Hold Me Tight ( boyslove)

Hubungan makin memburuk



Hubungan makin memburuk

0Hubungan, Nathan kali ini sedikit meragukan hubungannya dengan Rian, kekasih mungilnya itu. Nathan seperti baru di sadarkan saat pandangannya yang menatap langit-langit ruangan mewah yang ditempatinya itu seperti membuat bayang-bayang.     
0

Banyaknya moment yang menjalankan perasaan mereka dalam waktu yang terhitung sangat lama, banyaknya kejadian indah yang mereka bentuk bersama. Namun entah mengapa, akhir-akhir ini rasanya seperti sangat dingin. Rian yang kembali bersamanya ke negara asal itu bukan seperti kekasihnya yang seperti ada di New York. Bukan seperti Rian yang sedikit pun tak bisa di bujuk untuk mengizinkan Nathan beranjak sejenak. Rian seperti tak membutuhkan Nathan lagi.     

Entah apa yang menjadi permasalahan, Nathan dan Rian memang tak sedikit pun punya petunjuk masing-masing untuk bisa saling mengenal, walau sedikit saja.     

Apakah membalas abai dari kekasihnya itu setimpal? Apakah Nathan harus membuat semua perasaannya jelas dengan menuruti tingkah Rian yang seperti mengkodenya untuk menjaga jarak.     

Sudah terhitung tiga hari dimana kejadian malam yang membuat Max ikut serta mengamankan ketidakjelasan tujuannya. Menempati apartement mewah dan sangat luas dengan tempat yang menjadi sasaran pria itu hanyalah ranjang besar di salah satu ruangan milik Max. Ya, pria itu bahkan sedikit pun tak ada niatan untuk datang ke kantor dan memusingkan diri dengan berkas-berkas yang membuat otaknya mengepul.     

Nathan ingin bermalas-malasan dengan kesendiriannya. Bahkan ia merasa sangat bersyukur, saat pria bertubuh raksasa itu pamit padanya untuk pergi di pagi hari dengan setelan rapi miliknya. Tak lupa, Max bahkan mempersiapkan sarapan untuk Nathan, menggunakan keahlian tangan dari pria kaku itu. Nasi goreng yang sangat mengenyangkan dengan rasa yang diakui Nathan sangat nikmat.     

Memainkan permainan di ponsel dengan volume suara yang di keraskan. Pria itu sudah tampil segar dengan tubuh harumnya. Pakaian kotor miliknya pun di ganti dengan milik Max yang ada di dalam lemari. Ya, pria itu sudah mempersilahkan Nathan untuk menempati apartement seperti miliknya sendiri.     

Max, kalau di pikir-pikir perlahan oleh Nathan, ia terlihat cukup baik dengan segala tindakannya, meski sedikit membawa serta respon yang di pastikan membuat kesal.     

Ah sebentar, kenapa Natha malah merambah ke bayangan pria menyebalkan itu?     

Berjingkrak dengan kakinya yang menendang-nendang udara, ponsel Nathan yang tak menjadi perhatiannya lagi itu pun lantas di lempar ke sembarang arah, Nathan pun segera menenggelamkan seluruh tubuhnya di balik selimut tebal.     

Nathan memutuskan pikirannya yang tiba-tiba saja mengada-ngada, pria itu pun memilih melanjutkan tidurnya lagi, di jam yang masih menunjukkan pukul setengah sepuluh pagi itu.     

Sedangkan di tempat lain, seorang pria mungil yang mempunyai status kekasih dari Nathan itu malah menemani pria lain untuk ikut bekerja. Menempati sebuah kursi dengan laptop milik seseorang yang bersamanya masih menyala.     

Melahap sesekali kue yang di sajikan dengan sebuah kopi. Pandangan pria bertubuh mungil itu rupanya menatap punggung sesosok pria yang kini berbicara dengan seseorang melalui telepon.     

Pria mungil itu pun sontak saja di serang rasa penasaran, kenapa Ilham mengambil begitu banyak langkah hanya untuk bercakap dengan seseorang yang mengganggu waktu kebersamaan mereka dengan dering ponselnya.     

Melangkahkan kaki perlahan, melewati banyak pengunjung yang menempati beberapa puluh meja yang tersedia. Berjalan semakin mendekat, pria mungil bernama Rian itu pun segera saja membuka pintu kaca itu untuk menghentikan gerak Ilham, lengannya menarik pergelangan tangan pria itu.     

