Hold Me Tight ( boyslove)

Terlibat situasi genting



Terlibat situasi genting

0Suara mesin kendaraan yang dibisingkan masih terus di terdengar. Gesekan benda besi yang menggesek jalan bahkan lebih menakutkan dari yang di sangka.     
0

Nathan bukan anak yang baik-baik sejak dulu, hanya saja pergaulan kenakalan remaja turut menariknya untuk melekat.     

Jelas saja sadar situasi, saat beberapa remaja berseragam yang tampil berandal membawahi pasukan masing-masing. Senjata yang di genggam turut di banggakan, terangkat tinggi dan saling mengacung pada lawan.     

Demi apa pun, Nathan yang masih terlingkup kesedihan malah di berada di posisi pertengahan. Terlalu terlambat untuk melarikan diri, kedua jalan keluar sudah di tutup habis.     

Sekujur tubuhnya bergetar, bahkan tumpuan kakinya sudah sangat melemas. Jantungnya berdebar dengan sangat cepat, peluh langsung saja membanjiri.     

Lemparan bahu sebesar kepalan tangan menjadi permulaan, melesat tepat di pandangan Nathan yang sama sekali tak bisa menenangkan diri.     

Situasi familiar yang tak bisa di anggapnya terlalu biasa seperti dahulu. Ya, Nathan sudah sangat lemah, sama sekali tak ada daya untuk menampilkan sikap siaga sekali pun.     

"Serang...!!!     

Sampai akhirnya insting yang mendesak keselamatan diri, pandanganya menyasar panik pada sudut sekitarannya. Ya, sedikit ada jalan kecil, tanpa pikir panjang untuknya memasuki bagian sempit dan rupanya begitu gelap itu.     

Saat yang tepat untuk Nathan, kedua pasukan yang tengah beradu itu langsung mengerahkan kekuatan untuk menyerang.     

"Hiattt....!"     

"Brengsek! Mati kau!"     

"Akkkhhh....!"     

Sighhhh     

Suara yang terdengar jauh lebih mengerikan dari yang terduga, benda tajam yang saling di arahkan membuat Nathan yang meringkuk dalam sudut gelap malah membayangkan.     

Hari Nathan sudah lengkap buruknya, tak hanya kemarahan, sedih, dan yang paling tidak di duganya adalah ketakutan yang menutup habis perasaan sebelumnya.     

"Brengsek kau! Jangan menghindar dari ku!"     

"Sial!"     

Saat situasi yang mulanya di anggap aman, Nathan langsung saja tersentak saat suara derap langkah kaki terdengar semakin dekat dari posisi persembunyiannya.     

Bangkit dari posisi meringkuknya, Nathan yang tak ingin mengambil resiko pun lantas berlari menyusuri lorong sempit itu lebih jauh.     

Jantungnya berdebar sangat kencang, napasnya memburu seiring dengan tenaganya yang terkuras habis. Sangat  panik, pandangannya sesekali melihat situasi di belakangnya. Nathan terus mempercepat langkahnya, sedikit membuat drama dengan beberapa kali ia hampir saja jatuh terjerembap.     

"Sial!"     

Pentingnya mengetahui medan pertempuran, hal itu layaknya menjadi hal utama yang memang mempermudah kemenangan dari satu pihak nantinya.     

Terkecuali dengan posisi Nathan saat ini. Sudah di katakan memang hari yang buruk tak akan lepas untuk menghancurkannya saat ini, terus mengejarnya untuk menghancurkan.     

Mengumpat keras pun agaknya tak ada guna, kembali menemui jalan buntu. Di hadapannya saat ini adalah tanah lapang, di isi oleh puluhan remaja yang menjajah emosi dengan serangan hadap menggunakan senjata tajam. Memilih putar arah untuk menyusuri jalan sempit malah lebih berbahaya, beberapa remaja yang tengah beradu fisik juga ada di sana, apa yang harus Nathan lakukan? Berjalan santai dan seolah tak sadar situasi? Lantas menyerahkan tubuhnya begitu saja, menanti salah seorang dari mereka yang salah sasaran?     

Sigghhh     

Bughhh     

"Akhhh....!"     

Nathan hanya mematung, tak mengetahui sedikit pun bagian yang dapat menyelamatkannya.     

