Hold Me Tight ( boyslove)

Hati yang menyusup



Hati yang menyusup

0"Kau masih ingat nama ku, kan?"     
0

"Apakah kalimat itu jauh lebih penting dari pada kau mengucapkan maaf? Demi apa pun, aku terluka karena mu."     

"Hhaha... Jangan salahkan aku kalau masalah itu, takdir yang mengaturnya. Lagipula, kenapa juga paman yang berpenampilan sangat rapi ini terdiam di jalanan sepi yang sangat rawan? Di lihat dari tampilan mu, tak mungkin juga kau yang termasuk pria terlunta-lunta dan sibuk mencari kerja. Mempunyai salah satu unit di apartement ini, cukup membuat ku yakin jika kau orang yang mampu."     

Nathan yang sontak saja terdiam, tak ada kalimat jawab yang tepat untuk mengatakan secara gamblang tentang kehidupannya pada orang asing.     

Hari yang sudah siang, melingkup sekujur tubuh dengan hawa panas yang sedikit pun tak terobati walau angin sudah berhembus kencang.     

Mesin kendaraan yang menghantarkan Nathan untuk kembali, kali ini bahkan turut memasang standar. Di depan persis gedung pencakar langit yang berdiri kokoh, sebuah lengan menghentikan pergerakan pria dewasa itu.     

Masih dalam posisi yang sama, remaja pria yang mengenakan seragam berantakan bahkan masih betah untuk menggenggam telapak tangan halus milik Nathan. Sedikit pun tak mendapat penolakan, pria dengan luka perban di kepalanya itu hanya diam mematung.     

Nathan hanya tengah berpikir keras, yang di sangka orang-orang tentang dirinya memang identik dengan yang dikenakan. Setelan mahal dan kali ini tentang kepemilikan orang lain yang di pikir menjadi miliknya juga. Nathan yang tampil mewah dan berkelas.     

Hanya baru di detik ini, Nathan membayangkan jika segala yang di berikan ikut terenggut. Hak kuasa untuk ahli warisnya atau bahkan bantuan berlebih dari Max sekali pun, Nathan akan di anggap menjadi orang seperti apa jika tanpa mereka? Akankah ia di anggap sebagai Nathan yang sama dengan pandangan yang terus diistimewakan selayaknya dahulu? Atau masih berlaku tentang status kelas sosial, akankah ada yang memperlakukannya masih sama dengan Nathan yang tak punya apa pun nantinya?     

Di sadari, Nathan tak mampu menggapai sedikit pun hasil kerja kerasnya sendiri. Ia hanya berpangku tangan, menunggu orang lain memperhatikan dirinya dengan merias sesuka hati.     

Nathan yang terus di kekang, menurut pada keinginan orang-orang yang memberi segalanya. Lagi-lagi tentang sang mama dan juga Max, dua orang yang seperti hanya menjadikannya boneka untuk di permainkan.     

Karena memang Nathan yang sejak awal memang menampilkan ketidakberdayaannya. Tak menunjukkan keinginannya sendiri dengan jelas. Ketakutan yang tak berdasar, terlalu menjaga orang di sekitarnya supaya tak meninggalkan. Nathan yang takut menjadi seorang diri, masih tak bisa meninggalkan kuasa dari pengaruh yang di dapatkannya.     

"Apa kau tak apa, paman? Apakah sesakit itu hingga membuat mu menangis? Kita ke rumah sakit, ya?"     

Nathan melemparkan pandanganya untuk menghindari sentuhan dari pemilik jemari asing yang menyentuh wajahnya itu.     

Nathan pun lantas menundukkan pandang, satu lengannya yang masih bebas mengusap air matanya yang lolos keluar. Wajahnya benar-benar sangat panas, pangkal hidungnya seperti tersumbat sesuatu hingga pernapasannya rasanya sangat sulit. Dadanya sangat sesak, hingga debar jantungnya malah menjadi serangan yang menyusup kehancurannya dari dalam.     

Memang terkesan sangat memalukan, terlebih dengan satu orang yang masih mengamati dengan sangat lekat.     

"Hei, kalau kau menunggu permohonan maaf ku, sungguh aku akan mengatakannya dari lubuk hati yang paling dalam."     

