Hold Me Tight ( boyslove)

Buruk



Buruk

0"Kenapa mama dari dulu tak pernah bisa berubah? Sungguh, aku benar-benar sangat berharap untuk bisa bersama dengan mu dan memiliki akhir yang bahagia. Menyalurkan segala rasa kasih sayang pada seorang wanita yang dengan susah payah melahirkan ku ke dunia ini. Aku pun ingin ketulusan mu, membuat ku setidaknya punya alasan lebih untuk menghormati mu,"     
0

.... Tapi kenapa, kau mengulangi apa yang sudah ku benci dari dulu? Kenapa kau ikut campur dalam permasalahan hidup ku terlalu dalam? Tidakkah kau tahu jika setiap keputusan yang kau ambil itu membuat ku terluka? Usaha untuk menyingkirkan ku perlahan dari kawan-kawan yang telah menemani masa-masa kesendirian ku sejak dulu, apakah kau begitu sangat terobsesi untuk menjadikan ku sebatang kara selamanya?"     

Tersalur sudah, segala hal yang menjadi kemelut yang mengganjalnya selama ini. Nathan melontarkannya dengan emosi, tak sedikit pun ada pertimbangan yang bisa saja membuat Rara merasa sakit hati.     

Keduanya pun terdiam, Nathan yang masih berusaha mengatur napasnya yang menderu, panas sampai sekujur tubuh. Tas tangan yang di bawanya bahkan luruh lepas, telapak tangan pria itu benar-benar sangat basah. Sedikit tak mengurangi kehadirannya yang membawa kebencian sedikit pun, tak berpengaruh bahkan sekali pun Rara yang masih mencoba untuk meredam.     

"Apa maksud mama memberhentikan kontrak kerja kawan ku begitu saja? Bukan karena kau yang melihat ketidakbecusannya dalam bekerja, kan? Dia kawan ku, dan kau tahu itu!"     

"Membela mati-matian pria yang memberikan dampak buruk pada anak ku?"     

"Apa maksud mama?"     

Nathan merendahkan suara, malah semakin jelas dengan geramannya yang seakan berniat untuk menghancurkan lawan bicaranya yang masih keukeh dengan pertahanannya.     

Rara masih dalam posisinya yang meninggi, terlebih dengan gadu     

nya yang terangkat tinggi menggantikan mimik memelas yang masih di lihat Nathan beberapa saat lalu. Tak lagi ada Rara yang meringkuk penuh belas, secepat kilat menunjukkan kekuasaannya dengan tubuh tegap dan lengannya yang bersendekap.     

Nathan pun tak bisa menahan diri untuk menertawai situasi. Rara sudah muncul ke permukaan, menggantikan dirinya yang menampak palsu sejak awal.     

"Kau semakin menyeimbangi karaktermu dengan menghadap ku seperti ini, ma."     

"Aku tahu kalau kau menganggap aku adalah tokoh antagonisnya, nak. Katakan pada ku apakah salah jika seorang ibu memberikan perlindungan pada anaknya sendiri? Lupakan tentang kawan mu yang menjadi akibat dari kemarahan ku sejenak, tidakkah kau sudah melihat diri mu dalam posisi yang benar?"     

"Apa yang ku lakukan?"     

Rara menarik sudut bibirnya tipis, menundukkan pandang lantas memutar badan untuk kembali pada meja kebesarannya.     

Nathan masih terus mengamati, tak lagi bisa sabar dengan upaya Rara yang hanya coba mengulur waktu. Wanita itu nampak mengambil sesuatu di loker mejanya, membuat Nathan yang makin di buat penasaran.     

"Jika pengakuan Max tak lagi ku permasalahkan, karena dia yang dalam posisi menaruh minat pada anak ku,"     

Rara menjeda ucapannya, kembali mengetukkan sepatu tingginya untuk kembali mendekat pada posisi Nathan yang mematung.     

Pria itu jelas saja hanya bungkam, tak sekali pun ada kata yang menyangga ucapan Rara. Sebuah map terlempar ke dadanya, sudut geram di tampakkan untuk Nathan.     

"Apa ini?"     

"Apakah kau tak bisa menerkanya?"     

Nathan pun masih tak hentinya untuk menggeram, menahan diri untuk tak memaki seorang wanita yang masih di yakini betul telah melahirkannya.     

