Hold Me Tight ( boyslove)

Bisa di sebut takdir?



Bisa di sebut takdir?

0"Nath, agaknya kalau kita bergandengan tangan di atas altar pernikahan menjadi suatu pemandangan yang menakjubkan."     
0

"Jangan mengada-ngada, aku tak pernah sekali pun berminat untuk bersaman dengan wanita, apalagi itu diri mu."     

"Hei, memangnya kenapa dengan ku? Waktu sekolah aku sudah menjadi seorang primadona dan incaran siswa populer, mustahil jika aku tak memiliki segi daya tarik yang kuat. Jangan coba meremehkan aku dengan kata perbandingan terjauh mu itu, ya..."     

"Agaknya kau menaruh hati pada ku ya, Lis? Tapi dengan penyesalan yang terdalam aku harus kembali mengingatkan mu lagi. Aku adalah seorang gay, sedikit pun tak tertarik dengan seorang wanita."     

"Hemm... Waktu awal kau bertemu dengan ku, kau nampak tak se yakin saat ini. Apa karena Max? Keahliannya di atas ranjang dan memuaskan mu dengan begitu baik, apakah itu alasannya?"     

"Jangan konyol, Lis!"     

"Wajah mu sudah sangat merah... Tak ada gunanya untuk mu mengatakan kebohongan pada ku. Mengaku akan jauh lebih baik. Sekarang katakan pada ku!"     

"Katakan apa?"     

"Bagian dari tubuh Max mana yang membuat mu paling bergairah?"     

"Lis, ku harap kau tutup mulut mu atau setidaknya kecilkan volume suara mu. Demi apa pun, kita ada di tempat umum, apakah memang niatan mu untuk menyebarkan orientasi seksual ku?"     

"Tak ada yang mengenal kita di sini. Ayolah, Nath.... Jangan terlalu tegang dalam menjalani hidup, seharian ini kita harus bersenang-senang. Tarik kedua sudut bibir mu dan jangan pedulikan pandangan sekitar. Katakan pada karena aku sudah sangat penasaran, tubuh atletisnya yang eksotis secara keseluruhan, atau kau lebih menyukai bagian intinya? Misalnya kejantanan milik Max yang nampak selalu menggembung di balik celana kain ketatnya? Hhahha...."     

Nathan seketika saja bungkam, menarik kedekatan jarak dari Lisa yang seakan tak pernah kehabisan topik pembicaraan.     

Wajah Nathan sudah sangat panas walau matahari masih menunjukkan kuasa tak lebih dari sebagian. Angin kencang yang turut menerbangkan dedaunan kering yang rontok, seakan tak sedikit pun berpengaruh baginya.     

Pembicaraan menyangkut Max, seakan tak bisa menghilangkan sedikit pun bagian identiknya. Rangsangan seksual atau semacamnya, terdengar menggelikan jika lawan bicaranya adalah wanita yang tak waras itu.     

Lisa yang mengulas senyum lebar, nampak sangat menikmati suasana dengan kedua lengannya yang membentang. Memejamkan mata, membiarkan tubuhnya di hantam angin kencang dari arah yang berlawanan. Rumbaian baju terusannya pun mengibar, helai rambut hitam panjangnya yang terurai mengikuti.     

Nathan yang menjadikan wanita itu sebagai objek intens, tak pelak mengulas senyum, tak bisa menaruh emosi terlalu lama pada kawannya itu. Wanita kuat yang memanfaatkan penuh kebebasannya, mensyukuri kesempatan yang datang seminim mungkin. Kebahagiaan yang di dapatkannya dengan cara yang paling sederhana sekali pun.     

"Takdir membawa kita untuk bertemu lagi. Dan kali ini aku berkesempatan untuk bisa memanggil nama mu, Nath."     

Deg     

Debar jantung Nathan seolah berhenti setelah sentakan kuat terasa sampai batas rusuknya. Pergerakan tubuhnya terhenti, seakan waktu terhenti untuk sepersekian detik. Keramaian di sekitar seolah senyap seketika, bagian teraneh saat hembusan angin lebih mendominasi dengan dengung suara yang mengulang.     

Tak ingin menerka hal yang sudah dapat di pastikan, ia bahkan masih dengan jelas mengingat suara yang menyeruakkan kejahilan di satu waktu. Hanya saja Nathan memang sedang tak ingin berhadapan atau kembali berurusan dengan orang-orang yang tak penting di hidupnya.     