Jevin yang terlihat sangat panik, posisi duduknya di atas kemudi pun langsung beralih. Berdiri tepat pada pria dewasa yang sangat cengeng, dan dengan dorongan keinginannya yang sangat menggebu untuk mendekap erat sosok itu.     

Nathan yang malah tak bisa menahan diri untuk menumpahkan segala kesedihannya, lantas menjatuhkan harga diri untuk membasahi dada seorang pria yang masih mengenakan seragam sekolahnya.     

Postur tubuh yang sangat kontras, memudahkan sang dominasi untuk menyusupkan jemarinya ke dalam helai rambut halus itu.     

"Kau melakukannya secara berlebihan bocah. Setelah menggenggam tangan ku tanpa izin, kali ini malah memeluk ku dengan sangat erat?"     

"Ouchh!"     

Nathan yang memang terlalu terlambat untuk menyadari posisi, dengan cepat memutus jarak dan menghantam keras dada milik remaja pria itu.     

Sudah sedikit mereda, namun kali ini malah perasaan malu yang melingkupnya. Nathan mengusap wajahnya yang basah dan berniat melarikan diri untuk tak makin mempermalukan diri. Hanya saja sebuah kalimat yang cukup sensitif mampu untuk menghadangnya terlepas.     

"Jangan pergi dulu, kau tak boleh ingkar pada ku paman manis yang cengeng!"     

Membalikkan pandang, sorot matanya langsung di sambut dengan sebuah ponsel yang di arahkan tepat di hadapannya.     

Sebuah suara jepretan gambar terdengar. Di sadari jika Nathan yang menjadi sasaran pencuri identitas pribadi.     

"Bukankah wajah mu sangat menggelikan jika memberenggut seperti ini?"     

Nathan membelalakkan mata, objeknya pada layar ponsel yang di tunjukkan, membuatnya tanpa sadar mengikuti hasil. Hingga ia makin mempermalukan dirinya sendiri dengan tawa jahat yang di dengarnya.     

Nathan menatap geram, mengambil lengah remaja jangkun itu untuk merampas ponsel yang menjadi barang bukti kelancangan.     

Namun rupanya Jevin jauh lebih gesit, lengannya terangkat tinggi dan membiarkan Nathan melakukan usaha berlebih dengan melompat-lompatkan tubuh pendeknya untuk menggapai.     

"Kau sangat tak sopan untuk mengambil gambar orang asing tanpa izin. Berikan pada ku, aku akan menghapusnya!"     

"Kau masih mengatakan orang asing? Demi apa pun, kita baru saja berpelukan erat, kita akan saling mengenal masing-masing jika kau tak mengingkari janji."     

Balasan ringan dari remaja pria yang berkacak pinggang dengan satu lengannya pun semakin tampil menyebalkan. Rautnya yang makin berseri, memancing Nathan tak ubahnya makin garang.     

"Aochhh!" Jevin meringis pelan, sebuah tapak kaki yang di balut sepatu kulit menghantam miliknya yang hanya terlindung alas kaki sederhana.     

Secara refleks membuat satu kakinya yang menjadi korban langsung terangkat, sedikit memprotes keras untuk menumpu tubuh.     

Satu lengan Jevin yang menggenggam ponsel langsung saja turun, menarik godaan pada Nathan yang bahkan sudah tersenyum licik sebelum menggapai.     

Bagaimana Jevin tak terhibur, pria dewasa yang bahkan masih menampakkan berkas kesedihannya itu sudah berlakon seperti anak kecil yang tak di turuti keinginannya. Rautnya yang masih memberenggut, kali ini semakin menggemaskan dengan usahanya untuk menendang balas pada remaja menyebalkan itu.     

Praktis saja Jevin yang terus menghindar, mengecoh pergerakan pria dewasa dan malah memancingnya untuk saling kejar.     

Nathan sudah tak mengetahui dengan jelas perasaannya saat ini, yang ada malah keinginan untuk menangkap remaja menyebalkan itu dan menarik sadis lidahnya yang terus di julurkan untuk meledek.     

"Berikan pada ku! Hufh..."     

"Sesaat tadi adalah percobaan terakhir kau bisa menggunakan kekerasan, dan hasilnya gagal!"     

Nathan di buat kualahan, napasnya bahkan sampai menderu, keringat makin deras membanjiri sekujur tubuh. Tubuhnya membungkuk, menumpu telapak tangannya di lutut sebagai upaya untuk meredakan penatnya.     

