Hold Me Tight ( boyslove)

Menghadang lawan



Menghadang lawan

0"Nath, apakah karena jabatan mu tinggi di perusahaan, membuat mu bebas pulang pergi kapan pun?"     
0

"Hemm.... Ini sudah siang, dan aku masih tak bisa untuk menghilangkan kebiasaan malas ku. Lis, aku akan tidur siang di kamar mu."     

"Astaga, Nath! Apa yang terjadi dengan kepala mu?"     

Brakk     

Pergerakan Nathan terhenti, Lisa yang mulanya sibuk berkreasi di dapur, sontak saja langsung melarikan tubuhnya untuk mendatangi kawan prianya itu. Melempar sodet yang mengaduk adonan, gerakannya yang serampangan membuat keletihannya  dari pagi tumpah begitu saja.     

Dengan pakaian yang di lengkapi apron yang sangat kotor, tak lebih parah lagi dengan wajah dan tangannya yang terdapat noda berwarna putih. Lisa benar-benar mengkhawatirkan kawan prianya dari pada kepuasannya membuat kue di dapur untuk saat ini.     

Lisa memutar hadap Nathan dengan paksa, meneliti dengan intens sekujur tubuh pria itu dengan kedua lengannya yang menjelajah, raut wajah yang turut melengkapi kepanikan. Terlebih netranya menatap sumber permasalahan utama yang menonjol. Sontak saja Lisa mencelos, perasaannya yang sensitif membuat netranya memerah dan setitik air mata akhirnya jatuh tak terbendung.     

Nathan pun hanya menatap datar, sudah menjadi perkiraan jika kawannya itu akan melemparkan diri pada dekapannya secara berlebihan.     

"Kau menangisi ku seperti ini, kau pikir aku sedang sekarat, apa?"     

Plakkk     

"Aouhh... Sakit, Lis!"     

Ucapan Nathan langsung mendapatkan lirikan tajam dari Lisa yang benar-benar mengkhawatirkan. Kalimat yang di lontarkan, jelas mendapatkan hukuman pukulan di sana. Pria itu agaknya tak bisa menerka situasi, niat menggoda jelas tak mendapatkan balasan yang baik.     

"Aku mengkhawatirkan mu dan kau malah menganggapnya enteng. Kau benar-benar membuat ku sejenak tak bisa bernapas dengan baik. Tampil berantakan sampai dengan kepala yang di perban. Sungguh, kau tak mendapatkan perundungan dari siapa pun, kan?" ucap Lisa dengan tapak tangannya yang menakup wajah milik Nathan yang memerah karena terlalu tak biasa tersengat matahari terlalu lama.     

Pria itu pun mengulas senyum tipis, menarik lepas lengan milik Lisa dan beralih perhatian untuk bantu mengusap bekas pilu wanita itu.     

"Aku tak apa, tak ada yang berani merundung ku karena aku sudah tampil sangat berkelas dan mahal seperti ini, Lis. Hanya saja kesialan sedang menimpa ku, kejadian tak terduga membuat ku seperti ini. Mengakui kalimat seseorang yang menyebutnya takdir," balas Nathan yang malah sedikit hilang fokus, kejadian beberapa saat lalu yang menariknya, agaknya tak lebih buruk dengan yang di duga. Mendapatkan sejenak peralihan dari kehancuran hatinya?     

Memutar badan setelah memberikan usapan pelan di surai panjang milik Lisa yang berantakan. Meninggalkan kawan wanitanya yang kebingungan. Kenapa Nathan menampilkan raut yang tak sesuai dengan tampilan mengenaskannya?     

"Kau benar-benar tak apa?"     

"Ya, lebih baik kau khawatirkan diri mu saja sendiri. Pemilik apartemen ini sangat galak, Lis... Dan kau malah membuat dapur kesayangannya seperti kapal pecah."     

"Oh tidak! Astaga.... Aku menghancurkan adonan kuenya... Resep bahan dan cara pembuatannya, bahkan sama sekali tak ku hapal..."     

Nathan pun menatap Lisa yang berlarian terlalu aktif, sedikit membuatnya ngilu karena kandungan wanita itu semakin membesar.     

Menggelengkan kepala dengan senyum lebarnya yang terulas, Lisa masih saja mengomel dengan suara khas keibuannya yang sangat berisik. Bunyi gaduh barang-barang pun makin melengkapi kericuhan.     

