Hold Me Tight ( boyslove)

Menyusup di balik celah sempit



Menyusup di balik celah sempit

0"Mau tidak mau, suka tidak suka, aku akan pergi dari tempat ini secepatnya."     
0

"Max, memangnya sedikit pun tak pernah ada rasa belas di dalam diri mu untuk ku, ya? Kau bahkan tahu dengan pasti bagaimana kondisi mental ku saat harus di hadapkan lagi pada orang-orang busuk itu."     

"Tapi, selamanya aku tak bisa terkurung dalam lingkup buatan mu, Le! Aku juga mempunyai kehidupan, dan tak hanya ada di sekitar mu saja."     

"Jadi, di dekat ku kau merasa terkurung? Satu pekan lebih untuk memberikan ku perhatian, nyatanya kau tak benar-benar melakukannya dengan tulus?"     

"Le..."     

"Hikss... Sungguh, ku pikir setidaknya dengan hubungan persahabatan kita ini bisa menjadi alasan untuk mu berada di sisi ku. Ku pikir kau masih menjadikan diri ku sosok istimewa seperti dulu. Tapi melihat kenyataannya saat ini, sangat membuat perasaan ku tercabik, Max. Hikkss... Aku hancur, dan tanpa kepedulian mu lagi, bagaimana aku bisa terus menjalani kehidupan ku?"     

Di sisi lain hubungan persahabatan, sangat jauh berbeda dengan milik Nathan dan juga Lisa. Jika kedua sosok itu bisa saling memberikan pemahaman dengan selingan tawa yang selalu berhasil mengalihkan redakan masalah, maka lain halnya dengan apa yang terjadi pada keterikatan yang jauh lebih lama terjalin.     

Di sebuah kediaman minimalis yang seringkali melingkup sunyi. Tak jarang tertinggal sang penghunik, meski kondisinya masih terawat dengan baik oleh orang yang di tugaskan.     

Namun kenyataan untuk akhir-akhir ini berubah dengan sangat drastis, satu sosok lain yang di tarik paksa untuk melingkup dunia pribadi nyatanya sudah mulai jengah dengan sebuah pagar besi yang menghadang pergerakannya.     

Dia adalah Maxime Nandara, seorang pria penguasa yang di tundukkan paksa oleh situasi yang mengikat. Bersamaan dengan posisi dan juga memorinya yang telah melekat erat sebagai seorang saksi.     

Lea memang korban, Max mengetahui dengan pasti jika wanita itu tengah berada dalam kubangan hitam yang menenggelamkannya pada bagian terdasar. Sebagai seorang kawan satu-satunya, ia benar-benar mengetahui jika perannya memang sangat di butuhkan.     

Sebagai tempat sampah untuk segala luapan emosi atau kejengahannya pada dunia, Max masih cukup memahami jika menyangkut perkara itu.     

Namun di tak bisa lantas secara keseluruhan, maksud wanita itu yang di pahami Max malah menyasar tentang hal buruk. Lea yang tak menginginkan dukungan sekedarnya, wanita itu coba menarik Max untuk tenggelam pada realita kehancurannya.     

Jelas saja kecurigaan awalnya semakin menjadi, terlebih dengan ucapan yang terlontar langsung di mulut wanita itu.     

Melemparkan tubuh pada dekapan sang pria, Lea yang masih menitikkan air mata, kali ini jauh lebih parah dengan caranya terisak.     

"Kau ingin bersama dengan pria itu? Jangan pikir aku tak tahu tentang niatan mu untuk menjadikannya milik mu seutuhnya."     

"Nathan, namanya adalah Nathan. Aku tak perlu menyembunyikan apa pun dari mu. Seperti yang kau katakan, kita adalah sahabat."     

"Tapi sahabat tak boleh merasakan bahagia di saat yang satunya merasakan hancurkan, Max?"     

"Tapi tak perlu berbuat sejauh yang aku lakukan sampai detik ini. Aku masih mencoba untuk memahami diri mu sampai sekarang, namun rupanya tak ada satu bagian pun dalam diri ku yang sanggup menerima perbuatan mu. Nyatanya kau terlalu mentah-mentah untuk mengartikan arti hubungan kita sejak awal."     

Deg     

Wanita itu sontak saja bungkam, membiarkan air matanya luruh semakin deras saat di waktu bersamaan dadanya kian sesak.     

