Hold Me Tight ( boyslove)

Nathan yang kekanakan



Nathan yang kekanakan

0Berada di situasi yang sama, seorang pria yang akhir-akhir ini seperti tak sedikit pun hidup dengan semangat. Menyangkut hal-hal sensitif perkara hubungan yang mengusik pikirannya.     
0

Pria yang agaknya terlalu kaku untuk membicarakan hal yang terlalu serius menyangkut sebuah perasaan dengan orang lain.     

Nathan, dengan hubungan konyol yang di menyeretnya. Tentang keluarga, tentang percintaan, sepertinya keduanya menemui kegagalan.     

Ya, Nathan sangat kekanakan untuk menjauh pada keduanya dan malah memilih ruang lingkup berbahaya saat ini.     

Mengabaikan panggilan sang mama atau pun sang kekasih dan malah bermalas-malasan di sebuah apartement mewah, dengan sang pemilik yang harusnya di hindari.     

Namun mau bagaimana lagi, jika saat semua kawannya sibuk dengan permasalahan pribadi dan tentunya tak sedia untuk menampung pria dewasa yang sangat manja sepertinya.     

Nathan kali ini menebalkan muka, sedikit meminta bantuan dari pria yang tak sekali pun berhenti untuk mengakui cinta padanya. Ya, untuk kabur dari rumah bukan hal yang murah, ia harus mengeluarkan banyak biaya untuk itu. Mendapatkan kemewahan gratis dan fasilitas yang lengkap, tak bisa begitu saja di tolak, kan?     

Terhitung satu minggu Nathan bolos dari rutinitas kerjanya. Tentu saja ponselnya tak sekali pun berhenti untuk bergetar, orang-orang mencarinya.     

Nathan malah hanya bersikap cuek, pikirannya yang masih butuh untuk di segarkan tak mengharapkan orang lain datang untuk mengusiknya. Nathan memang seperti itu, jangan ada yang memprotesnya.     

Menyambut pagi di hari yang baru, Nathan bangun lebih awal dari biasanya, setengah tujuh pagi. Ia melangkah keluar dari ruangan yang sudah di anggap miliknya sendiri itu dan langsung saja mendudukkan diri di ruang menonton. Mengambil camilan yang ada di atas meja dan segera saja menyandarkan tubuhnya nyaman di sandaran empuk.     

Nathan belum ke kamar mandi, belum juga menggosok gigi, pantas saja rasa lidahnya pahit.     

Nathan pun menaruh kembali toples kaca itu, pandangannya kini terfokus sepenuhnya oleh layar televisi yang menampilkan cerita kartun.     

Beberapa adegan konyol pun tak bisa membuatnya untuk tahan dari tawanya yang menyembur keras. Sampai terpingkal-pingkal, perut Nathan pun lantas sedikit kaku, pahanya yang di pukuli tanpa sadar itu membuatnya memerah. Ya, masih dari kostum pemilik apartement.     

"Beruntung sekali, pagi ini aku mendengar suara tawa mu."     

Sebuah suara bariton yang terdengar. Pria yang mengenakan setelan rumahannya itu pun tak pelak mengubah raut wajahnya seratus delapan puluh derajat. Bibir yang mengulas tawa lebar seketika saja mencerung. Pandangan matanya yang semula berbinar kini berganti menajam. Tubuhnya yang ada dalam posisi nyaman itu pun harus berpindah karena pria yang berparas interlokal itu duduk sangat dekat dengannya, Nathan tak suka.     

Sedangkan di sisi berlawanan, pria yang keluar dari ruangan utama itu pun memandang seseorang yang sangat dikaguminya. Dengan sangat intens. Bibirnya pun mengulas senyum tipis saat melihat raut tak mengenakkan dari Nathan. Max, pria yang kini mengenakan baju tidurnya itu malah merasa sangat senang dengan ekspresi jujur Nathan.     

Mengikuti arah pandang Nathan yang mengarah pada layar televisi, Max pun mengikuti.     

"Bukankah itu pembodohan? Kapur mana bisa membawa kita ke dunia lain, kan?" tanya Max yang menarik percakapan.     

Nathan yang sebal karena aktifitasnya di ganggu itu pun segera saja menolehkan pandang pada pria yang bangun tidur saja masih terlihat elegan dan mahal.     