Memilih untuk mengabaikan, Nathan pun menarik senyumnya lepas untuk Lisa yang mengalihkan intens padanya dengan raut kebingungan.     

"Pertemuan ke tiga, jangan menambah ingkar dengan lagak tak peduli mu saat ini."     

Langkah Nathan terhenti, refleks pandangnya untuk melihat hambatan yang di dapatkan. Sebuah lengan mencekal erat pergelangan tangannya, sorot pandang tajam kemudian menyita keseluruhan.     

Raut wajah yang jelas saja masuk dalam jajaran orang yang terpaksa di kenal, dengan ciri khas tarikan sudut bibirnya yang terlihat begitu menyebalkan.     

Nathan pun melemparkan pandang ke arah objek berlawanan, tak bisa terlalu lama untuk berbalas intens dengan sosok baru di dalam kisahnya itu. Rahangnya kontan mengetat, gertakan dari giginya yang mengerat menjadi penyebab. Nathan sangat benci dengan dirinya yang terkesan lemah hingga semua orang dengan mudah mendominasi, ia tak bisa melepaskan diri dari pria itu. Menjerit untuk meminta tolong adalah bagian paling memalukan setelah merendahkan diri hanya untuk permohonan melepaskan diri pada sosoknya secara langsung.     

"Jangan melulu menyangkut pautkannya dengan takdir, karena tak akan secepat itu di rencanakan. Bilang saja kalau kau menyalahinya dengan perbuat mu, kau membuntuti ku, eh?" sentak Nathan dengan dagu yang terangkat tinggi. Dadanya membusung untuk setidaknya bisa di mengerti oleh remaja itu jika ia bukan orang yang tepat untuk di ajak basa-basi dalam permainan konyol.     

Namun pria yang ada di hadapannya itu seperti sudah berniat sejak awal untuk mengusik hidupnya. Tak kenal gentar meski Nathan yang dengan terang-terangan sudah mendorong jauh. Jevin masih saja menampilkan raut wajah yang sangat menyebalkan.     

"Jangan membuat ku murka hingga aku yang tak akan lagi mengontrol diri untuk menghantam wajah menyebalkan mu di depan umum. Dasar penguntit!" peringat Nathan dengan mengacungkan jari tengah tepat di depan wajah remaja pria itu.     

"Hei, kenapa kau masih saja menganggap ku orang asing walau kita sudah saling kenal? Menuduh ku penguntit? Sungguh, Nath... Apakah aku nampak seperti orang yang kurang kerjaan?"     

"Terlihatnya memang seperti itu. Dengan cara kedatangan mu yang tepat dan menggenggam pergelangan tangan ku terlalu erat. Sungguh, jangan menyeruakkan aura kegirangan mu saat ini, kau nampak seperti seorang penggemar yang berhadapan dengan idola."     

Jevin yang lantas menggigit bibir bawahnya yang bergetar, berhadapan dengan sosok pria yang lebih tua tak di sangka malah akan menempatkannya pada posisi yang lebih dewasa. Nathan benar-benar terlihat sangat menggemaskan, caranya membalas ucapan jahil dengan protesan panjang lebar adalah bagian utama. Bagaimana wajahnya yang sontak memerah padam, hembusan napasnya yang menderu, serta ekspresi bersungut-sungut yang malah membuatnya tertarik?     

"Lupakan, aku bahkan sangat membenci untuk menjadi pusat perhatian. Yang ku harap, kau melepaskan ku dan kita buat pertunjukan yang sama sekali tak menarik ini usai. Bagaimana, penguntit?" tawar Nathan dengan nada bicara yang di usahakan sangat lembut. Pandangannya terangkat untuk menyesuaikan intens, kelopak matanya di usahakan untuk berkedip lebih cepat, menghilangkan niatan mendesaknya untuk melotot.     

Jevin pun membalas senyum paksaan Nathan. Tubuhnya sedikit mengalih, merapat pada posisi pria dewasa itu dengan menuding sebuah bangunan.     

"Kau melihat tulisan besar di sana? Ya, sama dengan tanda pengenal di seragam yang aku kenakan. Ini masih lingkungan sekolah ku, jika aku di perkenankan untuk beranggapan seperti diri mu, aku yang dalam posisi tepat untuk menuduh. Dasar penguntit!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.