Hold Me Tight ( boyslove)

Bagiannya



Bagiannya

0"Katakan pada ku, sebenarnya siapa remaja tampan tadi?"     
0

"Hanya sosok asing yang menganggu ku saja."     

"Tapi tak cukup menyakinkan dengan cara interaksi kalian berdua yang terlihat begitu dekat. Kau yang bahkan memeluk tubuhnya begitu erat selama perjalanan tadi."     

"Apa kau tak melihat jika jok motornya begitu tinggi? Hanya otomatis tubuh ku menjadi terjungkal, memang kau pikir aku harus menumpu pada siapa supaya tak jatuh?"     

"Hemmm.... Alasan mu bagus sekali, sebagai upaya perlindungan diri, eh?"     

"Hentikan, aku tak mau membahasnya!"     

"Kenapa? Apa kau sangat ketakutan jika nanti suami mu mendengarnya? Seorang remaja asing yang telah mencium mu, bagaimana kau menjelaskan tentang hal itu, Nath?"     

Pria itu pun sontak memutar bola mata. Lisa yang terus menggoda, jelas saja membuat Nathan jengah. Terlebih dengan suara keras yang tak terkontrol wanita itu, membuat beberapa orang yang ada di sekitar mereka menoleh penasaran.     

Berada dalam perjalanan pulang, tanpa satu pun tempat yang berhasil mereka kunjungi. Lisa yang tiba-tiba saja menggagalkan rencana karena raut wajahnya yang berubah murung.     

Jika sesaat lalu memang berhasil membuat rasa belas kasihan Nathan muncul, kali ini memutar balik seratus delapan puluh derajat karena Lisa yang tak pernah berhasil untuk di tebak.     

Tiba-tiba saja kembali pada sifat menyebalkannya dan seolah mendesak balasan dingin untuk Lisa. Ya, hanya sebatas itu, tak mungkin untuk berbuat lebih kejam seperti membekap mulut wanita hamil, bisa habis jika Nathan di keroyok massa.     

Memilih untuk tetap diam, membiarkan Lisa untuk mengalih kesedihannya dengan cara perdebatan semacam ini.     

Ya, Nathan cukup menyadari hal itu. Namun tak terlalu di upayakannya untuk mendesak cerita. Hanya memilih untuk menunggu.     

Mengalih padang terhadap sumber semilir angin yang menerpa sisi wajahnya. Menerbangkan helai rambut dan lebih membuatnya berantakan. Namun di rasa cukup baik karena suhu panas di tubuhnya sudah lebih mendingin.     

Deret bangunan bergerak seakan terus berganti untuk mengejarnya. Tiba-tiba saja tertarik pandang dengan sebuah kendaraan yang di tengah keramaian. Singkat pandangannya bertemu tatap dengan sang pengendara, terlebih dengan caranya yang paling membahayakan hanya untuk melambaikan tangan kepadanya.     

Nathan yang sontak saja memutus kontak intens, raut wajahnya yang kaku masih di selingi dengan jari telunjuk milik Lisa yang menusuk-nusuk pipi menggebung miliknya.     

"Lis, berjanjilah kepada ku. Jangan sampai Max tau tentang kejadian hari ini."     

"Baiklah, tak cukup tega untuk melihat mu tak berdaya jika kecemburuan sang dominan sudah mengambil alih. Max bisa mengurung mu berhari-hari di kamar dengan satu jalan milik mu yang di gempur habis-habisan."     

"Ya, terimakasih telah mengingatkan bagian terburuknya."     

"Sama-sama."     

Nathan pun menggiring Lisa untuk memasuki area gedung apartemen dengan lengannya yang merangkul di pinggang. Sudah beberapa saat lalu keduanya turun di halte terdekat, berjalan di trotoar dengan sinar matahari yang mulai menyengat.     

Memang tak terlalu jauh, tak cukup menghawatirkan juga untuk Lisa yang sudah mulai lelah. Hanya saja sebab lain yang jelas saja begitu menganggu. Pria dengan setelan khas dan juga kendaraan yang di tungganginya masih ada dalam jarak pandang terdekat.     

Jevin mengikutinya sampai dengan tujuan. Berhenti di jalur berlawanan dengan senyum yang terukir jelas dan juga lengan kanannya yang melambai.     

