Hold Me Tight ( boyslove)

Niatan baik yang lebur di pagi hari



Niatan baik yang lebur di pagi hari

0"Lagi, kau membahas tentang kecemburuan mu yang tak berdasar seperti kemarin malam?"     
0

"Karena kau tak bisa ku peringati, apa memang itu salah satu metode mu untuk menyulut kecemburuan ku? Lantas kita yang berakhir dengan percintaan panas?"     

"Bahkan tanpa menyangkut hal ini sekali pun, bukankah kita hanya sampai pada pemuasan gairah masing-masing?"     

Citttt     

Mobil terhenti, sejalan dengan mulut pria berparas oriental itu yang malah bungkam. Tak lagi ada penahanan dari suara Nathan yang takut membuat dua orang di depannya merasa terganggu, terlebih dengan topik pertengkaran yang sesungguhnya sangat di rahasiakan.     

Max yang selalu ingin menang dengan keinginan yang semakin muluk-muluk. Nathan jelas saja bertambah makin jengah. Ia bukan orang yang suka di atur, dan pria jangkun itu selalu saja menarik seluruh kebenciannya. Dengan kuasa yang lagi-lagi di kendalikan, membuat Nathan yang seakan dihempaskan jatuh ke posisi rendahnya.     

Masih berpandangan dengan netra yang saling menyorot tajam, hawa panas yang menyeruak yang masih saling di lemparkan.     

Nathan yang jelas saja paling lemah, pandangannya teralih lantas menghembuskan napas kasar. Tubuhnya menyandar penuh, telapak tangan terbukanya menutup wajah dan mengusiknya kasar.     

Max masih memperhatikan setiap pergerakan Nathan dengan tatapannya yang intens. Sedikit membuatnya menyesal saat pria yang di cintainya itu, menampilkan wajah lesu dengan netra jernihnya yang memerah.     

Hanya sekejap, Max di kembalikan pada emosinya yang meletup-letup saat Nathan mengatakan serangkaian kata yang begitu sangat menyakitkan untuknya.     

"Kita bukan seperti yang kau harapkan sejak awal, sudah jelas dengan cara ku memposisikan mu di hidup ku. Ingat Max, di sini aku yang memegang kendali, kau yang menggilai ku. Jika aku pergi begitu saja dari mu, itu karena kau yang sudah tak ada istimewanya lagi untuk ku, Max. Camkan itu!"     

Nathan pergi setelah itu, sama sekali tak menoleh untuk memandang Max yang menatapnya nyalang.     

"Brengsek!" umpatnya kasar dengan geraman marah. Max salah kira jika mendapatkan Nathan adalah hal yang mudah, lebih dari itu bahkan tak sedikit pun mampu untuk menggoyah pertahanan pria itu sekali pun.     

Nathan di sisi lain, masih menguasakan diri untuk menahan emosinya yang tersulut. Max salah kira jika tunduknya ia saat persetubuhan mereka dapat di sama ratakan dengan kehidupan keseluruhannya. Ia tak mudah untuk di kekang begitu saja, sejenak Nathan melupakan dirinya yang sangat di butuhkan oleh pria itu, baik cinta atau pun tubuhnya.     

Melenggangkan langkah dengan pandangan setiap orang yang tak lepas intens darinya. Calon penerus perusahaan yang tak menunjukkan batang hidung selama hampir tiga pekan, kali ini muncul dengan pesonanya yang menarik hati. Lebih dari sebelumnya, kegagahan dan juga raut wajah yang dingin makin menambah daya tarik.     

"Selamat pagi tuan Nathan. Apakah kabar anda baik?"     

"Ah ya, tak usah terlalu formal pada ku."     

Seorang pria paruh baya dengan beberapa orang di belakangnya datang menyambut. Memberi salam hormat, dengan tubuhnya yang di bungkukkan sembilan puluh derajat. Bagian ini yang sejak awal tak di sukai oleh Nathan, ia bukan orang yang gila hormat malah alih-alih membuatnya kikuk saat dihadapkan.     

"Ehmm... Tak usah mengikuti ku, aku masih hafal dengan ruangan ku."     

"Baiklah tuan Nathan."     