Tak di sangka Nathan bahwa hanya dengan alis tebal Rara yang terangkat satu begitu sangat menyebalkan. Rara yang menampilkan diri dengan karakter sebenarnya, bukankah itu yang di harapkan Nathan? Tak akan lagi ada rasa bersalah jika ingin menempatkan diri sebagai seorang anak yang penentang.     

"Jangan terkejut tentang bagaimana aku bisa mencari objek potret yang menarik, tidakkah dia terlalu cantik untuk di katakan sebagai seorang pria?"     

Deg     

Jantung Nathan seakan bisa saja berhenti setelah satu dentuman mengerang dadanya. Sekujur tubuhnya mendadak kaku. Pupil matanya membesar dengan beberapa lembar kertas yang di remas ujungnya.     

Kepalanya lantas terangkat, menarik sasaran pada wanita paruh baya yang menunjukkan senyum seringainya itu.     

"Tak berniat membuka lembar lanjutannya? Sungguh, itu akan membuat mu terkagum-kagum dengan cara kerja ku. Mendapatkan momen kebersamaan mu di New York, bahkan setelah jalinan lanjutan mu sekembalinya kau di sini."     

"Kau menguntit ku sejak dulu?"     

"Kau pasti dengan gampangnya menuduh ku tanpa bukti. Oh ayolah... Berapa banyak orang di bumi ini yang tak bisa menahan diri untuk tidak mencampuri urusan orang lain? Terlebih dengan niatan buruk untuk mempermalukan mu di media sosial?"     

Krekkkkk     

Nathan yang tak lagi ada daya untuk sekedar berdiri menghadap sang mama. Perasaannya benar-benar sudah sangat buruk hingga pelampiasannya tersalurkan pada lebar yang di genggamnya. Merobek menjadi puing-puing tak berguna, membiaskannya begitu saja terjatuh di lantai.     

"Hei, kau pikir lembar kertas itu barang yang tak berguna? Sekali pun kekasih mu yang menjadi model? Lagi pula kau pikir aku mendapatkannya dengan mudah? Bahkan kau tak tahu harga yang ku keluarkan untuk bisa mengawasi perbuatan buruk anak ku selama ini."     

Rara yang kali ini mengganti balasan untuk menawan. Suarannya tak sekali pun ragu untuk meninggi dan memposisikan dirinya sebagai pengendali situasi. Telapak tangannya mencengkram erat milik Nathan, mendesaknya untuk memberikan tanggapan, walau sekadar hanya untuk menepis bohong.     

"Jadi mama membalas ku dengan semua ini? Seorang gay yang tak ada satu pun kebaikan karena ini? Hanya karena orientasi ku yang berbeda?"     

Rara yang kali ini mendesis geram, lengannya terangkat untuk memijat pelipisnya yang berdenyut menyakitkan. Lelah untuk di sangka buruk, bahkan dengan usahanya yang semaksimal mungkin yang sekali pun tak ada tanggapan baik.     

Pengalaman buruk di hidupnya yang sudah di telan pahitnya mentah-mentah. Rara hanya ingin menjadikan anaknya sosok yang sempurna, tanpa jejak buruk yang membayang atau bahkan menjadi bahan musuh untuk menjatuhkan. Melihat Nathan yang sudah menyelam pada kesalahan yang terlalu lama, benar-benar membuat wanita paruh baya itu menyesal. Selaman kesedihannya yang masih melarut, membuat Rara layaknya pacuan kuda yang melihat garis henti. Tali kekangnya masih di kendalikan, Nathan harus mengikutinya supaya tak terjerumus pada lajur yang tak semestinya.     

Sekali lagi, telapak tangan yang sedikit keriput itu ingin membelai wajah anaknya dengan lembut, harapan untuk bisa memberikan pemahaman secara emosional.     

Namun hal itu pun di batas jelas, sang anak yang sudah tak selayaknya lagi memberikan balasan kasar dengan menepis tangannya. Raut wajah Nathan yang sudah menyorot kebencian, tak ada seperti sama sekali tak ada sela untuk menyusup baik-baik.     

"Jika dulu alasan mama mengabaikan ku tanpa alasan yang jelas, kali ini harusnya makin lancar untuk mendorong ku lebih jauh lagi. Bukankah kau punya alasan untuk lebih membenci ku? Kali ini karena aku seorang gay?"     