Secepat kilat pandangannya teralih, menggelengkan kepala untuk mengusir segala kemungkinan. Demi apa pun, hidupnya sudah cukup rumit dengan segala permasalahan yang terus menariknya. Cukup seperti itu, tak ingin ada tokoh lain yang menyusup dan membuat segalanya menjadi lebih runyam. Terlebih Jevin yang nampak jelas keras kepala dan teguh pendirian, untuk mendekatinya, masih tak sekali pun bisa menerka peran yang di inginkan terhadapnya.     

Membuat kecil kemungkinan untuk bertemu, Nathan pun memilih untuk tetap di dalam apartemen milik Max. Melakukan bentuk kemalasan apa pun yang rutin, berbaring di setiap ada tempat yang nyaman adalah yang paling mudah di lakukan.     

Dua hari setelah kejadian penguntitan itu berlangsung, kehidupan membosankan Nathan pun berlanjut setelahnya. Tak ingin berangkat ke kantor meski Max terus saja memaksa, bersama dengan Lisa di rasa jauh lebih baik dari pada harus kembali bertemu dengan sang mama. Ya, sebelum ada iktikad baik yang di dapatkan. Harus adanya kejelasan dari kelanjutan Rara untuk memaksanya menikah, yang jelas Nathan menolak keras.     

Matahari sudah mulai menyingsing, meninggalkan mega merah yang tersirat di langit. Dari tempatnya saat ini, Nathan menyaksikan begitu indahnya kuasa alam.     

Pembatas kaca keselurahan menjadi media penjelas, menerbitkan sekalian senyum indah di bibir pria itu. Berbaring di ruang menonton memang menemukan kelengkapan nyaman, terlebih dengan menumpu sandaran di paha milik kawan wanitanya itu.     

"Rasanya sangat empuk," ucap Nathan yang kali ini mengalih posisi, perut menggembung milik Lisa terus di kecup.     

"Maksud mu aku empuk?"     

"Ya, sangat nyaman berbaring di paha mu. Ku rasa karena hamil, lemak milik mu jadi menempel rata ke seluruh bagian."     

"Ahh... Kau mengejek ku semakin gendut ya, Nath?"     

"Aouch! Lis, jangan menjambak ku, aku mengatakan yang sesungguhnya."     

Ketentraman untuk beberapa waktu lalu pun lantas lenyap tak bersisa. Lisa yang sejak awal mengusap lembut surai milik Nathan pun berganti cepat menjadi sangat garang. Kedua lengannya menyusup sampai menyelasar kulit kepala dengan kuku panjangnya. Lantas seolah tanpa belas, wanita itu mencengkram helai rambut milik pria itu.     

Perkara sensitif wanita yang di singgung, sedikit pun tak memudahkan Nathan untuk terlepas. Sudah sampai menggeram marah, layaknya melupakan luka yang masih di balut kain kasa.     

Ting Tongg     

Sampai dengan yang terdengar menyentak pertikaian kecil keduanya. Wanita itu pun melepas cengkraman, membiarkan Nathan bangkit dengan lengannya yang mengusap kesakitan yang di dapat, kepalanya benar-benar berdenyut.     

"Aouchh! Kau benar-benar berniat membuat kulit kepala terkelupas, ya? Lihat, bahkan beberapa helai rambut ku sudah rontok. Betapa ganasnya diri mu," omel Nathan dengan sesekali masih meringis. Lisa yang melihatnya jelas merasa bersalah, hanya saja pria itu terlalu menyebalkan.     

"Maafkan aku, tapi bukankah kau yang memancing ku terlebih dahulu? Mengambil topik yang sangat sensitif untuk wanita, kau pikir aku tak bisa tersinggung?"     

"Aku hanya memuji mu yang memberikan ku kenyamanan saat berbaring di sana," ucap Nathan yang berusaha membela diri.     

"Tapi memiliki makna yang lebih menjurus pada penghinaan."     

Ting Tong     

Nathan yang akan membalas balik ucapan pun terhenti di ujung lidah, bunyi bel pintu kembali terdengar. Menolehkan pandang pada Lisa yang malah menyandarkan tubuh dengan lanjutan konsentrasinya untuk menonton acara kompetisi memasak, masih pada kegemarannya.     

"Menurut mu, siapa yang kali ini akan datang?"     