Pandangannya malah menjadi pengamat untuk beberapa orang yang ambruk dengan kekalahan yang menjadi resiko. Wajah yang lebam dengan darah yang di dapatkan dari benda tajam yang di arahkan. Tak ada yang peduli, bahkan kawan sekalipun.     

"Akhhh!"     

Ya, sudah bisa di tebak jika seragam tempur yang tak melabelinya sekali pun turut menyasarnya menjadi objek balasan.     

Nathan sudah tak lagi diam dengan wajah bodoh, sebuah benda tumpul yang sangat keras menghantam bagian kepalanya. Rasanya sangat menyakitkan, sekujur tubuhnya yang turut berdampak. Tak bisa untuk mengupayakan yang terbaik demi keselamatannya. Bahkan kesadarannya sudah akan melepas pergi jika saja tak ada seseorang yang datang untuk merengkuhnya.     

"Paman kecil? Demi apa pun, ini kau kan? Hei, bangun!"     

Hanya itu yang di dengar oleh Nathan sebelum kelopak matanya terpejam erat. Tak melihat apa pun, selain wajah familiar yang sedikit memburam menampilkan raut cemas.     

Ya, ajaibnya dengan kejadian ini segala memori buruk beberapa saat lalu lantas lebur. Kesedihannya karena perilaku sang mama, kemarahannya pada Max, atau bahkan menyangkut emosinya pada Rian sekali pun.     

Tak sengaja ada dalam situasi yang sangat genting, turut membawanya singkat pada gambaran masa lalunya yang serupa. Hantaman batu yang di rasanya sangat menyakitkan, hingga salah seorang dari murid berseragam yang masih mempedulikan korban sepertinya.     

Nathan tak sadarkan diri, gelap masih mengungkungnya untuk tak lekas pergi. Jauh menyelam pada dunia khayal, tapi masih bisa di rasakan sentuhan lengan yang mengusap dahinya beberapa kali.     

"Hei, bangunlah... Aku pernah kena hantaman batu, tapi ku rasa aku tak selemah diri mu yang langsung pinsan."     

"Jangan katakan seperti itu. Kau seperti mengejeknya, tau! Lagipula dengan perhatian mu yang berlebihan pada orang asing, jangan membuat ku salah sangka."     

"Salah sangka, apa?"     

"Kalau kau menyukai seorang pria yang jauh lebih tau dari mu?"     

"Kau pikir aku gay, begitu?"     

"Mungkin saja."     

"Sialan, kau! Aku masih sangat menyukai payudara besar, tau!"     

Percakapan yang membuat pria dewasa itu merasa terganggu. Dahinya mengernyit, lengkap dengan ringisan kesakitannya yang dengan jelas di rasa.     

"Ishhh...."     

"Hei, dia mulai sadar."     

Seakan di tarik pada kubangan lingkaran hitam yang menenggelamkannya, netra milik pria itu sudah menemukan setitik cahaya yang sangat menyilaukan.     

Beberapa kali menyipitkan mata saat terlalu besarnya intens cahaya yang masuk. Menemukan kekuatan yang akhirnya cukup, lengannya yang sontak terangkat untuk memijat kepalanya yang amat terasa sakit.     

"Kau butuh minum?"     

Pandangan Nathan yang mulai sedikit jelas, seseorang memberinya kedekatan yang terlalu menempel hingga telapak tangannya di alihkan paksa untuk menyingkirkan pengganggu itu.     

"Sial!"     

"Loh! Kenapa malah mengumpati ku? Aku adalah orang yang menyelamatkan mu, paman. Harusnya ucapan terimakasih yang ku dapatkan sejak awal. Atau bahkan balas aku dengan menyebut nama mu."     

Nathan menghembuskan napas berat, remaja yang masih menggunakan seragamnya itu turut membantunya yang handak bangkit dari pembaringan.     

Menyusun bantal untuk untuk di jadikan sandaran, Nathan pun menghadap fokus langsung pada pria yang menempati sisi lain ranjang besar itu.     

Raut menyebalkan pun di dapat, kedua alis yang di jungkat-jungkit dengan kelopak matanya yang membentuk setengah lingkaran akibat senyum terukirnya yang terlewat lebar. Terlebih dengan lengan kanan yang melambai tepat di hadapan Nathan sembari berkata, "Takdir tak akan mengingkari, kita bertemu lebih cepat dari yang seharusnya."     