Jevin yang melupakan sejenak tindakannya yang terlewat batas, langsung saja berlari cepat untuk mendekat pada posisi Nathan.     

"Paman tak apa?"     

"Kau harap aku membalas mu jujur? Kau mau dengar jika tubuh ku sudah seperti akan tumbang dengan kepala yang berdenyut menyakitkan?"     

Jevin yang di tatap tajam pun hanya menunjukkan rautnya yang meringis seolah tak bersalah sedikit pun.     

"Kau tak berniat minta maaf?" tanya Nathan yang memancing rasa bersalah yang setidaknya masih di rasakan oleh remaja pria bertubuh jangkun itu.     

"Karena telah membuat mu terluka, kau minta maaf karena itu. Tapi jika untuk usaha mu yang merampas ponsel milik ku, tak akan ku lakukan."     

"Dasar kurang ajar!" olok Nathan yang menyahuti balasan remaja pria itu.     

"Jangan setakut itu untuk gambar mu yang tersimpan di ponsel ku. Tak akan ku sebarkan, kau tenang saja," sahut Jevin dengan kedua alisnya yang di jungkat-jungkit.     

Nathan yang kali ini berkacak pinggang, sontak saja menelengkan kepala dengan rautnya yang kebingungan. "Lalu kau gunakan untuk apa wajah ku yang tersimpan di ponsel mu?"     

"Koleksi pribadi."     

Nathan yang jelas saja tak habis pikir. Selama hidupnya, tak pernah ada sosok asing yang begitu keukeh untuk mengenalnya. Bahkan kawan-kawannya sekali pun, masih tak terlalu aneh karena terbilang masih pada lingkup dekat yang mempertemukan rutin. Tapi kalau pria berseragam sekolah itu?     

"Hanya ingin menanti kau untuk menepati janji. Hanya menyebut sebuah nama."     

"Lalu kalau sudah tahu, untuk apa?"     

"Saat kita bertemu lagi, kita bisa saling menyapa karena sudah saling mengenal."     

Nathan pun memijat pelipisnya yang berdenyut menyakitkan. Pandangnya masih meneliti intens pada seorang remaja yang sudah di katakan telah mengenal permukaannya yang tersembunyi. Nathan yang gay dan juga sangat rapuh.     

Ya, memang tak ada pilihan lain untuk menjabat uluran tangan yang sudah menanti. Lagi pula setelah ini, di pastikan Nathan untuk tak kembali di susupi dekat oleh pria yang lebih muda darinya itu.     

"Nathan."     

"Jevin Adikusuma, senang berkenalan dengan mu."     

Nathan pun melepaskan lengannya terlebih dahulu. Tak lagi menunggu untuk berhadapan dengan remaja pria bernama Jevin itu.     

"Nanti saat bertemu lagi, ku pastikan aku akan langsung mengerti tentang segala teka-teki diri mu," teriak Jevin yang membuat Nathan menolehkan pandang. Dahinya berkerut, lantas menanggapi dengan gidikan bahu.     

"Kau curang, bukankah sudah tahu di mana aku tinggal?"     

"Berarti itu karena kau yang telah membuka jalan."     

Secara diam-diam, rupanya ada bagian dari sudut hati yang merasa nyaman. Tak mempedulikan hal yang di rasa begitu baru, atau di anggap aneh sekali pun. Jevin mulai tertarik untuk dekat dengan seorang pria? Bahkan sampai sosoknya menghilang di pintu masuk gedung, masih menjadi pengamat seintens itu.     

"Apakah aku mulai menemukan jalan kesenangan ku yang baru?" pikir Jevin yang lantas mengamati ulang potret menggemaskan yang berhasil didapatkannya.     

Seulas senyum tak bisa di cegah untuk hadir, kalimat pujian bertubi pun mengomentari orang baru yang akan memasuki lembar kehidupannya.     

Kembali menatap sudut kepergian terakhir dari pria bernama Nathan, remaja pria dengan beberapa bekas lebam di wajahnya itu pun memilih menunggangi kendaraannya dan melesat pergi. Satu hal baik yang di dapatkannya, Jevin menemukan tangkapan menarik untuk di jadikan layar kunci di ponselnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.