Menghela napas panjang, lengannya terangkat lantas memijat pelipisnya yang tiba-tiba saja berdenyut sakit. Hari masih terlalu pagi, bahkan hawa dingin masih di rasakannya saat ikut  campur dari sinar matahari belum sepenuhnya mengambil alih suhu. Sudah diterpa masalah yang bertubi, suasana hatinya sudah benar-benar hancur. Sungguh, tak di harapkannya untuk mendapat serangan yang mengejutkan lagi. Terlebih saat ini ia harus bertemu tatap dengan sang mama, kan? Ya, itu yang utama.     

Mempersiapkan diri sebaik mungkin, ia bahkan sudah merapalkan diri untuk tak menjadi seorang pria yang kekanakan lagi. Keadaan yang mungkin saja masih tak mempertemukan titik baik untuk pembukaan komunikasinya dengan wanita yang melahirkannya itu. Nathan masih berusaha untuk memahami sampai dengan detik ini.     

Untuk merilekskan diri sejenak, ia pun berniat menggoda sang kawan yang ada di devisi pemasaran. Wajah Tommy yang serius saat menatap layar kerjanya, benar-benar sangat konyol. Dahinya yang berkerut dalam, mata yang memicing tajam, raut wajah kaku dan juga bibir yang di katupkan terlalu erat. Hanya dengan membayangkanya saja membuat Nathan terhibur.      

Menghentikan bilik besi yang tertulis khusus di tempati eksklusif di lantai gedung nomor lima, Nathan pun melangkahkan kakinya dengan terburu-buru di sepanjang lorong, tujuan yang di sasar masih begitu sangat di hapalnya. Bagian paling ujung dengan kubibel yang berderet.     

Mengintip di balik pembatas kaca, namun rupanya meja milik Tommy sudah diisi oleh orang lain. Dahinya makin berkerut, pandangannya menyipit untuk meneliti orang-orang yang menghadap pekerjaan mereka penuh dengan konsentrasi, dan Tommy yang masih tak terlihat.     

"Selamat pagi, tuan Nathan!"     

Sebuah suara yang menyapa membuat Nathan tersentak. Pandanganya teralih pada seorang pria yang terlihat sebayanya, mengenakan tanda pengenal sebagai ketua dari team milik Tommy.     

"Ehmm... Begini, kau tahu aku punya seorang kawan di sini, kan? Namanya Tommy, kenapa dia tak ada, apa sedang mengambil cuti?"     

"Maaf sekali lagi, tuan Nathan. Saya rasa anda terlewat untuk mengetahui kabar pemutusan kerja saudara Tommy."     

Nathan yang masih mencoba menjernihkan pendengarannya yang mungkin saja salah tangkap. Tommy yang sudah tak lagi bergabung di perusahaannya, bagaimana mungkin bisa? Sungguh, ia tahu jika kawannya itu sangat kental dengan pemberontakan dan juga permasalahan gairahnya yang seakan tak bisa di tahan, tapi rasanya Tommy tak pernah berani untuk mencampur adukkan kenakalannya dengan urusan yang menyangkut masa depan. Lagipula kenapa kemarin saat mereka bertemu di klub malam kawannya itu tetap diam seolah tak terjadi permasalahan apa pun?     

"Boleh tahu alasan pemecatannya?"     

"Maaf, tuan Nathan. Rasanya saya tak ada hak untuk berbicara."     

"Aku sedang tak membuatkan mu sebuah pilihan, aku sedang mendesak jawab pada mu! Apa dia membuat semacam perkara yang dapat mencoreng nama baik perusahaan?"     

"Sebenarnya tak ada sama sekali pelanggaran yang di lakukan, keputusan waktu itu di titahkan oleh nyonya Rara."     

Sudah benar-benar lebur, hari ini memang layaknya kesialan yang bertubi untuknya. Max yang masih tak habis dengan ke posesifannya yang tak mengenal batas, tentang kembalinya ia pada lingkup keseriusan yang penuh aturan, dan kali ini terenggutnya seseorang yang diharapkan bisa membuatnya sedikit tenang di gedung besar ini.     

Lagi-lagi, yang menjadi perkara adalah wanita paruh baya yang masih sekali pun belum ditanggapinya dengan kedekatan serius. Masih dengan niat dan upaya yang di usahakan. Jika seperti ini, apakah memang masih ada sela di hatinya untuk membuka diri?     