Nathan yang sedikit mendapat hiburan tambahan, lantas menarik pegangan pintu dan masuk ke dalam kamar yang di tempati oleh Lisa.     

Tak berniat mengganti baju atau bahkan sekedar melepaskan kaos kaki yang masih menempel. Nathan memilih untuk melemparkan tubuh letihnya di atas ranjang yang tertata rapi itu. Menarik selimut, lantas memeluk guling dengan posisi yang meringkuk, tak ingin ambil resiko dengan lukanya di kepalanya yang bisa saja makin parah saat di tekan.     

Tak menunggu waktu lebih lama lagi untuk menyelam mimpi. Kelopak matanya tertutup rapat, napasnya yang kian melemah secara teratur. Melupakan sejenak pikirannya yang menganggu, ia hanya sedang butuh beristirahat dengan tenang.     

Di waktu yang sama dengan tempat yang berbeda. Seorang pria nampak memasuki sebuah cafe yang berderet dengan tempat ruko yang lainnya. Setelan mahal dan perawakan atletis yang mendukung, lekas menjadi bintang utama untuk seluruh pemilik pandang yang sudah menempati bangku pemesanan masing-masing. Rupanya yang sangat menawan dengan garis rahang yang tegas, kacamata hitam dengan merek terkemuka, tak lagi bisa menahan diri untuk memperdengarkan pekikan kekaguman yang mengomentari sekujur tubuh.     

Suasana tenang seketika saja riuh, lebihnya para wanita yang sudah berjingkrak kesenangan dengan niatan sama untuk mendekati. Para pria yang tak sekali pun bisa berkutik, kekaguman bahkan tak bisa untuk sekedar di tutupi dari cara pandang yang turut mengekor pada pergerakan sang bintang yang hadir tak terduga, netra yang terbelalak dan mulut menganga lebar.     

Semua orang jelas menaruh kekaguman, namun rupanya tidak untuk seorang pria berperawakan mungil yang duduk sendiri itu. Kepalanya mendongak, kelopak matanya menyipit fokus dengan sedotan yang sontak terlepas dari bilah bibirnya.     

"Anda siapa?"     

Mendengar kalimat pertanyaan awal yang terlontar, malah membuat pria jangkun itu menarik satu sudut bibir membentuk seringai.     

Pria mungil itu pun jelas tak habis pikir, terlebih dengan seseorang yang yang tanpa izin menarik bangku kosong di hadapannya.     

Dahinya mulai berkerut dalam, matanya memicing tajam dengan bibir kemerahannya yang terkatup rapat. Pria yang menarik perhatian seisi ruangan itu sudah membuka keseluruhan tampilan rautnya. Jauh lebih mengagumkan dengan netra berwarna hijau keabuan yang bersembunyi di kacamata hitamnya sejak awal.     

"Maxime Nandara."     

Hanya balasan singkat yang di lontarkan pemilik wajah dingin itu. Bahkan untuk sekedar lengan terulur untuk menjabat perkenalan, pria mungil itu tak melihat adanya sedikit pun kesopanan karena telah menempati bagian tempat yang di harapkan seseorang untuk menempatinya.     

"Ku rasa kau salah menemui seseorang, tuan. Aku tak sedang membuat janji dengan orang asing. Lagi pula kursi yang anda tempati itu sudah ada pemiliknya, aku sedang menunggu kekasih ku untuk datang."     

"Rian Fahreza, apakah itu benar nama mu?"     

Pria mungil itu makin tak memahami situasi yang di hadapkan padanya saat ini. Seseorang yang tampil dengan sempurna tiba-tiba saja datang padanya. Sama sekali tak bisa menerka sebab, terlebih dengan identitasnya yang di ketahui.     

"Apakah kau salah satu utusan kakek ku?" tanya Rian yang tiba-tiba saja terbesit kekhawatiran tersendiri.     

Ia sudah terlalu lama menghilang, mengusahakan diri dengan sisa uang yang makin menipis. Orang-orang suruhan kakeknya itu yang jelas menjadi perkara utama yang di hindari. Rian masih pada pertahanannya untuk menanti cinta kekasihnya lagi.     

Tubuh kecilnya otomatis condong ke depan, tak ada keraguan lain untuk memberikan tuduhan pada pria yang duduk di hadapannya itu.     