"Dan dengan peristiwa kericuhan yang sama. Apa itu identik mu, eh?" balas Nathan yang malah tertarik untuk mengulas senyum balasan. Kepalanya lantas menggeleng tak yakin dengan kemenangan remaja asing itu yang mengikrar.     

Tak menjadi kewaspadaan tersendiri untuk menjaga pergerakan, kepalanya yang terluka langsung saja membuat pria dewasa itu mengaduh kesakitan.     

"Ouchh!"     

"Kau tak apa? Sini, ku usap dengan sangat perlahan supaya sedikit mereda."     

Remaja pria itu pun mengambil alih tugas. Tubuhnya makin di dekatkan, sedangkan posisi yang di sasar membuatnya menghadap penuh posisi Nathan yang tengah menyandar.     

Baik Nathan atau pun remaja pria itu lantas memilih untuk bungkam. Pandangan keduanya otomatis makin intens, tanpa sadar menyelam jauh, bola mata keduanya saling mengejar, sama sekali tak mempedulikan kehadiran orang lain yang bersandar di pembatas ruang.     

"Ekhem! Aku yakin kalau kau masih keukeh dengan orientasi seksual mu beberapa saat lalu, Jev. Aku pergi dulu, kau bisa membawanya lekas pergi dari tempat ku."     

Secepat kilat, remaja pria bernama Jevin itu pun mengambil jarak. Lengannya yang mempunyai niat baik untuk mengelus kesakitan seseorang yang lebih tua di bandingkan dengan dirinya itu turut di gagalkan.     

Seorang remaja lain yang merupakan pemilik ruang lantas pergi, menutup rapat bilik yang mengunci kedua orang itu dalam suasana yang senyap untuk beberapa lama.     

Rupanya Nathan yang sedikit pun tak berpengaruh, pandangannya malah mengamati gerak-gerik konyol remaja di sisinya itu dengan dahi yang mengernyit dalam.     

"Jadi, rencana yang kau katakan malam itu memang benar?" tanya Nathan yang berniat memutuskan kecanggungan akibat dari ucapan remaja yang telah melarikan diri.     

Gay? Demi apa pun, ia tak di sangka sebagai penyebab yang di katakan untuk Jevin, kan? Nathan rupanya tak cukup menarik untuk pandangan pria lain, hanya alasan itu yang membuatnya tak akan berpikiran macam-macam.     

Secepat kilat berubah, remaja pria yang tadi sampai menyingkur dari posisi Nathan, kali ini kembali dengan raut tengilnya seperti semula.     

"Dan kita yang benar-benar bertemu, tanpa adanya gangguan dari kedatangan paman yang menyeramkan sebelumnya?"     

"Hhaaahhah... Dan niatan mu untuk bertarung dengannya pupus, kali ini aku yang benar-benar menjadi korban."     

Nathan menertawai takdir yang membawanya kali ini. Bertemu kembali dengan remaja pria yang di sepelekan niatannya.     

Bahkan tak lebihnya dengan sebuah nama yang menjadi balasan, Nathan bahkan duduk di boncengan motor besar yang di kendarai oleh remaja berandal itu.     

"Itu bukan apartement ku, maaf saja jika tak mengizinkan mu beristirahat lebih lama di sana, aku tak sebebas yang terlihat."     

"Tak masalah, aku hanya ingin pulang."     

Balasan Nathan di angguki oleh Jevin. Mulai menancap gas motornya, mereka pun mulai menjauh dari titik awal.     

Sebuah lengan menyusup, menarik paksa Nathan untuk mendekat. "Lingkarkan lengan mu pada ku, supaya aman, paman!"     

Tak ada protes dari sedikit pun dari Nathan, pria yang masih mengenakan setelan rapinya itu malah menyandarkan tubuhnya ke punggung tegak milik Jevin.     

Tubuh Nathan memang benar-benar sangat lemah, terlebih dengan denyutan menyakitkan yang lengkap dengan terpaan panas matahari yang menyengat. Terlebih dengan posisi badan motor yang jauh lebih tinggi di bagian penumpang, tak ada pilihan yang lebih baik lagi.     

Masih saling bungkam sejak pembicaraan terakhir, terlebih memang tak ada topik yang akan di bahas. Suara bising jalanan dari mesin kendaraan, atau bahkan terpaan angin yang sangat kencang yang mampu membunuh sepi. Membunuh waktu yang makin mengikis kebersamaan dari kedua pria yang masih sangat asing itu, menyusuri perjalanan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.