Hold Me Tight ( boyslove)

Meresahkan



Meresahkan

0Nathan menatap seseorang di hadapannya yang terus merecoki dengan kata-kata yang sarat akan kecemasan. Lengan yang terus mendekat lancang itu seperti tak ada menyerahnya walau berkali-kali pun Nathan menepis.     
0

Di luar ruangan dengan udara malam yang baru membuatnya merasakan kedinginan, meski begitu Nathan tak ingin terlihat lemah, lengannya masih dalam posisi di masing-masing tubuh.     

Membalas tatapan pria bertubuh raksasa itu dengan sangat tajam, rahangnya mengetat dengan hembusan napas yang di keluarkan tak santai. Nathan ingin memberitahukan dengan ekspresinya macam ini, jika ia sedang tak bisa menerima kehadiran pria itu hanya untuk sekedar percakapan basa-basi. Nathan bukan orang yang supel dan menerima baik semua orang. Nathan itu memang suka pilih-pilih kawan.     

"Katakan pada ku, siapa yang membuat wajah mu jadi lebam seperti ini!" ucap Max dengan suaranya yang terlihat sangat khawatir. Nada tegas pun masih tak bisa sekali pun di hilangkan.     

Nathan yang mendengarnya pun sontak saja merasa sangat mual. Diam-diam pria itu berdoa dalam hati supaya tak ada yang mendengar pembicaraan mereka ini. Sungguh, Nathan tak ingin malu dengan keadaan yang menariknya secara paksa. Lihatlah penampilan Nathan! Tubuh yang terbilang jangkun dengan perawakan atletis itu, apakah terlihat pantas jika pria lain menggodanya?     

Memang, jika yang menjadi perbandingan adalah Max, Nathan jelas jauh terlihat kecil. Namun tetap saja, kan? Nathan merasa sangat khawatir berlebihan jika ada orang lain yang berpikiran jika ia dan Max adalah sepasang kekasih. Nathan tak sudi.     

Harus segera menghindar, Nathan pun perlahan menarik mundur kedekatannya dengan Max saat ini. Sangat perlahan, Nathan meredam sikap terburu-burunya yang ingin segera melindungi diri di dalam mobil dan segera melesat cepat meninggalkan pria menyebalkan itu.     

"Jangan pergi dulu!"     

Meringis sebal, Max menyadari jika jarak mereka semakin jauh itu pun segera saja menarik pergelangan Nathan untuk kembali pada kedekatan awal.     

Sejenak, Nathan seperti tak bisa berkutik jika di hadapkan dengan Max yang menatapnya dengan posisi kepala sedikit tertunduk itu. Pria yang seperti selalu tampil rapi dengan setelan pakaian kemeja dan celana kain itu layaknya menjadi dominan sejati yang jika hanya dengan tatapannya sekali pun sanggup membuat orang yang di hadapannya mematung.     

Tak boleh, Nathan harus segera keluar dari lingkaran yang seakan-akan menjadi batas keterdiamannya sesaat lalu itu. Menyentak lengan milik Max lagi, kali ini Nathan berusaha makin menampilkan wajah garangnya untuk bisa menghadapi pria itu secara imbang.     

"Sungguh, aku sangat merasa risih dengan kehadiran mu! Apakah tidak bisa, sedikit saja kau menghargai penolakan ku?" ucap Nathan dengan giginya yang menggertak. Ia tau benar, tindakan Max yang seperti ini pastinya merupakan bagian dari usaha pria itu untuk mendekatinya.     

Nathan mencegat dari depan, ia tak ingin pria itu membuat usaha lebih untuk mendapatkannya. Lagipula keduanya terlihat sangat mustahil untuk bersama.     

Ya kata-kata yang di lontarkan Nathan dengan cukup kejam itu di harapkan mampu membuat Max putar balik dari tujuan awalnya.     

"Mana bisa aku langsung menerima penolakan mu di saat aku sedang dalam tahap perjuangan?"     

Gila! Max memang gila! Lihatlah ekspresi datar yang di keluarkan oleh pria kaku itu! Seperti sangat tak sesuai dengan posisinya yang bisa di katakan sebagai pengemis cinta itu.     