"Apa kau pikir aku cocok menjadi seorang pesuruh? Bahkan tak ada seorang pun yang dengan beraninya menghadap ku secara tak sopan seperti mu."     

Balasan dari pemilik suara bariton itu membuat Rian sedikit ketakutan. Tubuhnya yang seketika saja menciut, seolah melupakan posisi yang menjadi pengganggu tak sopan sedari awal.     

"Selamat siang, tuan..."     

Untung saja seorang wanita datang dan menyela kecanggungan, Rian memanfaatkan itu untuk membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba saja menjadi sangat kering.     

"Uhuk-uhukk!"     

Rian membelalakkan mata, secepat kilat di jemput dengan rasa sakit yang menyerang batas kerongkongannya. Kejadian memalukan turut di saksikan. Wanita yang mengenakan seragam putihnya itu membungkukkan tubuh secara berlebihan, di hadapkan tepat pada posisi Max, payudaranya yang tumpah akibat deret kancing teratas yang sengaja di buka beberapa.     

Pria jangkun yang sedikit pun tak terlihat menaruh minat, makin menunjukkan sisi keburukannya yang seolah sudah melekat. Menarik beberapa lembar uang dengan pecahan tertinggi dari dalam dompetnya, dan dengan santai menyelipkan itu di bagian privat sang wanita.     

Kepala Max menoleh singkat, hanya untuk memberikan penjelasan pada sang pelayan yang malah nampak kesenangan dengan posisi tubuh yang tetap semula.     

"Payudara mu sayang indah, hanya saja akhir-akhir ini aku sedang tak berminat untuk sekedar meremas daging kenyal itu. Terimakasih tawaran mu, dan aku tak berniat memesan apa pun."     

Rian yang kali ini menganga lebar, pandangannya balas menatap pria di hadapannya itu. Hanya di lingkup privasi dengan seorang pelayan wanita yang mendapatkan untung. Sentuhan yang sangat ringan mengenai bagian payudaranya, dan yang lebih baiknya lagi uang yang menjadi tambahan.     

Beberapa pengunjung di sekitar pun malah lebih terpesona, menatap iri dengan pelayan wanita yang mendapatkan pelecehan.     

"Salah satu keistimewaan pria tampan," ucap Rian dengan lengannya yang refleks memijat pelipis. Terlebih Max yang malah balas memberinya seringai menyebalkan.     

"Jangan repot-repot memberikan pujian untuk ku, sedangkan kau masih belum menyadari niatan ku untuk menemui mu."     

Rian masih menjadi pengamat, menanti pria jangkun yang kali ini merogoh saku dalam jas hitamnya.     

"Kau mengenal benda ini, kan? Merek yang pasaran, hanya saja tampilan khusus dengan hiasan karakter kartun di belakangnya."     

Deg     

Seketika saja Rian langsung bungkam. Jantungnya berdebar lebih kencang dengan sekujur tubuhnya yang melemas. Hanya untuk sekedar meneguk liurnya saja, pria mungil itu amat kesulitan hingga netranya yang sontak berkaca.     

Rasa rindu seperti langsung melesat tak tertahankan. Bayangan tentang kehadiran seseorang yang di harapkan membuatnya sontak menelan kekecewaan. Serentak dengan susupan kekhawatiran yang turut di hadirkan.     

Ponsel yang milik berada di genggaman tangan pria asing itu jelas di kenal. Yang terkasihnya jelas saja menjadi pemilik.     

Netra berkacanya sontak saja beralih objek intens, memandang tajam pada seorang pria yang sangat lancang di hadapannya.     

Tak lagi bisa untuk menghadap dengan ketenangan. Emosinya masih terus di pancing dengan Max yang kali ini malah mengotak-atik ponsel dan menunjukkan deretan pesan yang di kirimkan oleh Rian secara berutun.     

"Siapa kau, kenapa bisa memegang ponsel milik Nathan seperti itu? Jangan beralasan kalau kau saudaranya, karena ku tahu kekasih ku itu adalah anak tunggal," tanya Rian dengan suaranya yang lirih dan bahkan sangat bergetar. Berusaha untuk tak menyangka macam-macam, namun teralih terus buruk saat raut culas terus di perlihatkan oleh pria jangkun itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.