"Aiii! Kau akan pergi kemana?" tanya Rian saat Ilham seperti hendak melarikan tubuhnya pada arah berlawanan, bukan kembali masuk ke cafe.     

"Sebentar, Ri... Aku ada urusan yang sangat penting," balas Ilham yang menatap Rian dengan sangat lembut, meminta perhatian dan rasa memahami jika saat ini ia tak bisa menjelaskan terlalu mendetail alasan sesungguhnya. Seseorang sudah menunggu kedatangan Ilham dengan keadaan yang mendesak.     

"Urusan apa?" tanya Rian yang berubah sangat dingin.     

"Yang jelas tentang pekerjaan, Ri!" ucap Ilham yang tak ingin membuang waktu lebih lama untuk berdebat.     

"Bohong! Aku mendengar mu berbicara dengan dengan seorang wanita. Namanya sudah sempat kau sebut, kan?" teriak Rian yang sontak saja membuat Ilham menariknya ke sudut yang sedikit tersembunyi, beberapa pejalan kaki tak ubahnya langsung menolehkan pandang merasa sangat penasaran dengan suara marah Rian tadi.     

"Iya, aku menang harus menemui wanita itu, hanya sebentar, Ri..." ucap Ilham dengan kedua telapak tangannya yang menakup rahang kecil milik Rian.     

"Kau pasti bohong! Wanita itu pastinya orang yang pernah kau akui pernah bercinta dengan mu, kan? Kenapa, kalian ingin mencoba kenikmatan tubuh masing-masing lagi? Kau mau bercinta dengannya kan, aiii?!" tuduh Rian yang mulai tersulut emosi karena kecurigaannya yang berlebihan. Lengan milik Ilham pun segera di tepisnya menjauh. Wajah Rian sangat merah saat ini.     

"Ri! Sedikit saja, tolong mengertilah keadaan mendesak ku saat ini!" ucap Ilham yang mengelus singkat permukaan kulit halus milik Rian, hanya sebentar, Ilham lantas meninggalkannya dengan tangis yang kencang, di sudut tersembunyi.     

"Aiii...!" panggilan kerasnya bahkan tak membuat Ilham yang berlari kearah mobilnya itu membalik badan dan mengurungkan niatnya.     

Sangat sedih, Rian yang sudah sangat basah dengan air mata berlinang itu pun segera saja di hapusnya. Sendiri, Rian membutuhkan seseorang untuk menenangkannya.     

Merogoh kantung celana panjangnya, menghidupkan ponselnya yang di matikan. Hal pertama yang di lihatnya membuat Rian sangat menyesal, puluhan panggilan tak terjawab dari kontak sang kekasih.     

Segera menghubungi Nathan, pria mungil itu pun kembali merasakan frustasi karena penggilan berulangnya tak kunjung mendapat balasan.     

Rian menutup ponselnya dengan air mata yang mulai berlinang. Ia tak pernah menyangka jika mendapat bentakan dari orang tersayang akan sebegitu menyakitinya. Sedangkan di sisi lain, kekasihnya itu bahkan mulai mengabaikannya. Ah tidak, Rian yang mulai mengabaikan Nathan terlebih dahulu, jadi pria itu berniat membalas sikapnya?     

Ia menyandarkan diri di tembok belakangnya itu dengan kepala tertunduk lesu. Harusnya ia tak egois dengan menarik dua orang bersamaan dalam masalah percintaannya. Tapi meski begitu ia tak bisa memilih satu diantaranya, hatinya terlanjur membagi sama rata. Mereka sudah menempati bagian masing- masing dihidupnya. Ia memang terlalu serakah.     

Srakk Srakk     

Suara langkah beberapa orang yang berjalan mendekap, Rian yang menyadari posisinya berada di ruang sepi itu pun segera mendongakkan pandang dengan pandangan yang tertuju pada tawa senyum lebar yang menertawai kesedihannya. Ya, Rian kenal orang-orang ini, segerombolan pria yang pastinya datang hanya untuk menghina dirinya saja.     

"Kenapa menangis? Hidup menjadi seorang gay memang tidaklah mudah. Apalagi saat ini ku lihat kau sedang bermain api dengan dua orang berbeda. Dan setelah ku pikir-pikir, nafsumu besar juga ya!"     

Sebuah suara membuat Rian menggertakkan gigi. Tangannya mengepal dengan kepala terangkat menatap berang ke lima orang yang ada dihadapannya. Pakaian serba hitam yang menghalangi pandangannya saat ini.     

