Hold Me Tight ( boyslove)

Dekat dalam satu waktu



Dekat dalam satu waktu

0"Jadi, kau benar-benar seorang pria gay?"     
0

"Hmm..."     

"Kabur dari rumah karena masalah keluarga?"     

"Ya... Semacam itu."     

"Tak punya uang sepeserpun bahkan untuk membeli minuman?"     

"Kau benar."     

"Lantas, apa yang bisa ku bantu untuk mu? Jujur saja, aku juga tak punya sepeserpun uang saat ini."     

Hufhh...     

Keduanya sontak menghembuskan napas panjang. Masih di posisi sama sejak beberapa saat lalu, hanya saja waktu sudah hampir menjelang malam. Mereka saling bercerita tentang banyak hal, tentang permasalahan masing-masing yang tengah di hadapi. Di akui, keduanya terlihat sedikit lega karena telah meluapkan keluh kesah yang seperti hampir mencekik kehidupan yang harusnya normal seperti yang lain.     

Menyandarkan tubuh pada sandaran kursi kayu yang sudah terlihat lapuk. Baik Nathan atau pun Lisa sama-sama memejamkan mata. Sebagian besar yang di lewati hari ini penuh dengan beban, tangis yang memaksa untuk di keluarkan, atau pun juga perasaan memberontak yang seperti memaksa raga untuk kabur dari permasalahan. Hampir saja menemui akhiran salah untuk menyelesaikannya, pertemuan Lisa dengan Nathan seperti sudah di takdirkan untuk saling menguatkan.     

Masing-masing dari keduanya menempatkan diri pada posisi yang berlawanan. Bukan permasalah besar kecilnya sebuah kendala, dengan diam dan menjadi pendengar yang baik, Nathan dan Lisa sudah menunjukkan kepedulian yang memang sangat di butuhkan oleh masing-masing keduanya.     

Tak ada yang bisa di lakukan untuk saat ini, Nathan tak mungkin kembali ke pangkuan orang tuanya hanya untuk meminta jaminan hidup layak dan mewah. Sedangkan wanita itu juga tak mungkin lagi untuk mendatangi pria brengsek yang dengan terang-terangan menolak kehadirannya.     

Sama-sama sendiri, tak ada tujuan atau bahkan rencana di menit selanjutnya. Hanya termenung dan coba untuk memulihkan hati yang memang sudah berongga. Bagian-bagian pentingnya hilang seiring dengan rekap kejadian yang seperti mengasah belati untuk menghancurkan dirinya dengan serangan brutal beberapa kali.     

Melanjutkan luapan sedihnya dengan menangis rasanya sangat tak di butuhkan. Bahkan jika boleh di katakan sebuah penyesalan karena telah menunjukkan kerapuhan pada sosok yang di anggap turut andil menjadi semacam tersangka. Mengemis belas pada orang-orang yang tak punya hati dan egois dengan memilih jalan bahagianya sendiri, Lisa dan Nathan merasa bodoh saat itu.     

Kruyuukk     

"Hahha... Berapa hari kau tak makan?" tanya Lisa yang sontak saja menaruh perhatian pada sumber suara. Nathan yang masih betah terpejam pun membalasnya dengan senyum miris.     

"Belum makan sama sekali. Wanita tua itu tiba-tiba saja datang ke dalam kamar ku dan bercerita panjang lebar, tak sempat untuk menyelanya karena terlanjur emosi. Aku lantas pergi, tak mungkin mempedulikan hal sepele seperti kelaparan," balasan Nathan dengan mengulang ingat pada kejadian beberapa jam lalu.     

Kelopak matanya yang berhias bulu mata lentik pun terbuka, bibirnya yang lagi-lagi meringis kesakitan hanya karena pergerakan kecil yang bermaksud mengalih posisi duduk yang nyaman.     

Lisa yang melihatnya pun seperti ikut merasakan kesakitannya. Sungguh, wanita itu menyadari jika tubuhnya terbilang cukup tinggi dengan bobotnya yang bertambah beberapa kilogram, menimpa seorang pria yang jatuh terjungkal kebelakang dengan jatuhan di area bagian bawah terlebih dahulu, pasti sangat sakit.     

"Aku yakin, saat langkah mu berbalik untuk memberi jarak pada posisi mama mu, kau pasti menangis tersedu."     