Telapak tangan masing-masing milik Nathan pun sontak saja terkepal sangat erat, dorongan untuk bertindak anarkis dengan memberikan pukulan di beberapa titik wajah pria menyebalkan itu menjadi sangat kuat. Hanya saja tiba-tiba pikirannya datang untuk menciutkan nyali. Jika Max balik marah, akankah kondisi wajah Nathan yang sudah lebam-lebam itu masih bisa untuk di kenali nantinya? Max bisa saja balas memukulnya, kan?     

Mengurungkan niat, kali ini Nathan tak ada satu pun cara yang bisa di gunakan selain hanya saling berdebat saja.     

"Aku ingin muntah, aku ingin muntah...! Aku kau tak lihat siapa yang tengah kau goda?" tanya Nathan setelah beberapa lama berkutat dengan pikirannya sendiri.     

"Jelas aku melihat mu, ketertarikan ku kan karena memang diri mu yang menggemaskan."     

"Sudah cukup, sudah cukup! Aku lelah..."     

Ucapan Max yang berniat mengatakan hal sejujurnya itu malah di tepis Nathan, menyangka jika serangkaian kata-kata itu hanya gombalan sepasang remaja bau kencur saja.     

Tapi meski pun ucapan yang di lontarkan Max itu memang suatu kejujuran, kenapa tak sekali pun wajah kaku itu membentuk ekspresi? Setidaknya, sedikit senyum yang terulas?     

Sudah, jalan berdebat pun tak ubahnya hanya sebuah hambatan yang makin memperlambat gerak Nathan yang berniat menjauh. Lagipula tubuhnya sangat terasa beku saat ini, pijakan kakinya sudah sedikit bergetar dengan giginya yang tak bisa menggertak lagi, karena miliknya yang mulai bergemelutuk.     

Membalikkan tubuh dengan cepat, Nathan pun lanjut berjalan dengan sangat cepat. Membuka pintu mobil dan segera menempatkan dirinya pada kemudi. Lengannya bergerak tangkas untuk menyalakan mobil, namun satu hal bodoh yang malah di tinggalkannya. Nathan tak segera mengunci pintu.     

Kedua telapak lengan yang terkepal miliknya pun lantas di hantamkan pada setir kemudi, berulang kali. Ia terus menggeram dengan terang-terangan. Namun sedikit pun, pria yang duduk di sampingnya dengan lengan bersendekap itu tak sedikit pun merasa tersindir.     

"Kenapa kau terus mengikuti ku?" ucap Nathan setelah menarik napas beberapa kali. Ia berusaha menanyai Max baik-baik meski pun jawaban yang terucap balas itu tetap seolah normal untuk di katakan pada sesama pria.     

"Membantu mu untuk menyetir," ucap Mike memberi alasan yang sejujurnya. Ya, niatannya yang memang memutuskan bersama Nathan itu memang rasa khawatir. Max tak ingin pria yang sudah banyak mengambil perhatiannya itu terluka lebih parah lagi. Memang perhatian yang di tunjukkannya sedikit menggelikan, namun itu lah Max sebenarnya.     

"Aku baik-baik saja, lengan ku masih kuat untuk mengendalikan mobil, kesadaran ku juga masih cukup terjaga. Jadi tuan.... Ku mohon baik-baik untuk mu bisa menyingkir dari hadapan ku," ucap Nathan yang mulai lelah. Kepalanya pun tertumpu di atas kemudi dengan kedua lengannya yang mengganjal.     

"Lalu aku pulangnya naik apa?" tanya Max dengan polosnya.     

"Nah, kau kan kaya! Kenapa tak telepon taksi saja?" timpal Nathan yang kini mengarahkan pandangannya pada Max yang juga sama, mereka saling tatap.     

"Kau akan kemana setelah ini?" balasan Max yang malah mengganti topik.     

"Bukan urusan mu!" Nathan mulai bersuara lemah, Nathan mulai mengantuk.     

"Kalau begitu bukan urusan mu juga untuk mengatur tindakan ku!"     

"Beri aku diskon, aku ingin menginap di hotel mu selama beberapa hari ke depan," tawar Nathan berusaha mengambil sedikit keuntungan atas waktunya yang terbuang sia-sia. Nathan tak mungkin untuk kembali ke rumah saat ini, mendatangi tempat kekasihnya pun juga tak bisa, Rian tak bisa di hubungi.     

"Ke apartement ku saja. Kau bisa tinggal sesuka mu di sana. Dan satu lagi, aku harus mengobati luka lebam milik mu itu."     