"Entahlah, tapi yang pastinya itu bukan Max," balas Lisa dengan menggidikkan kedua bahunya dengan tak acuh.     

Nathan pun menepuk dahinya, merasa kodeannya untuk membuat Lisa lekas menyingkir tak kunjung di mengerti.     

"Ishhh... Nath!"     

Mematikan layar televisi, yang jelas saja membuat membuat Lisa memekik protes.     

"Justru karena bukan Max, kau harus segera bersembunyi," balas Nathan yang membantu jalan cepat ibu hamil itu. Menggiringnya cepat ke arah ruangan yang ditempatinya dan mewanti-wanti supaya tak keluar sebelum tamu itu pergi.     

Melangkahkan kakinya cepat ke arah pintu masuk, sembari mengatur pernapasannya yang tiba-tiba saja menderu. Menghembuskan napas panjang, lengannya siap untuk membukakan seseorang di baliknya.     

"Semoga bukan dua wanita itu," rapal Nathan di dalam hati. Sejalan dengan pintu yang makin di buka lebar.     

Pandangannya yang menunduk pun mendapatkan beberapa pasang kaki yang nampak. Perlahan menyusur lebih ke atas dengan dahi yang berkerut dalam.     

"Hei, Nath!" sapa mereka yang kompak memberondongnya dengan pelukan erat. Tubuh Nathan masih mematung di ambang pintu, masih meneliti satu per satu orang yang ada di hadapannya.     

"Kenapa malah terdiam? Tak ingin mempersilahkan kita semua masuk?"     

Hanya dengan tepukan di bahunya lah yang sanggup menarik Nathan dari keterkejutan. Praktis mengangkat pandang dengan kedua sudut bibirnya yang di tarik lepas. Posisinya sedikit menyingkir dan mempermudah jalan masuk orang-orang itu.     

Nathan menelengkan kepala, kerutan di dahinya masih belum hilang dengan mata menyipit menarik objek pandang di hadapannya. Mereka adalah Tommy, Ilham, Galang dan juga Aki. Bagaimana bisa kawan-kawannya itu mengetahui lokasi tinggalnya saat ini?     

"Hari ulang tahun mu yang ke dua puluh lima. Ku rasa kau melupakannya," ucap Ilham yang sedikit memberikan jawaban penjelas untuk Nathan.     

"Ah ya, dan Max yang memberi tau kalau kau ada di apartemen mewah ini. Lantai tertinggi dan juga terkesan sangat privat, eh?" sambung Galang yang lantas memutus habis kebingungan Nathan.     

Menutup pintu, lantas menerbitkan senyum terharu saat sebuah kue dengan beberapa lilin menyala sebagai identik. Aki yang membawakannya, yang lain ada di belakang dan bertepuk tangan menyanyikan lalu ucapan selamat.     

"Hufff..." Nathan meniup lilin setelah memanjatkan beberapa permohonan. Ya, tentang kehidupannya yang di harapkan makin di permudah. Masih dengan kesehatan utama untuk orang-orang terdekatnya.     

Lilin pun padam, menerbangkan sedikit asap yang membawa panjatan doanya. Menatap satu per satu kawannya dengan sorot mata yang nampak berkaca-kaca, hanya dengan mereka Nathan merasa sangat di terima dengan tulus. Dari dulu tak ada perubahan, itu lah sebabnya ia akan sangat marah jika ada siapa pun yang mengusik kawan-kawannya hanya karena ingin membuatnya hancur.     

"Kita sudah beranjak makin tua, apakah ritual tiang lilin masih terus berlaku?" tanya Nathan dengan suara yang berubah menjadi sengau.     

"Ya, jelas karena Ilham yang masih begitu gencar untuk mempromosikan dagangannya."     

"Hhaahah..."     

Balasan Tommy yang meledek, langsung saja di sambut dengan gelak tawa oleh yang lainnya. Ilham yang nampak tak terima, mengambil bagian lembut di atas kue untuk mengotori wajah menyebalkan milik Tommy.     

Sudah menjadi semacam keberlangsungan yang masih tetap sama seperti dahulu. Kue yang dengan cantik di pesan, malah berakhir sebagai senjata untuk saling berperang. Mereka jelas tak ingin menyia-nyiakan secara keseluruhan karena lebih dari bagian yang tersisa harus di makan rata oleh semuanya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.