Lea pun menjauhkan tubuhnya, menarik diri dengan raut wajah yang nampak tak sangka. Masih terus mengamati keseriusan pria di hadapannya itu. Melarikan fokusnya lebih tajam saat air mata sedikit membuatnya memburam.     

Namun saat yang di katakan Max adalah suatu hal yang memang kebenaran, seketika saja meluluh lantahkan seluruh perasaannya saat ini. Lea sampai tak kuat untuk menahan bobotnya sendiri, tumpuannya kian melemah hingga meringkuk dalam di atas lantai adalah situasi yang terbaik.     

Lea yang terus membujuk penyelesaian dengan pertunjukan penderitaannya, tak pelak membuat Max mengurut pelipisnya yang lantas berdenyut menyakitkan.     

"Le, jangan seperti ini, ku mohon pada mu..."     

"Pergi saja! Hikss... Bukankah berada di sisi ku membuat mu tak bebas? Sana, temui kebahagian mu dan biarkan aku mati perlahan seorang diri. Akhhhh....! Lepaskan aku, pergi saja sana, Max!"     

Pria itu terus saja berakhir dengan luluh, memberikan dekap penenangan meski Lea yang terus saja memberontak.     

Menghempaskan wanita itu di atas ranjang, lantas bergerak menyusup di selimut yang sama. Max yang tak sekali pun melepaskan melepas diri, mengusap surai lembut milik wanitanya, sekedar untuk menenangkan.     

"Kau adalah bagian penting dari hidup ku, Le... Meski ingin, rupanya sedikit pun aku tak pernah membenci sikap mu yang sangat menyebalkan."     

Sedangkan di sisi lain, upaya longgar untuk mendekati seseorang yang begitu istimewa di susupi oleh sosok ketiga. Max yang rupanya memberikan peluang besar itu tanpa sadar. Nathan yang sekali pun tak di tandai dalam suatu hubungan yang resmi, menjadi jalan termudah untuk pria lain yang di lingkup rasa penasaran yang terlalu tinggi.     

Jevin di sana, duduk di atas jok motor dengan sebatang rokok yang terselip di bilah bibir. Membumbungkan asap tipis yang lantas berbaur dengan polusi yang jauh lebih besar. Menjadi semacam rutinitas yang sedikit pun tak membuatnya bosan. Berbaur dengan bising jalanan dengan identik seragam sekolahnya yang tak sekali pun repot untuk di tutupi.     

Sebuah benda kecil menyumpal pada kedua lubang pendengaran, sesekali melirikkan lagu yang di putar terlalu kencang sampai pada kemungkinan besar, gendang telinganya bisa jebol. Namun meski pun di ketahui, tak lantas membuatnya mengantisipasi, dan malah asik mengetuk-ngetukkan kuku panjangnya di kepala motor mengikuti irama yang menghentak.     

Pandangannya sedikit pun tak lepas dari pintu masuk gedung di dekatnya yang banyak orang lalu lalang. Tak lepas membuatnya berdecih, karena dari sekian objek tak juga menunjukkan tampilan seseorang yang di tunggu-tunggu.     

Drrt     

Lagu yang di hayatinya lantas terhenti, menampilkan kontak tersimpan dengan nama bunda. Ya, wanita paruh baya yang amat di sayangi, namun tak cukup membuatnya sebal karena momen penantiannya yang sedikit terganggu konsentrasi.     

"Ya, bunda..." sapa Jevin dengan sangat lembut. Bahkan seolah menempatkan diri di hadapan wanita yang sangat dihormatinya itu. Bibirnya mengulas terlalu lebar, setelah sebelumnya membuat putung rokok dan memadamkan percikan panasnya dengan kaki yang menginjak. Sekali lagi karena penempatan posisinya, sang bunda memang selalu selalu mewanti-wantinya untuk tidak merokok. Dan sudah jelas terlihat, Jevin adalah anak yang badung.     

"Loh, bun... Kenapa belum-belum sudah menghela napas panjang? Kenapa, apa bunda punya masalah?"     

"Sama sekali tak ada masalah dalam hidup ku, jika kau tak secara rutin melimpahnya kepada ku. Selama dua pekan selalu saja ada kelas yang kau lewatkan. Biar bunda menanyai secara langsung, ada urusan apa hingga kau nampak tak punya waktu untuk sekedar duduk manis dan menjadi pendengar yang baik untuk pengajar?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.