Menurut, Nathan pun yang serang rasa kantuk tiba-tiba itu segera saja mengalihkan kendali mobil pada Max. Ya, Nathan menyerah untuk mengeluarkan kata-kata yang digunakannya untuk membalas pria itu.     

Menelusuri jalanan malam dengan mobil yang di kendalikan Max dengan kecepatan tak kira-kira. Menyalip di antara yang lain yang dalam posisi tak ingin kalah juga. Namun seperti halnya pembalap profesional, Max tetap yang menjadi pemenang.     

"Eungghh..." lenguh Nathan tersadar dari tidurnya. Tubuh pria yang awalnya terasa nyaman dengan kursi yang di tarik untuk bisa di gunakan nyaman setengah berbaring pun terusik, seseorang berada dalam posisi sangat dekat dengannya.     

"Apa yang kau lakukan?" sentak Nathan yang tanpa menunggu waktu lama untuk menyingkirkan tubuh Max yang tertunduk di atasnya.     

"Membangunkan mu," ucap Max mencari alasan.     

Pria berwajah kaku itu pun lantas saja menegakkan tubuh dengan lengan yang memegang pintu mobil tempat Nathan.     

Keduanya pun kemudian berjalan bersama untuk keluar dari parkiran di lantai dasar gedung. Memasuki kotak besi untuk mengantarkan mereka pada lokasi lantai yang dituju.     

Lantai teratas dengan keseluruhan milik Max pribadi, Nathan pun sejenak mengedarkan pandang untuk mengagumi sejenak bukti kekayaan pria berwajah kaku di sampingnya itu.     

"Bohong, kau pasti berniat macam-macam dengan ku, kan?" ucap Nathan yang sangat telat, mereka sudah dalam jangka waktu sangat lama untuk saling bungkam. Bahkan saat ini, mereka sudah mendudukkan diri di atas sofa ruangan besar itu.     

"Tidak juga, kalau mau macam-macam dengan mu, aku tak ingin sembunyi-sembunyi," balas Max yang kemudian memfokuskan pandangnya untuk mengobati luka lebam milik Nathan itu.     

"Dasar tak waras! Bagaimana bisa aku tetap berbaik hati untuk dekat dengan mu seperti ini?" timpal Nathan setelah meringis kesakitan, Max terlalu keras untuk mengompres luka miliknya yang di yakini sudah berwarna biru itu.     

"Ya, benar! Aku juga sangat penasaran dengan diri mu, awalnya saja menolak dengan sangat keras, namun pada akhirnya? Kau masih saja bertahan untuk ada di dekat ku. Itu kenapa ya, Nath? Apakah kau mulai membalas perasaan ku?" ucap Max yang kini mengalihkan fokus, sepenuhnya untuk menatap netra Nathan. Lengannya yang memegang handuk kecil itu pun sudah menjauh dari titik lebam milik Nathan.     

"Kau terlalu banyak bicara, hal itu sangat mustahil!" sentak Nathan dengan mendelikkan matanya, sangat tajam.     

"Jangan menolak terlalu keras, bisa saja keadaan nanti berbalik seratus delapan puluh derajat. Kau bisa saja dalam posisi menggilai ku," peringat Max yang secara bersamaan mengangkat lengannya untuk mengompres luka Nathan. Tak sengaja, tekannya sedikit keras. Max pun sontak saja mendapat hukuman, kuku-kuku Nathan yang sedikit tajam mencengkram lengannya.     

"Ishh...." ringis Nathan, sedangkan Max yang juga dalam posisi kesakitan itu pun malah hanya berekspresi datar, tetap saja begitu. Fokus pria bertubuh raksasa itu nyatanya terarah pada hal lain.     

"Ringisan kesakitan mu, kenapa tiba-tiba membuat ku terangsang ya, Nath?" ucap Max tanpa ragu.     

"Pergi kau, cabul!" jerit Nathan yang langsung saja memukuli tubuh yang jauh lebih besar darinya itu.     

Max memang meninggalkan Nathan, kali ini dengan secercah keresahan.     

"Dia gila, semakin lama aku ada di lingkup sekitarannya, memang semakin mengkhawatirkan," ucap Nathan yang tiba-tiba saja menyasar tatap pada bagian tubuhnya, pantat bulat seksinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.