"Dasar sok tau!"     

"Jangan belagak menjadi pria tegar di depan ku... Kita sudah sedikit memahami satu sama lain meski baru beberapa jam waktu pertemuan kita," balas Lisa yang seperti menekankan jika mereka tak perlu lagi merasa canggung satu sama lain. Kenyataan yang berusaha di tutupi, tak ada gunanya lagi.     

Nathan pun memutar bola mata, bibirnya lantas dicebikkan. Kedua bahunya yang terangkat bersamaan, pria itu sudah tak bisa mengelak lagi, Lisa sangat pandai dalam menilainya.     

"Aku hanya ada beras dan juga telur, ku harap kau bukan pria pemilih dalam menentukan menu makanan."     

Tak menunggu jawaban, Lisa pun meninggalkan Nathan untuk memasuki ruangan di bagian yang lebih dalam. Memberi pelayanan cepat tanggap pada tamu yang datang dengan kartu istimewa.     

"Perut mu bagaimana?" tanya Nathan yang rupanya mengikuti arah kepergian Lisa, wanita yang terlihat sibuk membersikan bulir beras pun sontak menoleh. Namun segera berpindah objek pandang saat pria di sampingnya itu terlihat meneliti bagian perut yang sedikit membesar di balik kaos ketatnya.     

"Maksud mu, calon bayi ku?" tanya Lisa dengan lengannya yang mematikan keran. Air bersih yang di tampung pada wadah putih pun menenggelamkan beras di dalamnya. Dengan cekatan, wanita itu membersihkan bakal nasi.     

"Iya, apakah sakit?"     

"Tidak, kurasa dia masih baik-baik saja."     

"Baguslah kalau begitu," ucap Nathan yang seperti sangat lega. Jujur saja, ia tak tega jika akhirnya bayi yang di kandung oleh wanita itu lenyap sebelum sempat terlahir ke dunia.     

"Kau tak menganggap jika aku berusaha untuk melenyapkannya lagi, kan?"     

Lagi-lagi hanya menggidikkan kedua bahunya, Nathan tak ingin terlalu percaya atau menghakimi begitu saja, biar waktu yang menjawabnya.     

"Kamar mandi mu dimana?" ucap Nathan yang memang berniat mengalihkan topik pembicaraan. Ya, selain karena memang kantung kemihnya yang sudah penuh.     

"Tepat di belakang mu. Kau mandi saja supaya tubuh mu lebih segar. Ambil baju ganti di kamar depan, milik mendiang ayah ku rasanya masih cukup layak untuk di kenakan."     

Ucapan singkat yang mengandung nada perintah untuk di turuti membuat pria itu malah mengerutkan dahi.     

"Lis... Kau rupanya sangat mempercayai ku, ya?" balas Nathan sembari menyangga tubuhnya dengan lengan yang menumpu di atas meja dapur.     

"Walau aku tak mempercayai mu sekali pun, aku masih harus tetap balas budi pada mu, kan? Meski tak bisa sebanding dengan baju mahal mu yang kotor."     

"Baiklah... Setidaknya nasi hangat dengan telur ceplok bisa menambah bayaran supaya setimpal."     

Malam itu menjadi hal baru untuk keduanya. Duduk di teras rumah dan memandang langit kelam tanpa kehadiran bintang satu pun. Semilir angin malam yang cukup kencang membuat mereka kompak meringkukkan tubuh dengan kedua kaki yang di tepuk.     

Keramaian yang sejak tadi menjadi latar belakang, sudah mulai senyap saat satu per satu dari sumber suaranya menghilang. Mobil merah milik Nathan yang sejak tadi menjadi objek pemotretan dari remaja-remaja sekitar, tanpa tau malu untuk mengunggahnya di sosial media dengan saling hak kepemilikan.     

"Besok-besok kalau orang-orang datang hanya untuk melihat mobil mewah mu, bagaimana kalau kita tetapkan harga kunjungan? Sungguh, kita juga membutuhkan uang saat ini, Nath!"     

"Besok-besok? Memangnya aku akan kembali kesini lagi?"     

"Jadi kau tak ingin menginap sementara di rumah ku? Atau kau sudah berniat menjual mobil untuk menyambung hidup?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.