Wajahnya menjadi sangat dingin, rahangnya mengetat sejalan dengan giginya yang bergemelutuk keras. Napasnya memburu, sekujur tubuhnya lagi-lagi terpancing emosi yang membakar diri. Lengannya terkepal erat, langkahnya melenggang pergi dengan hentakan keras, sama sekali tak mempedulikan pria yang telah memberinya informasi. Satu-satunya tujuannya saat ini, melanjut ke deret lantai tertinggi untuk mendatangi wanita paruh baya yang kali ini tak ragu di katakan, jika Nathan sangat membencinya.     

Brak     

Tepat di sebuah ruangan dengan petunjuk jajaran tertinggi. Dengan tak sopannya, Nathan yang tanpa permisi, bahkan membuka pintu dengan mendorongnya kasar hingga terjerembap lebar.     

Seorang wanita yang duduk di meja kebesarannya yang menjadi fokus utama. Nathan menatap balas dengan sangat tajam untuk Rara yang memancarkan raut sendu.     

"Sayang, kau kembali, nak?"     

Nathan hanya mematung di tengah ruangan besar itu, sama sekali tak ada gairah kerinduan yang membuncah selayaknya Rara yang lekas berlari mendatangi dan memeluk dengan sangat erat.     

Isakan tangis terdengar, bahkan Nathan merasakan usapan telapak tangan Rara di belakang tubuhnya. Namun sama sekali tak dapat membujuknya untuk sedikit melunak. Pria itu malah makin membenci segala yang ada di dalam sosok sang mama. Baik perkara keabaiannya selama ini, sifat tertutupnya yang membuat Nathan menyangka macam, terlebih dengan perilaku seenaknya yang di lakukan.     

Persis, sama persis dengan kejadian dulu, Rara masih saja berusaha untuk mengatur segala yang melekat dalam lingkungan Nathan. Perlahan mulai menyingkirkan dan menyakiti orang-orang terdekatnya, seolah Nathan tak bisa memilih jalannya sendiri, lebih muaknya wanita paruh baya itu yang menempatkan diri sebagai sosok yang paling benar.     

"Mama sangat merindukan mu, sayang.... Kemana saja kau selama ini... Kenapa sama sekali tak memberi kabar pada mama?"     

"Aku tak melihat ketulusan mu saat mengatakannya. Bukankah kau harusnya bertambah senang, tak ada di sekitar anak mu yang sama sekali tak ada istimewanya ini?"     

Nathan membalas ucapan Rara dengan begitu dingin, lengannya menyingkirkan takupan lengan wanita paruh baya itu di wajahnya.     

Keduanya saling berhadapan pandang, Nathan yang tak sekali pun berniat untuk melunak walau air mata Rara sudah menggenang di pelupuk mata.     

"Apa yang kau bicarakan, sayang... Mama sangat menyayangi mu... Kau adalah anak mama satu-satunya... Kebanggaan mama..."     

"Cih!"     

Nathan yang benar-benar sangat muak untuk berputar terus menerus tanpa adanya kejelasan apa pun. Rara masih saja culas dengan segala tipu dayanya, melabel diri seolah yang terbaik tanpa melihat batasan kelakuan yang di lakukannya selama ini.     

Melempar pandang, bahkan jarak yang seakan terlalu dekat membuat Nathan menjadi sangat waspada.     

Rara yang sudah membasahi wajahnya dengan kesedihan, masih harus menerima kenyataan saat sang anak masih terus menepis usaha sentuhannya untuk membujuk baik.     

"Hikss... Setelah kau meninggalkan mama dengan kesedihan, saat ini kau datang lagi dengan amarah mu? Jika dulu tentang anggapan buruk mu yang menyangka bahwa aku hanya menghasut untuk membenci papa mu, lalu kali ini apa? Masih pada kelanjutan yang sama?"     

Rara meninggikan nada suaranya, wajahnya sontak memerah dengan protes amarah dan juga raut kecewanya.     

Nathan yang melihat itu malah tak habis pikir, matanya menyipit tajam dengan gertakan giginya yang makin di ketatkan.     

Masih dengan usaha sembunyi untuk menutupi dirinya, seolah tak ada pengakuan dan rasa bersalah. Rara masih sama, sosok yang di benci oleh Nathan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.