Surai berwarna coklat gelapnya yang seperti sedikit pun tak berantakan dengan belakang sampingnya. Kulit eksotis yang malah membuat daya tarik tersendiri dari pria yang mengenakan setelan baju tidur berwarna biru gelap itu. Max sempurna.     

Tersentak, Nathan pun kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mengusir fokusnya yang merambat ke hal lain. Memuji Max diam-diam, apa-apaan Nathan!     

"Kenapa dengan mu?" tanya Max yang menolehkan pandang pada Nathan.     

"Apa? Memang kenapa dengan ku?!" timpal Nathan dengan suara keras dan tak sukanya.     

Kedua kaki Nathan yang awalnya bergelantung di bawah itu pun di tarik untuk di tekuk di atas sofa, kedua lengannya yang melingkupi.     

"Kau terlihat nyaman berada di dekat ku," tanya Max yang lagi-lagi mengatakan hal tak penting.     

Tapi tunggu sebentar, kalimat tanya itu memiliki makna lain, Max menyindir Nathan tak punya malu, begitu? Menempati lingkup orang lain dengan waktu yang lama, makan tidur, makan, tidur, dan tak membantu apa pun. Max coba mengingatkan untuk Nathan lekas pulang, begitu?     

Sontak saja, Nathan menurunkan kedua kakinya. Jangkunnya naik turun menelan ludah secara kasar. Matanya melirik Max yang masih duduk dengan posisi yang sama, Nathan pun lantas mengikuti Max, kakinya di tumpu sebelah.     

"Ekhem!"     

Nathan berdehem singkat, Max yang mengerti pun sontak saja menolehkan pandangan miliknya, seluruhnya untuk Nathan yang masih berada pada fokus lain.     

"Kau berniat mengusir ku?" tanya Nathan setelah berpikir lama. Ya, ia seketika saj membuat pertimbangan untuk langkah selanjutnya jika memang Max memiliki tujuan untuk mengusir.     

Pergi ke rumah Tommy? Itu tak mungkin, Nathan terlalu kaku untuk menghadapi pertanyaan beruntun yang sering kali di ajukan oleh kedua orang tua kawan Nathan itu.     

Pergi ke rumah Aki? Itu hal yang menjadi pilihan terakhirnya, pria itu sangat jarang berada di rumah, Aki lebih sering menghabiskan hidungnya untuk berada di rumah sakit.     

Pergi ke tempat Galang? Tidak, juga. Di sana terlalu ramai dengan kawan-kawan Galang yang anak motor. Nathan tak bisa berbaur dengan mudah.     

Pergi ke tempat Ilham? Ya, harusnya bisa. Bukankah pria itu tinggal seorang diri?     

Sudah, Nathan siap berdebat saat ini. Ia siap pergi dengan tujuan yang sudah di ketahui, rumah asri milik Ilham.     

"Hei, bagaimana aku malah mengusir orang yang ku sayang dari dekat ku?"     

"Lantas?" tanya Nathan setelah menahan rasa mual atas gombalan Max yang berwajah datar itu.     

"Mama mu pasti khawatir, dia menghubungi ibu ku untuk meminta tolong mencari mu. Suruh pulang katanya," ucap Max dengan nada santainya.     

"Dia mencari ku seperti itu? Membuat semua orang seperti heboh untuk membantunya mencari ku? Percayalah Max, dia tak seingin itu untuk membawa ku pulang," ucap Nahan yang terlanjut keceplosan.     

Rahang Nathan pun sontak saja mengetat, giginya sampai bergemelutuk, sorot matanya berubah sangat tajam. Kenapa Nathan tiba-tiba saja merasa sangat tak menyukai mamanya itu?     

"Mau kemana?" tanya Max dengan lengan yang menghadang jalan Nathan. Ya, pria dengan wajahnya yang masih terdapat jiplakan bantal itu berada pada amarah yang memuncak tiba-tiba. Sudah di katakan kalau Nathan sangat sensitif di balik ke kakuannya!     

"Mau pulang, bukankah kau mengusir ku?" ucap Nathan yang berusaha menarik lengannya dari Max yang masih dalam posisi terduduk itu.     

"Tidak, kau tak boleh pergi sebelum emosi mu stabil!" ucap Max yang mewanti-wanti.     

Jelas saja Nathan tak bisa di kontrol dengan mudah oleh pria itu, Max bukan siapa-siapanya!     

"Bukan urusan mu!"     

