Hold Me Tight ( boyslove)

Satu tujuan untuk memiliki



Satu tujuan untuk memiliki

0"Katakan pada ku, siapa diri mu!" sentak Rian yang sontak saja langsung menarik perhatian seluruh pengunjung. Suaranya meninggi, tak dapat di cegah dengan volumenya yang turut mengeras.     
0

Wajah kecilnya benar-benar sangat merah. Rahangnya mengetat dengan suara gemelutuk giginya yang mengerat. Hawa dingin langsung saja menyeruak, bayang-bayang hitam di belakang tubuhnya turut mengelamkan suasana.     

Lengan kecil yang menumpu di atas meja itu terkepal dengan sangat erat. Sedikit pun tak beralih objek dari pria asing yang hanya datang untuk mengusik.     

Max yang di bentak jelas saja tak berpengaruh sedikit pun. Dengan nyamannya, ia malah menyandarkan tubuh dan menggulirkan ibu jarinya pada layar ponsel.     

"Selain kenyataan Nathan adalah anak tunggal. Kau juga sudah mengetahui alamat tinggalnya? Oh ya, bahkan tak lupa dengan berita penting atas usaha mu yang tak tau malu sedikit pun, memberitahukan hubungan yang kalian jalin dengan mama Nathan?"     

Seolah tak cukup membuat keterkejutan dengan kehadirannya, kali ini Max makin bertindak lebih jauh dengan memaparkan segala perbuatannya yang di lakukan oleh Rian. Sekalinya menunjukkan bukti, kali ini bahkan pesan gambar lampau yang menunjukkan rumah mewah dengan seorang wanita paruh baya yang bergerak semakin dekat pada bidikan kamera.     

Rian hanya terdiam, masih menerka sasaran dari pria jangkun di hadapannya itu. Sejalan dengan Max yang tak ingin lebih lama berbasi-basi. Keduanya pun saling pandang dengan pancaran kebencian yang tak sungkan untuk di balaskan.     

"Jauhi Nathan."     

"Sudah ku tebak maksud mu yang datang langsung memberondong untuk mengomentari usaha keras ku. Tapi memangnya siapa diri mu? Apakah orang luar berhak untuk mengusik hubungan yang telah terjalin?"     

"Nathan bukan lagi kekasih mu saat dia memutuskan untuk tak lagi berminat menemui mu,"     

Max menjeda ucapannya, masih meneliti intens raut wajah yang penuh kesakitan itu. Sedikit lagi menemui kemenangan.     

Tak bisa lagi menahan diri untuk menyimpan serangan yang lebih mematikan, Max pun menyimpan kembali ponsel milik Nathan dan mengalih pada senjata lanjutannya.     

"Tak perlu ku jelaskan tentang ekspresi wajahnya yang sangat menggairahkan," lanjut Max dengan menunjukkan potret wajah seorang     

pria yang tengah berbaring di ranjang dengan ekspresi wajah menahan sakit.     

Jelas memang sangat ampuh, Rian yang kali ini tak bisa lagi menahan air matanya yang mengalir deras tak terbendung. Tubuhnya melemas, bahkan makin meringkuk pada posisi duduknya saat ini.     

"Nathan adalah kekasih ku," lirih Rian dengan isakan tangisnya yang tak tertahankan. Tak mempedulikan orang lain yang menjadikannya tatapan intens, sekali pun Max yang malah makin gencar untuk menindas habis.     

Sebuah video erotis lantas di putar, volume di rendah yang di sasarkan pada satu orang. Tentang bagaimana pergerakan yang tak stabil, seorang pria yang nampak bertelanjang dada dan tengah menaik turunkan tubuhnya.     

"Apakah Nathan yang kau maksud adalah yang ada di dalam video ini? Pria yang memberikan ku kesenangan di atas ranjang kapan pun aku mau?"     

"Bangsat!"     

Brakkk     

Max yang tak pelak menunjukkan wajah dinginnya sekali lagi. Rian yang layaknya penghardik dengan jarinya yang menunjuk geram. Bangku yang didudukinya, bahkan jatuh terjungkal akibat pria mungil itu yang tak bisa menahan diri untuk perlawanannya.     

Membenarkan kancing jasnya yang terbuka, pria jangkun itu pun lantas bangkit mengikuti posisi Rian saat ini.     