"Pergi!" perintah Rian singkat. Mereka adalah orang yang sangat Rian kenal, ia begitu hafal dengan wajah-wajah suruhan kakeknya itu.     

"Kita sedang bekerja saat ini, dan membuntutimu adalah tugas utama," jawab pria yang berjalan memimpin paling depan.     

Rian yang bermaksud memberi jarak pun seketika saja memundurkan langkah kakinya.     

Rian yang begitu geram itu pun segera mengambil batu-batu kecil untuk di lemparkan kearah Danu, ia adalah pemimpin dari seluruh pengawal yang ada di rumah kakeknya. Bermulut tajam dengan alis yang menukik membuat ia begitu membenci sosok itu dari dulu.     

"Brengsek! Pergi kalian atau ku teriaki maling!"     

Rian berteriak keras, air matanya masih tidak mau berhenti, pandangannya begitu buram saat ini.     

"Oke-oke! Kita akan pergi. Oh ya, satu pesan dari kakek yang harus kau tau, dia akan mencabut semua uang yang masih ada di seluruh rekeningmu, secepatnya!"     

Sebuah seringai mengakhiri perbincangan sengit mereka. Lambaian tangan juga seperti sebuah hinaan untuknya. Mengabaikan sikap malu, Rian pun berteriak keras.     

Pandangannya terarah benci pada orang-orang yang menghinanya itu. Punggung tangannya pun mengusap air mata yang masih saja mengalir. Hari masih sangat pagi, kenapa begitu banyak rasa sedih yang menghampirinya?     

Menyelam kesendirian dengan mengunjungi beberapa tempat seorang diri. Rian hanya berusaha menghibur dirinya. Sampai tubuhnya lelah dan malam akhirnya menjemput.     

Ia pulang dengan langkah lesu, membuka pintu apartement dan langsung menghempaskan tubuh lelahnya kearah sofa. Menghembuskan nafas perlahan, berusaha menahan air mata yang mendesak pelupuk mata untuk segera keluar.     

"Kau dari mana saja, aku sudah menunggumu dari tadi. Ku pikir kau kemana, aku sangat khawatir, Ri!"     

Suara bariton menyapa pendengarannya. Lengan yang menutupi matanya itu pun terangkat. Pandangannya bertemu dengan Ilham, pria itu duduk bersila di atas hambal dengan perhatian kearahnya.     

"Kenapa kesini lagi?"     

Rian bertanya dengan suara dingin, Ilham yang mendengarnya pun menjadi mengerutkan dahi heran. Ilham tak menyangka dengan perubahan sikap Rian yang begitu drastis. Tadi pagi mereka memang berpisah dengan keadaan yang tidak baik-baik, Ilham hanya tak menyangka saja jika sampai malam menjemput ini Rian masih menaruh amarah padanya. Mereka bahkan sempat mengisi waktu romantis dengan berbincang ringan selama dua hari ini, apakah itu masih tak bisa menjadi pertimbangan Rian untuk memaafkannya?     

"Hei! ada apa denganmu,"     

Ilham berusaha menggali jawaban dari Rian, tangannya terangkat untuk mengelus surai yang terasa sedikit lepek karena keringat. Bibirnya secara otomatis mengecup dahi Rian yang saat ini berbaring miring menghadapnya.     

"Hiks... dia memarahiku. Aku tau aku bukanlah kekasih yang baik untuknya."     

Rian pun tak tahan dengan kesedihannya. Hatinya begitu sakit saat rasa rindunya tak kunjung bersambut dan malah mendapat kata penolakan. Ia sadar semua ini memang salahnya, terlalu serakah.     

Kecewa, jelas saja Ilham merasakan hal itu. Rupanya kesedihan Rian masih bukan karena tindakan Ilham yang meninggalkannya tadi. Pria bermata sendu itu hanya salah sangka.     

"Dia mungkin tak bermaksud seperti itu, mungkin saja pekerjaan membuatnya stres," ucap Ilham berusaha bersikap baik, tetap menempati posisinya.     

Ilham berusaha menenangkan meski hatinya pun merasa sangat miris saat menatap kesedihan Rian karena pria lain. Ia merasa bahwan Rian mengabaikan perasaannya yang dengan tulus mencintainya.     

"Tidak, itu karena salahku yang tak bisa bersikap tegas dengan keputusanku sendiri."     

"Apa maksudmu?"     

"Kurasa aku hanya ingin fokus pada kekasihku."     

"Lalu bagaimana denganku? Apa kau akan jadi sosok tak berperasaan setelah membawa hati ku kepadamu?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.