau coba mengabaikan ku, aii? Apakah kau coba menunjukkan balasan mu atas penolakan cinta ku? Apakah begitu?"     

"Aku hanya tak memberikan mu balasan untuk beberapa detik, dan kau sudah mengomel pada ku panjang lebar? Sungguh, sepertinya kau berubah dari sifat mu sebenarnya. Ah, atau memang tempramental adalah diri mu yang sebenarnya?"     

"Aii!"     

Peringat Rian yang sampai menunjuk wajah Ilham secara tak sopan. Wajahnya berubah memerah, amarahnya memang sudah terpancing dengan ucapan Ilham yang kasar seperti itu.     

Ya, begitulah sedikit gambaran yang terjadi antara Ilham dan Rian sejak akhir-akhir ini. Hati yang memang sudah tak bisa menyatu, menjadi hambatan tersendiri dengan beban pikiran yang terluapkan masing-masing. Pemberontakan mereka seperti terus di jadikan senjata serangan, saling menyakiti terang-terangan.     

Hal itu memang tak luput dari orang ketiga yang masih menggebu ingin di dapatkan oleh Rian. Pria mungil itu selalu saja menyelipkan pembicaraan tentang kekasihnya dan membanding-bandingkan perlakuan yang di dapatkannya.     

Bagaimana tak menjadi permasalahan untuk Ilham yang masih menyimpan rasa? Terlebih dengan sifat baiknya yang masih sedia menampung sosok mungil itu. Ilham merasa semakin tak mempunyai harga diri dengan penempatan posisi tinggi yang masih coba di kuasai oleh Rian.     

Semakin berjarak dengan rentetan pertengkaran kecil itu, terlebih dengan tak ada satu pun titik baik yang mampu menyatukan keduanya selain hanya ikatan lama yang sudah terjalin.     

Hati mereka yang sudah menemukan kemelut pemberontakan, tak ada bedanya dengan hati lain yang merasakannya. Pria mungil yang nampak semakin gila dengan jarak tak kasat matanya dengan kehadiran kekasih, tak sekali pun bisa di terka jika sedikit pun tak ada arti dirinya di sana.     

Di sebuah ruang privasi dengan tak banyak perabotan di dalamnya. Ranjang yang hanya cukup menampung satu tubuhnya pun masih di rasa nyaman. Selimut tebal melingkup habis tubuhnya yang letih, seperti menyamankan posisi dengan bayangannya yang melalang buana.     

Memutar-mutar kotak kecil yang di genggamnya, memperhatikan detail tampilan mewah yang membungkus isi di dalamnya. Barang kenangan yang di berikan, harga mahal yang bisa saja menjadi semacam pertukaran untuk kesenangan yang di dapatkan dari tubuh suka rela yang di sediakan.     

Mengulas senyum tipis, di saat kesendiriannya seperti ini memang begitu sulit untuk membentengi dirinya. Tak lagi ada Tommy atau pun Lisa yang membuatnya bisa sedikit berpura-pura, nyatanya saat kesendirian yang melingkup, semua hal menjadi murni. Kesedihan yang nyaris membuatnya merasakan perih di setiap tarikan napas, langkah tertatih yang seketika saja membujuk saat pengalihannya di lalui semakin jauh.     

Tak bisa di bayangkan sebelumnya jika pengaruh Max akan sedahsyat ini, Rian yang menjadi kekasih selama bertahun-tahun pun mampu beralih tempat, bahkan seperti tak lagi ada ruang tersisa untuk dominasi pria jangkun itu kepadanya.     

Tubuhnya yang masih terbalut lengkap oleh setelan kerjanya pun tak membuatnya ingin repot-repot menyempatkan diri untuk berganti. Nathan sudah di dekap kemalasan.     

Detik terus saja berputar menjumlah waktu, menarik Nathan pada ingat janji yang semakin mendekati waktu tiba. Tubuhnya lantas bangkit dari baringan, namun bukan untuk memutus kenyamanannya secara tiba-tiba.     

Bersandar di kepala ranjang, tak sedikit pun ia melepas intens pandang pada kotak kecil pemberian itu. Membuka isi di dalamnya, mengambil sebuah kertas kecil alih-alih jam tangan mahal itu.     

"Aku sangat mencintai mu, tak sabar untuk datang setelah semua masalah ku selesai. Aku ingin menepati janji, menghabiskan seharian penuh di dalam tubuh mu sebagai ganti rugi dua pekan yang kau janjinya untuk pemulihan luka di kepala mu."     

Begitulah isi selembar kertas terlipat itu. Nathan sudah berkali-kali membacanya, namun tak sekali pun bisa menemui kelegaan hati atas putusannya sebagai pembenci.     

Dua pekan yang di janjikan bahkan tak sempat membuat Nathan menjadi pengendali. Dua pekan yang di rencanakannya sebagai sebuah lelucon yang menyiksa untuk pria berparas oriental itu tak kunjung terealisasi sedikit pun. Ya, mungkin saja Max sudah menerka tentang kejahilannya, jiwa kuasanya yang tak sudi untuk menjadi sosok penanti lantas membuatnya lebih memilih untuk melarikan diri. Kembali pada sang tunangan untuk melanjutkan kepuasannya dalam bercinta? Sampai waktu terasa semakin cepat dengan menghilangnya semua janji, hampir dua bulan di laluinya tanpa kepastian sedikit pun.     

Prasangkanya memang makin meluas sampai pada titik di mana kabar pernikahan Max yang di ucapkan sendiri oleh sosok terpercaya. Ya, semua memang telah runtuh, tak buruknya Nathan yang malah ikut serta menyadari perasaannya yang terbawa suasana.     

Tak lagi ingin menangis meski pun desakan di pelupuk matanya sudah sangat menyiksa. Nathan berusaha mengalihkan itu semua, kebenciannya masih terus membutuhkan bantuan.     

Ceklekk     

Kriett     

"Kau sudah pulang, Nath?"     

Pintu terbuka, seorang wanita yang mengenakan terusan panjang yang menyembunyikan tubuh berisi miliknya. Seakan menjadi ciri khas, sebuah piring kecil yang berisi kue masih melekat di telapak tangannya.     

"Jangan bawa makanan manis ke kamar ku!" peringat Nathan yang malah di tanggapi abai oleh Lisa. Terlebih dengan rautnya yang terkekeh geli seolah tanpa rasa bersalah, wanita itu bahkan sudah mendaratkan tubuhnya di samping Nathan.     

"Aku belum melihat ada surat yang ada di dalam kotak itu. Bolehkah aku ikut membaca deretan kata yang tertulis rapi itu?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.