Telapak kakinya yang terbalut sepatu kulit berwarna hitam itu pun di ketukkan, melangkahkan mendekat pada posisi Rian yang mencoba untuk     

tak gentar.     

Max mendekatkan bibirnya pada pendengaran Rian yang masih mematung, memberikan peringatan akhir yang tak bisa di elak.     

"Pastikan untuk memutuskannya jika hari mu sedikit beruntung untuk bisa bertemu dengan Nathan. Yang harus kau pertimbangkan, bukan lagi obsesi mu untuk mengikatnya dalam suatu hubungan,"     

Max menghentikan ucapannya, menatap balas pada Rian yang menolehkan pandang. Mengulas senyum tipis, satu lengan pria jangkun itu pun terangkat untuk menepuk pelan tubuh belakang milik pria mungil itu.     

"Dia memang masih tetap ada di posisi dominan, namun tak lagi bergerak untuk memasuki sebuah kenikmatan sempit. Kejantanannya tak lagi mengejar titik terdalam tubuh mu, alih-alih miliknya yang berkedut untuk menggoda ku terus memuaskannya. Ku harap kau sudah mengerti, dan menyerah untuk mu adalah jalan satu-satunya,"     

Sekali lagi, Max pun menunjukkan kelicikannnya dengan cara terselubung. Bibirnya mengulas senyum tipis, matanya lantas mengerling sebagai kesan pertemuaan baik yang terakhir.     

Membalikan tubuh, Max meninggalkan kekacauan yang di buat. Mengenakan kacamata hitam untuk menutup cahaya matahari yang menyengat terlalu intens, menampilkan dirinya yang jauh lebih sempurna di setiap pandang yang menyasarnya.     

"Kita kembali ke kantor, tuan?"     

"Aku ingin ke apartemen ku. Entah karena apa, di hari pertamanya kerja sudah menemui hambatan."     

Max pun memasuki mobil mewahnya berwarna hitamnya kali ini. Menempati bangku di bagian belakang, lantas menanti perjalanan yang terasa sangat lama jika untuk menemui seorang pria pujaannya.     

Pandangannya menyusur pada jalanan besar yang sangat ramai, banyak hal mengagumkan dengan segala usaha yang di rintis. Tercermin dengan jajaran gedung tinggi yang saling menyaingi.     

Miliknya yang tak bisa di elak menjadi yang paling berhasil. Kerja keras dan juga kegigihannya untuk mengembangkan usaha menjadi bercabang.     

Tak di rasa Max terlalu sulit untuk melakukan itu semua, karena sejak awal ia amat sangat menyakini kemampuan dan juga cara cerdasnya.     

Namun hanya menyangkut perkara hati, Max seakan berubah seratus delapan puluh derajat. Ia merasa tak mampu untuk mengambil cinta Nathan hingga kekhawatirannya terus menghantui buruk. Mengekang dan memberikan aturan yang di akuinya sangat egois, hanya cara itu yang terlintas di dalam dirinya yang sangat kaku dan dingin.     

Nathan hanya untuknya, ikrar untuk merealisasikan hal itu menjadi nyata kian menggebu. Menyingkirkan segala yang di anggapnya menghambat tujuan, kiranya hal itulah yang di lakukan olehnya tadi. Berusaha membunuh peran yang merupakan saingan terberatnya.     

Semakin dekat dengan yang di rindu, langkah panjangnya makin di percepat tanpa mempedulikan sapaan belagak kenal dekat. Memasuki bilik besi yang menghantarnya semakin cepat ke letak gedung tertinggi.     

Tak lagi membuang waktu, Max langsung memasuki bilik ruangannya setelah sampai.     

"Kemana Nathan?" tanya Max pada Lisa yang tersentak dengan suara pintu yang di tutup kasar.     

Buru-buru menelan buah apel yang di lahapnya, Lisa lantas berdiri dari duduknya di sofa ruang menonton itu. Max masih menunggu, rautnya yang sangat dingin jelas-jelas tak bisa mentolerir waktu lebih lama lagi untuk menanti suara yang keluar dari bibir yang hanya buka tutup tak berguna.     