"Kali ini papa mu juga tau kalau kau suka bertindak kekanakan dengan sering kabur dari rumah,"     

"Huh? Papa ku tau? Tidak, kau hanya berusaha menakuti ku, kan?"     

"Aku, menakuti mu? Bukan kah kau pria dewasa? Menakuti mu tak mempan kan, Nath? Kecuali tingkah mu yang masih sangat kekanakan!"     

"Kau berani mengolokku?"     

"Aku tak mengolok, hanya mengatakan sejujurnya. Nath, kau pulanglah ke rumah mu!"     

Rumah Ilham sepi, sedangkan setelah pergi dari apartement Max dan hendak mendatangi hotel lain, kartu debitnya tak berfungsi. Jadi, begini cara menarik pria dewasa untuk pulang ke rumahnya?     

Menempati ranjang miliknya lagi, bukan di rumah lama. Ini merupakan rumah baru dengan mamanya, terpaksa Nathan pulang.     

"Mama boleh masuk?" teriak sebuah suara yang akhirnya di bukakan Nathan dengan berat hati. Sungguh, apa lagi yang ingin dibicarakan oleh wanita paruh baya itu.     

"Ya, kenapa ma?" tanya Nathan berusaha tak mengeluarkan hembusan nafas besarnya. Langkah kakinya menggiring untuk duduk di tepi ranjang dan segera diikuti oleh sang mama.     

"Papa mu akan segera kembali... bersama keluarganya," ucap Rara yang langsung menuju inti percakapan. Wanita paruh baya itu nampak menunduk dalam dengan garis lengkung bibir ke bawah.     

"Heh, hahaha... Papa sudah punya keluarga baru? Baguslah kalau begitu," balas Nathan berusaha bahagia dengan kabar itu. Sang papa yang selalu ada di pihaknya sudah menemukan kebahagian lain, Nathan pasti akan terbuang. Pria itu lantas tersenyum kecut, ia masihlah seorang anak yang sama sekali tak merasakan klimaksnya kebahagian dari sebuah keluarga.     

"Apa kau baik-baik saja?" tanya Rara setelah mendongakkan kepala memandang sang anak dari samping.     

"Tentu, aku baik... Tak ada alasan untuk ku untuk tak baik-baik saja,"     

"Mama senang kalau kau baik-baik saja, hiks-hiks..."     

"Kenapa menangis? Apa mama masih tak merelakan kebahagiaan papa?"     

"Aku cinta dengannya. Aku sangat mencintainya hingga menjadi ibu terbodoh di dunia. Mengabaikan mu dan terus berusaha menggapai cintanya. Hikss..." curah Rara dengan air mata yang mulai membanjiri pipi. "Kau tau, selama perjuanganku mungkin tak sedikit pun di hatinya tersimpan memori tentangku," tambahnya     

"....."     

"Kau mulai membuka sedikit keluh kesahmu, apa kau sedang berusaha dekat denganku?"     

"Maksudmu? Jelas mama ingin selalu dekat dengan anaknya sendiri,"     

"Hanya akhir-akhir ini, aku tau karena hatimu sedang kesepian. Kau ingin mengais sampah yang sudah lama terbuang? Apa kau tak menyadarinya, sampahmu sudah jadi bangkai!"     

"Hei, kenapa kau memarahi mama mu sendiri? Aku hanya sedang berusaha memperbaiki semua kesalahanku termasuk mengatur pola hidup anak ku yang sudah seperti salah langkah,"     

"Salah langkah? Maksudmu bagaimana? Memang kau memperhatikan aku?"     

"Max, dia menyukaimu! Aku mendengarnya sendiri,"     

"....."     

"Lihat! Apa yang sudah ku peringatkan padamu dari dulu. Aku sudah melarangmu untuk tak bergaul dengan teman-teman tak berguna mu itu!"     

"Kau sama sekali tak mengenal teman-temanku, mereka jauh lebih baik dan dengan tulus mempedulikanku. Lagipula permasalahan ini tak ada hubungannya dengan mereka. Max bukan temanku, bukankah dia anak dari sahabatmu?"     

"..."     

"Aku tak pernah ingin mengenalnya, bukankah kau yang mendorongku untuk membuat lingkup yang sebenarnya menguntungkan mu sendiri?"     

"Ma, bisakah kita berjalan sendiri-sendiri? Jadilah seperti sifatmu yang dulu, karena kau yang sangat ini berhadapan dengan ku, bisa saja ku benci,"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.