"Apa kau memposisikan diri ku sebagai seorang musuh? Menurut mu, apakah aku salah untuk memberikan arahan padan anak ku yang telah salah melangkah? Sungguh, kau tak akan bisa menerka tentang kelanjutan hidup mu nantinya. Terlebih dengan pengaruh buruk yang kau bawa, kau pikir akan mudah untuk mu mendapatkan penerimaan umum dari orang-orang?"     

Nathan memutar tubuh, lengannya menarik lilitan dasi yang makin menghambat pernapasannya. Pendingin ruangan seakan tak mempan untuk sekedar mereda. Peluh Nathan sudah membanjiri, kepalanya yang mengepul lantas surainya untuk di susupi jemari, menariknya helainya kuat dengan tumpukan emosi yang tak terbendung.     

"Apakah menurut mu, aku seorang ibu yang sangat buruk? Apa menurut mu aku membenci anak yang ku usahakan untuk hadir? Kenapa aku bisa segila itu? Ku akui dulu aku memang abai, tapi saat anak ku membutuhkan bantuan, menurut mu aku bisa diam?"     

Nathan berdecih muak untuk berada di satu lingkup yang hanya membeberkan pembenaran untuk dirinya saja.     

Nathan sudah akan melenggang pergi, memutuskan menyerah untuk argumennya yang terus di patahkan.     

Namun layaknya masih belum mencapai kemenangan yang mutlak, wanita paruh baya itu kembali melemparkan serangan untuk makin menghancurkannya.     

"Sudah memutuskan yang terbaik untuk hidup mu, kau akan ku jodohkan dengan seorang wanita."     

Nathan berhenti tepat di depan pintu, masih menunggu sepatah kata lain yang di harapkan akan mematahkan sedikit bayang-bayang buruknya yang terkumpul pagi ini.     

Namun sampai beberapa lama berselang, sampai degub jantungnya yang terdengar ratusan kali, Rara masih sedikit pun tak membuat pergerakan, wanita itu bungkam.     

Menundukkan kepala, Nathan pun melepas senyum mirisnya yang di iringi oleh setetes air mata yang jatuh. Masih coba untuk di tahan, sampai akhirnya butiran kesedihan itu terus menyusul. Ya, nyatanya ia masih jauh dari harapannya untuk menjadi seorang pria dewasa, masih terlalu lemah, pacuannya hanya pada emosinya yang sangat sensitif. Nathan tak pernah bisa berubah untuk menjadi yang lebih baik.     

Memutuskan untuk pergi, menyusuri langkahnya kembali dengan pandangan tertunduk. Lengannya beberapa kali menghadang dekat untuk orang-orang yang mengkhawatirkan keadaannya yang tiba-tiba saja tampil berantakan.     

Cahaya matahari sudah menampakkan kuasanya, mengubah hawa dingin yang lekas memanas seketika.     

Nathan menyusuri jalan, tak ada tujuan atau bahkan sepeserpun uang untuk memesan kendaraan. Ia benar-benar merasa tak berdaya, tak ada satu orang pun yang di harapkan bisa datang untuk saat ini.     

Benar-benar tak ada tujuan, mengabaikan orang-orang yang menaruh rasa penasaran begitu besar akibat tampilan mahalnya yang berantakan.     

Mengikuti kemana pun langkahnya membawa, memasuki gang sempit saat rasa pening menderanya. Nathan memang payah, tak kuat dengan hawa panas dan dingin yang terlalu.     

Menyandarkan tubuhnya di pembatas tinggi, matanya terpejam, dan masih berusaha meredam emosi serta letih yang menderanya di saat bersamaan.     

Di sekitarnya sangat sepi, membuat Nathan sedikit merasa nyaman dengan kesendiriannya itu.     

Brummm Brummm     

Tak lama berselang, bising suara beberapa motor yang memainkan gas lajunya. Nathan yang praktis saja merasa terganggu, tubuhnya mengambil siaga waspada saat suara sahutan beberapa orang berupa kasar.     

"Brengsek! Maju kalau punya nyali!"     

Firasat buruk pun mendera Nathan sekalian, posisinya jelas tak aman.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.