"Apakah berguna untuk menanti balasan mu?" ulang Max dengan suaranya yang sangat dingin. Rautnya yang praktis menampakkan geram, terlebih dengan posisi lengan Lisa yang menunjuk keberadaan Nathan.     

"Nathan sedang beristirahat, dia ingin tidur siang," balas Lisa dengan tergagap.     

"Aku coba untuk tak berpikir terlalu jauh tentang kedekatan mu dengan pria milik ku."     

Sontak saja, Lisa tak bisa melanjutkan fokusnya untuk meneliti acara masak di layar kaca. Max yang menatapnya dengan sangat tajam, terlebih dengan ancaman yang masih terus berdengung walau sang pemilik suara sudah memasuki ruang tertutup.     

Nathan benar-benar ada di dalam kamar yang di peruntukkan sementara untuk Lisa. Menempati ranjang dengan tubuhnya yang di balut keseluruhan oleh selimut tebal.     

Sesaat Max hanya diam tak berkutik di tengah ruang, berusaha meredam kecemburuan yang lagi-lagi tak bisa di kendalikan dengan baik.     

Cukup pada tadi ia mengeluarkan suara bernada tingginya, Max sudah tak lagi tahan untuk melihat Nathan yang menampilkan raut penuh kebencian.     

Memejamkan mata sekejap, merilekskan tubuh kakunya dengan coba mengatur pernapasannya yang menderu.     

Langkahnya pun mulai beranjak pelan, tak berniat mengusik waktu istirahat milik Nathan. Setelah makin dekat, pria jangkun itu pun menempatkan diri di samping Nathan yang berbaring membelakangi.     

Lengannya terangkat, lantas mengusap surai yang lembut milik Nathan yang sedikit bagiannya terbalut kassa.     

"Ada apa dengan kepala mu?" tanya Max saat Nathan yang sudah terusik sejak beberapa saat lalu itu membuka kelopak matanya.     

Nathan hanya terdiam, masih tak berniat untuk membalik pandangan atau sekedar membalas pertanyaan. Max masih menorehkan bekas luka karena kejadian pagi tadi. Di rasa terlalu cepat pula untuk menanggapi baik atas sikap buruk yang telah di dapat.     

Ya, pada dasarnya orang seperti Nathan ada sosok yang paling di hindari oleh Max sejak dulu. Ia yang sama sekali tak bisa menerka keinginan hati, layaknya di todong cepat dengan protesan bungkam yang di lakukan Nathan saat ini.     

Terkadang memang seseorang di tundukkan oleh sesuatu yang mereka benci, begitu juga dengan usaha Max untuk merendahkan sedikit egonya lagi.     

Menghela napas panjang, pria jangkun itu lantas menyusup di ruang sempit yang ada di belakang Nathan. Tak terlalu repot untuk melepaskan setelan rapinya yang merubah suhu semakin panas, Max malah memeluk erat tubuh pria yang amat di     

cintainya itu.     

Wajahnya menyusup, mencium bagian leher milik Nathan yang rupanya masih mengenakan setelan lengkap sepertinya.     

"Bau matahari, apakah kau jalan kaki untuk pulang? Wajah mu sedikit memerah, sayang..."     

Memaksa pandang, walau lengan Nathan terus mendorongnya menjauh.     

Cupp     

Max malah membalas raut memberenggut milik Nathan dengan kecupan bertubi di pipinya. Tak bisa terlepas atau pun sedikit saja menghindar, lengan sang dominan sudah mendekap dengan sangat erat yang terkasihnya.     

Nathan yang jelas tak bisa di usik, terus meronta untuk mengusahakan dirinya terlepas.     

Bughh     

Hingga akhirnya jalan kekerasan lah yang di haruskan. Lengan terkepal milik Nathan menghantam tetap pada batang hidung milik pria berparas oriental itu.     

"Apakah kau mau menambah daftar menyebalkan diri mu di hidup ku?"     

Marah benar-benar marah, posisi yang sudah bangkit dari baringannya, kali ini menuding protes tepat ke arah Max yang tengah meringis kesakitan.     

"Aku mendekati mu hanya untuk meminta maaf atas perbuatan buruk ku tadi. Tapi lihatlah, apa yang kau lakukan sebagai balasannya."     

"Minta maaf, untuk apa? Toh, kau akan melakukanya lagi, kan?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.